PROLOG

603 96 14
                                    

      Petrikor menyeruak masuk ke indera penciumanku. Aku suka aromanya, tapi aku nggak suka hujannya. Sebenarnya suka sih, tapi gara-gara hujan di sore hari itu aku jadi harus lama-lama di halte bus depan sekolah. Sedangkan bus yang ditunggu tidak kunjung datang. Padahal kira-kira sudah limabelas menit aku duduk menunggu.

      Hujannya makin deras bertepatan dengan seorang laki-laki yang datang ke halte. Tadinya aku sendiri, ia datang jadinya nggak lagi. Laki-laki itu duduk di sampingku seolah-olah aku nggak ada. Apa dia nggak ngeh ada orang juga di sini? 

      Aku merasa ada yang getar di saku almameterku. Waktu kuambil sumbernya dan aku lihat apa penyebabnya, ternyata ada telepon dari Bapak Negara. Buru-buru aku angkat jadinya. 

"Iya, Yah?"

"Masih di sekolah?"

"Masih. Ini lagi di haltenya da mana hujan deras. Bisnya nggak datang datang lagi! Kebiasaan ah kalo hujan tuh bisnya ngaret."

"Sambat wae eh, nggak baik!"

"Maaf, Yah. Kelepasan."

"Ayah jemput aja. Ini otw sekolah Teteh."

"Serius ini? Awas aja aku tungguan malah nggak dateng-dateng!"

"Asli. Emangnya kapan atuh da Ayah bohong?"

"SERING!"

Tawa renyah dapat kudengar dari sebrang sana. "Yaudah ditutup dulu ini. Tunggu."

"Heeh."

      Kemudian aku letakkan lagi handphone ke tempat semula. Waktu lagi ngobrol sama Ayah di telepon, aku rasa orang di sampingku ini noleh. Tapi bentar aja. Orangnya sekarang lagi natap ke depan, tatapannya kayak kosong. Cowok ini, aku nggak pernah lihat. Maksudnya, rasanya asing walaupun ia memakai seragam yang sama persis denganku. Bedanya cuma aku pakai rok, ia pakai celana. Oiya, sama aku pakai almamater, ia hanya kemeja saja.

Apa jangan-jangan anak baru ya? 

Atau anak kelas satu? 

      Kayaknya bukan juga. Soalnya kalau baru masuk, pasti seragamnya masih benar-benar kelihatan kinclong karena masih baru. Apalagi di bagian kerahnya yang kelihatan masih amat kaku. Seragamnya tidak begitu. Atau—

Sial. 

      Aku buru-buru mengalihkan pandangan saat netraku dan laki-laki itu bertemu. Bodoh bodoh bodoh! Ketahuan 'kan lagi merhatiin. Tapi aku 'kan merhatiin karena penasaran! Dih, nanti dia kepedean lagi. Eh, emang kalau kepedean, harus kepedean karena apa? 

Ah pusing! 

      Aku berdeham pelan untuk memecahkan rasa canggung yang rasanya menyiksa. Tapi akunya saja kayaknya, dia biasa. Aku udah nggak ngerasa lagi tatapannya masih padaku lewat ujung mata, jadi aku noleh lagi. Niat hati mau basa-basi, lagipula 'kan kita ada di satu sekolah yang sama. Hitung-hitung mengobati rasa penasaranku juga. 

"Naik bis rute mana?" tanyaku. Laki-laki itu menoleh, tapi nggak jawab apapun. Kayaknya bingung aku ini bicara sama dia atau bukan. 

YA MASA AKU NANYA SAMA HUJAN ATAU ANGIN? ATAU MAKHLUK TAK KASAT MATA? 

      Manusia di sini 'kan cuma aku dan dia. Lagipula aku bukan anak spesial yang bisa lihat makhluk-makhluk yang sama sekali tak ingin kulihat. Juga, mana ada makhluk seperti itu yang naik bis? Aku emosi sendiri lama-lama. 

"Nggak naik bis," jawabnya setelah sepuluh detik pertanyaanku.

"Oh, berarti nungguin jemputan?" tanyaku lagi. Nggak tahu kenapa sebelumnya padahal sempat emosi, tapi malah bertanya lagi. 

Jawaban yang kemudian aku dapatkan adalah dua kali gelengan kepala darinya.

Kemudian aku diam. Berpikir kalau nggak nunggu jemputan atau nunggu bus, berarti?

"Rumah saya dekat sini," katanya kemudian seolah bisa membaca pikiranku. Oh gitu, oke aku paham.

      Kemudian mobil berwarna hitam berhenti tepat di depanku. Itu Ayah. Aku menoleh ke samping yang sedang menatap kedatangan mobil Ayah. Aku berdiri, lalu tas punggung yang kupakai aku pindahkan ke depan. Aku buka tas, kemudian kuambil payung yang selalu aku bawa. 

"Hujan kayak gini bakalan awet. Apalagi lo nggak pakai almameter atau hoodie juga. Dingin," kataku sambil menyodorkan payung ke arahnya. 

"Kalau mau balikin ke 12 IPS 1. Jane."

      Setelah itu kutinggalkan ia yang masih bergeming. Payungnya nggak diterima, jadi kuletakkan saja di sebelahnya. Sampai di dalam mobil, aku sedikit basah. Sedikit banget, soalnya mobil Ayah juga di depan persis. 

"Temen, Teh?" tanya Ayah. Aku mengangguk saja, biar cepat. 

      Sampai saat melaju pergi, kulihat dari kaca netra kami bertemu lagi. Masih sama seperti awal datang, wajahnya tanpa ekspresi. 


**********************************

📝 : 

hey yo, bertemu lagi denganku di dunia baru. HAHAHAHA. nggak tahu bakal ada yang baca atau nggak, pokoknya aku mau ini lanjut ah. soalnya aku sayang si laki-laki hujan ini. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sorai [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang