7. Kabur

167 65 1
                                    

"Jane emang enggak suka ikan, tapi anehnya dia bisa kalau makan makanan olahan ikan. Hahaha!"

"Enggak apa-apa kok, asal masakannya diakalin gimana caranya biar Jane bisa makan. Mungkin Jane emang enggak bisa makan yang langsung ikan, gitu?"

      Aku diam saja, tidak berminat dengan topik pembicaraan di depanku walaupun yang mereka bicarakan ada sangkut pautnya denganku. Aku pura-pura fokus makan saja tanpa menghiraukan perempuan yang duduk di depanku. Ah, mungkin lebih tepatnya duduk di samping ayah. 

"Jane?"

Sampai suara ayah memanggil, aku baru mengangkat wajah. Bertanya melalui ekspresi wajah karena mulutku sedang sibuk mengunyah makanan. Tambahan, malas bicara juga. 

"Mau enggak, nanti dimasakin Tante Ayu olahan ikan?" tanya ayah. 

"Ter—UHUK!"

      Tenggorokanku sakit. Aku tersedak gara-gara harus menjawab pertanyaan dari ayah. Tapi rasanya sakit di tenggorokanku tidak ada apa-apanya dibanding sakit yang menjalari hatiku. Pemandangan di depanku ini sungguh memuakkan, aku bersumpah. 

      Tante Ayu mengambilkan minum untukku bersamaan dengan ayah. Jadi tangan dan pandangan mereka bertemu. Tatapan ayah adalah tatapan yang biasa diberikan kepada ibu. Rasanya hatiku terasa diremat-remat. 

"Teteh, ini." Aku menoleh, melihat Aru menyodorkan segelas air yang langsung saja aku tandaskan. 

"Jane? Udah enggak apa-apa?" 

Mikir aja sendiri, Tan. 

Setelah menghabiskan segelas, aku langsung berdiri dari kursiku. Membuat ketiga pasang mata mengarah kepadaku yang sayangnya sama sekali tidak aku pedulikan. 

"Jane, mau kemana? Makanannya belum habis itu, eh!"

"Mau beli es!"

Aku tidak menggubris panggilan dari Aru ataupun ayah. Aku keluar dari rumah, membanting pintu. Enggak tahu mau ke mana yang penting pergi aja dari rumah, pikirku malam itu. 

      Dari beberapa hal yang aku takuti, ketakutan terbesarku adalah aku takut ayah jatuh cinta lagi. Dulu setelah ibu meninggal, ayah selalu bilang kalau enggak akan pernah ada yang bisa gantiin ibu. Aku percaya. Sampai akhirnya makin dewasa aku makin berpikir, apa aku bisa percaya sepenuhnya sama kata-kata ayah? 

      ayah pulang enggak sendiri, katanya perempuan itu temannya. Namanya Dahayu, tapi sapaannya Ayu. Dia cantik, tapi masih cantikan ibu. Dia baik, tapi masih lebih baik ibu. Walaupun ini pertama kalinya, tapi aku ngerti apa maksudnya. Ayah kira aku enggak perhatiin, apa? Siapa-siapa aja teman Aru dan gebetannya saja aku tahu. Aku ini pengamat yang baik di keluargaku sendiri. Karena kalau bukan aku, siapa?

      Rasanya aku mau nangis, tapi aku malu. Enggak tahu kenapa langkah kakiku malah membawaku ke Indomart depan gapura. Aku enggak masuk, duduk saja di kursi yang disediakan di depan sana. Aku enggak bawa uang ataupun handphone. Makan malamku juga enggak habis jadi aku masih lapar. Kalau kayak gini sedihku jadi double. 

"Ibu, Jane kangen."

      Akhirnya runtuh juga. Aku nangis. Maaf kalau aku cengeng, tapi aku bener-bener sedih. Aku sedih kenapa cara ayah natap tante Ayu sama kayak cara ayah natap ibu dulu. Aku sedih kenapa ayah enggak tepatin kata-katanya. Aku juga sedih, kenapa ibu harus pergi. Kenapa hidupku—

"Kamu lagi."

      Aku mengusap air mataku kasar, kemudian menoleh. Laki-laki bersurai cokelat itu meletakkan cup mi miliknya di atas meja yang memisahkan antara kursi yang kutempati dan kursi satunya. 

Ia duduk di kursi itu. 

"Anggap aja saya enggak ada," katanya kemudian memakan mi di depanku.

"Asa," panggilku. Asa mengangkat wajahnya, berekspresi seolah bertanya apa. 

"Mi itu ... enak?" tanyaku dengan suara bergetar. Tangisku rasanya ingin pecah lagi. 

"Y-ya, enak. Kenapa? Kamu mau?"

Aku enggak tahu kenapa, tapi tangisku kemudian pecah lagi. Wajah Asa panik, matanya melihat keseliling. 

"Eh, malah nangis? Kamu beneran mau ini?"

Aku mengangguk. Biar cepat aja, sebenarnya aku nangis bukan karena mau mi miliknya.

Aku hanya sedang sedih saja.

"Yaudah ayo saya beliin. Ikut ke dalam soalnya saya enggak tahu kamu suka rasa apa."

Aku mengangguk lagi, tapi masih sambil nangis. 

"Udah nangisnya, ya? Nanti dikira orang-orang kamu nangis gara-gara saya."


***


"Pacarnya si adek? Tapi tadi kenalannya temen deh ke Mama."

"Ya emang temen, Ma. Enggak tahu kalau besok."

      Aku pura-pura tuli saja padahal percakapan yang pasti sudah dibuat sepelan mungkin oleh ibu dan kakak perempuan Asa dari jarak lima meter dari tempatku duduk. Aku melirik sedikit ke laki-laki yang duduk di sebelahku sambil menyedot susu kotak stroberi yang juga dibelikan olehnya bersama satu cup mi yang menjadi makan malamku.

"Saya ke dalam bentar," katanya sambil berdiri. Aku menoleh langsung. 

"Daritadi 'kan padahal gue juga udah bilang gapapa sendirian disini," sahutku. 

"Kesambet nanti, gimana?" 

"Heh!"

Laki-laki itu tertawa kecil, kemudian melangkah pergi. 

      Jadi setelah aku menangis, Asa benar-benar membelikanku satu cup mi instan dan susu kotak stroberi. Aku dan Asa makan mi bersama di depan toko buku yang letaknya di sebrang Indomart karena kursi yang sempat aku dan Asa tempati sebelum masuk ke dalam sudah ada yang mengisi.

      Ingat waktu Asa yang kulihat masuk ke dalam toko buku saat aku sedang belanja bersama Aru? Ternyata itu toko buku milik kakak perempuannya. Jadi Asa ini memang sering bantu di toko. Tadi aku sempat berkenalan dengan kakak dan ibu Asa, cantik-cantik banget! 

"Ayo saya anter kamu pulang."

"Hah?"

"Udah malam. Tokonya juga udah mau tutup," katanya sambil memakai jaket denim hingga membungkus tubuh kurusnya. 

"Asa, rumah gue deket sini, jadi enggak usah dianter, gapapa."

"Rumah kamu masuk ke dalam kan?" tanyanya. Aku mengangguk. 

"Komplek kalau malam sepi banget, Jane. Kamu enggak takut?" tanyanya lagi.

"Enggak lah!"

"Tapi saya yang takut. Nanti kamu kenapa-kenapa, terus kamu habis sama saya. Nanti saya yang kena, gimana?"

      Semenjak kenal Asa, kalimat barusan adalah kalimat terpanjang yang pernah kudengar. Aku enggak tahu mau bereaksi apa, tapi aku benar-benar merasa gemas sendiri. Ternyata cowok kaku ini bisa bawel juga. 

"Ayo!"

***


"Makasih banyak ya, Asa!" Aku turun dari motor matic putih Asa. Berdiri di samping laki-laki yang masih duduk di atas motornya yang masih menyala. 

"Sama-sama."

"Maaf banget banyak ngerepotin lo hari ini. Pokoknya nanti gantian gue yang traktir lo."

"Santai aja."

"Ya udah." Aku masih berdiri diam soalnya nunggu Asa pergi dulu, tapi ia juga tak bergeming. Aku jadi bingung. 

"Sa—"

"Lain kali kalau mau kabur dari rumah, makan dulu," katanya menatapku lurus. "Saya pulang," lanjut Asa kemudian benar-benar menarik gas motornya, pergi. Meninggalkanku yang masih bergeming di tempat sambil memikirkan kata-katanya. 

Jadi, tadi itu aku termasuk kabur ya? 

Sorai [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang