Bab 4

8 3 2
                                    

Our Story is Paused
(っ'-')╮=͟͟͞͞🎁

Windi tiba-tiba datang dari belakang dan mengagetkan diriku. Aku hanya berusaha tersenyum karena bingung harus pergi ke mana, hampir saja aku tersesat. Untung saja Windi bisa menemukan aku di sini, yang tengah duduk di bawah pohon.

“Kamu lagi memikirkan sesuatu?” tanyanya, “Hukumannya berat yah?”

Aku sedikit menatap kesal ke arah Windi, “Win, aku ini gak tahu jalannya!” keluhku sambil menatap ragu ke segerombolan siswa yang tengah makan di kantin.

“Kamu gak mau beli makanan?” Windi menarik tanganku dan berjalan menuju kantin. Di sana ada Nizan yang tengah duduk dengan banyak wanita di sekelilingnya.

Di Kantin, semua orang berebut untuk mendapatkan giliran. Apalagi tempat ini selalu ramai, mulai dari sayur dan makanan ringan saja semua tersedia. Memang hanya ada sekolah ini yang paling dekat dengan rumahku, jadi aku pindah ke sini juga karena masalah ekonomi. Mungkin sebagian orang tidak akan menanyakan hal sedih padaku, karena takut kena masalah.

“Eh, Windi, kamu mau beli apa?” Aku menyenggol badannya sedikit dan tertawa.

“Hehehe biasa, aku kalau di kantin sukanya cari kentang goreng.”

“Waduh enak dong, jadi ikutan lapar nih.”

“Ya sudah ayo buruan ikut beli,” ucapnya.

“Uangku lagi di kelas Win,” jawabku.

“Ya sini, nanti kamu ganti aja uangku,” ucap Windi sambil tersenyum.

Aku senang memiliki teman seperti Windi, di Kantin aku juga berkenalan langsung dengan Mbok Yan. Dia adalah pemilik kantin di sini dan salah satu teman ibu yang sering membagikan kisah-kisah bijaknya.

Aku dan Windi duduk di salah satu bangku di pojok jendela, kantin ini memang tersedia kan secara luas karena memang di bangun oleh sekolah. Kenyamanan tempat dan kebersihan makanan setiap kali di jaga oleh beberapa orang murid yang sudah menjalani jadwalnya.
Nizan tengah makan dengan tenang bersama wanita-wanita itu. Aku bertanya pada Windi tentang mereka, namun Windi memilih diam katanya terlalu berbahaya jika ada banyak wanita seperti itu di kantin.

Membahas hal lain membuat ingatanku tentang hukuman itu sedikit menghilang dan aku sangat senang pada akhirnya menemukan teman sebaik Windi. Meski dengan keraguan, aku kurang yakin jika bisa menyamakan hidupku dengan orang kaya. Windi menunjukkan buku yang dia pinjam dari perpustakaan, dia bilang sesuatu yang tidak mungkin itu sebenarnya bisa menjadi mungkin.

“Margena, kita ini hidup di tempat yang sama, Cuma beda posisi.”

Aku sedikit tertawa melihat tingkahnya yang menunjukkan kebijaksanaan. Tidak lama, nasi dan kentang goreng sudah tersaji kan di atas meja. Aku dan Windi kembali menikmati makanan itu dan mulai membahas hal-hal baru yang sebelumnya tidak aku mengerti.

“Jadi bagaimana sekolahmu yang dulu?” tanya Windi dengan wajah penasaran.

“Iya, jadi begini,” jelasku, “sekolahku yang lama, bagus dan juga luas hanya perbedaannya tidak terlalu ketat seperti di sini.”

“Iya sih, emang di sini sekolah paling ketat, harus disiplin, kadang banyak juga yang keluar, makanya mayoritas di sekolah ini kebanyakan cewek.”

“Loh, emang cowok pada ke mana?”

Aku mengambil kentang itu dan memakannya. Rasanya memang enak buat camilan sambil mengobrol begini, sungguh idaman buatku.

“Ya biasa, hanya cowok terpilih yang bisa sekolah di tempat seperti ini.”

Windi melanjutkan makannya, dia mengambilkan aku minum dua gelas air putih.

“Terimakasih Win.”

“Sama-sama, ngomong-ngomong kamu juga suka makan sayur?” Windi menunjuk ke mangkuknya yang penuh dengan sawi dan kentang.

“Iya, kemarin aku juga minum jus wortel.”

Aku dan Windi tertawa ternyata kami memang punya banyak kesamaan. Meski sering aku tersesat setidaknya punya teman yang bisa membantu, kehidupan masa-masa seperti inilah yang membuatku selalu terbayang.

Nizan yang selesai makan juga ikut berdiri keluar dari kantin dengan diikuti banyak wanita dia mendekatiku.

“Kamu jadi ke kantor gak?” tanyanya.

Semua wanita itu terlihat marah dan Windi Cuma menarik tanganku.

“Maaf kayaknya esok aja deh Margena ke kantor,” jelas Windi.

Dia memeluk tanganku dan berjalan menjauhi pria itu. “Benar-benar maut,” sindir Windi.

“Emang ada apa Win?” Windi
menarik tanganku lebih kuat dan mendekatkan telingaku padanya.

Windi membisikkan sesuatu yang membuat aku ingin terkejut. Setiap ucapannya begitu berguna untukku. Akhirnya aku bisa menyimpan hal ini lagi, aku memeluk Windi dengan erat dan berjalan kembali ke kelas. Kata-kata itu tetap membayangiku, membuatku terus berpikir hal yang lebih dari ini. Jika waktu ini sangat panjang maka hari-hari akan terkesan lebih lama, setiap kehidupan jelas ada alasan. Aku memahami itu dari Windi, dia memang orang yang bijaksana dengan cerita anehnya tidak jauh beda dengan mbok Yan.

Suasana di kantin memang ramai dan sibuk, terkadang semua ini harus di jalani, aku tidak mau menceritakan bagaimana sekolahku dulu membayangiku dengan rasa sakit yang tidak ada habisnya. Mulai dari murid dan hubungan pertemanan yang putus tanpa alasan, aku hanya tidak mau berbelit dengan banyak masalah. Padahal ada yang lebih rumit daripada masalahku, Windi duduk di mejanya. Dia tertawa dan memberiku kode menggunakan tangannya.

Windi kembali menghampiriku  dan bertanya, “Kamu ada handphone gak?”

Aku terdiam beberapa saat, sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai kembali. Aku tidak yakin dengan hal ini. Aku memang memiliki alat komunikasi tetapi tidak terlalu mewah, jika rusak aku juga akan kena marah habis-habisan. Ibu membelikannya untuk hal penting saja, tetapi aku belum jujur pada Windi tentang keluargaku, aku hanya orang biasa.

Rasanya seperti ingin melepaskan banyak beban pikiran atau memang perutku yang masih kelaparan, aku kembali terdiam dan memikirkan banyak hal. Windi masih menunggu di hadapanku, karena tidak mau ada orang yang lebih banyak tahu, aku memberikan dia nomor handphone ku. Rahasiaku akan tetap terjaga aman, Ibu juga tidak mengizinkan aku terus membawa handphone karena takut aku kecanduan seperti narkoba. Padahal aku sudah besar, harusnya begitu.

“Windi, nanti coba aja chat yah?”
“Oke!”

Kali ini adegan yang aku benci adalah harus melihat pria itu duduk di sebelahku lagi. Bagaimanapun aku tidak akan melepaskannya, dia harus bertanggung jawab, diriku jadi ikut di hukum. Aku tahu ini rencananya, tetapi lama-lama aku memang punya rasa suka jika mengganggunya. Tidak lebih dari batas teman, bagiku ini hanyalah pertemanan. Aku lihat buku dan tasnya tertata rapi di meja, sepertinya dia tipe orang yang mencintai kebersihan. Hanya saja aku tidak tahu kenapa dia bisa menjadi lebih mengerikan daripada yang aku pikirkan. Masih memperhatikannya aku menggerakkan tanganku untuk menuliskan semuanya di buku tulis, seperti Nizan, memang boros kertas. Banyak kertas yang dia buang, hampir sekantong plastik belanjaan dalam satu hari. ‘Sungguh luar biasa' gumamku.

Our Story is PausedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang