"Kamu suka sama Asa ya, Jane?"
"Gimana?"
Sebenarnya aku kaget banget dapat pertanyaan itu dari Acha. Soalnya benar-benar aku enggak mikir bakal dapat pertanyaan itu. Jadi aku berusaha bersikap sesantai mungkin walau sebenarnya jantungku kayak mau copot.
"Aku akhir-akhir ini sering lihat Jane sama Juna, jadi aku pikir kalian ada apa-apa. Soalnya, dulu 'kan kalian enggak saling kenal. Eh, iya enggak sih?" Acha kelihatan enggak enak pas ngomong itu, jadi aku ketawa kecil.
"Enggak ada apa-apa ih, Cha. Lo ngaco banget, sumpah!"
"Tapi aku sama Juna memang enggak sedekat itu kok, Jane. Juna interaksi sama aku karena aku sama dia sering pinjam ini itu sesama tetangga," timpalnya. Aku tertawa makin keras karena berpikir, lucu banget enggak, sih Acha ini? Kenapa dia harus jelasin semuanya 'kan aku enggak tanya juga.
"Cha, ih kenapa sih? Gue sama Asa tuh temenan kok!"
"Oh, gitu." Acha manggut manggut.
"Gue balik ya, Cha? Besok gue bawa fd lo ke sekolah."
"Oke, hati-hati ya, Jane!"
***
Aku enggak langsung pulang, melainkan mampir dulu ke warung burjo dekat sekolah. Lagi mau aja, sekalian bungkus buat Aru juga di rumah. Warung burjo Mang Jojo namanya, terkenal enak, terjangkau dan tempatnya nyaman banget. Bersih gitu. Sering buat jadi tongkrongan anak-anak sekolahku.
"Mang, denger suara enggak?" tanyaku ke Mang Jojo yang lagi buat pesananku. Pengunjung lumayan ramai, tapi aku kayak dengar sesuatu dari sebelah warung Mang Jojo ini.
"Denger naon, Neng?"
"Enggak. Bentar ya, Mang. Kalo udah jadi disimpen dulu."
"Heeh."
Kemudian aku nyari sumber suara. Aku serius waktu aku bilang dengar ada suara, kayak suara barang jatuh dan pecah. Masa Mang Jojo enggak denger sih? Aneh banget. Aku yakin suara tersebut asalnya dari gang kecil di sebelah warung burjo Mang Jojo, jadi aku—
"To be honest, I really hate to call you Papi cause the things you can do is just drunk, mad, and punch my—"
"But you can't do anything, stupid. You're still alive until now because of me."
Ternyata suara yang kudengar adalah suara botol kaca yang pecah, bahkan pecahannya ada di depan sendal selop yang kupakai. Tapi bukan itu yang mengejutkanku, di depan sana ada Asa. Berdiri di depan pria yang posisinya membelakangiku sedangkan wajah Asa dapat kulihat jelas. Aku lihat jelas ekspresi marahnya dan wajah lebamnya.
"Saya enggak pernah minta buat ada and I don't even mind to die if the reason I can live until now is because of you tho."
"Asa!"
***
Hari Minggu, pukul setengah satu yang kelabu. Seharusnya sedang terik-teriknya, tapi hari itu matahari seolah tidak ingin tampak dan memberi sinar walau sedikit saja. Hujan yang diduga-duga pun tidak turun jua. Cuaca seolah mendukung suasana hati laki-laki yang duduk di sebelahku.
Setelah kupanggil nama Asa di gang, laki-laki yang membelakangiku—yang sempat kudengar Asa panggil Papi—menoleh ke arahku sekilas, kemudian langsung pergi. Aku enggak tahu harus bagaimana, jadi aku berjalan mendekat ke Asa kemudian bilang,
"Habis gue obatin, lo bisa punya waktu sendiri kok—"
Kemudian dia memotong ucapanku.
"Temenin saya, Jane."
Kali kedua aku melihat wajah lebamnya dan sampai kali ketiga kini beserta penyebabnya, akhirnya aku mengerti. Bukan Asa yang hobi kelahi, tapi memang dia selalu kena pukul Ayahnya. Orang tua Asa sudah berpisah saat Asa masih kelas 6 SD dan hak asuh Asa jatuh ke tangan Ayahnya, sedangkan kakak perempuannya bersama sang Ibu. Asa tidak banyak bercerita, tapi aku cukup mengerti.
"Udah tahu 'kan? Saya udah bilang kalau saya enggak hobi kelahi," katanya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi panjang.
"Iya, tahu," sahutku.
Suasana taman yang masih terbilang dekat dengan sekolahku kala itu sepi sekali, padahal hari Minggu. Lagipula siapa yang akan pergi ke taman dijam siang dan cuaca mendung?
"Asa."
"Hn?"
"Lo kenapa kaku banget sih? Enggak bisa gitu, ngomong pakai lo gue aja?" tanyaku random. Asa terkekeh.
"Papi saya selalu pakai lo gue, saya jadi ngerasa buruk. Ngerasa kayak dia."
Aku langsung mengangguk mengerti.
"Saya mau tanya."
Aku menoleh. "Apa?"
"Kamu kenapa panggil saya Asa?"
"Karena panggilan Juna tuh pasaran banget. Terus juga, mata lo ..."
Asa balas tatap, seperti menungguku melanjutkan ucapan.
"Gue lihat, iris mata lo kayak ada telaga penuh harapan. Sesuai sama nama tengah lo, yang artinya adalah harapan."
Ia tidak bicara apapun, hanya menatapku.
"Jadi, jangan pernah bilang lagi kalau lo enggak keberatan buat mati. Lo itu harapan Mami, kakak perempuan, bahkan diri lo sendiri, Asa."
Dan mungkin Asa adalah harapanku juga.
*******************************
📝 :
maafin aku.... ini jadi sedih gini....
ga lah ngapain yah sedih karena hari ini merupakan NATIONAL BOYFIE DAY!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorai [✓]
Teen FictionTentang segala yang gagu Kamu yang kaku dan rasa yang semu Karena kamu Aku tetap bersorai, walau segalanya berakhir pilu. Ditulis untuk laki-laki yang bernama Arjuna Asa Baskara. Sebab aku merasa senang, walau ia hanya bertandang.