Bab 7

3 0 0
                                    

Ruang UKS. Di sini aku diantar oleh Windi dengan di bantu pak Ahmad aku sudah mendapatkan obatku. Windi menghampiriku, dia duduk dan menatap dengan pertanyaan besar.

“Kalau ada orang yang menjatuhkanmu lebih baik jangan kamu dengar!” perintah Windi.

Aku masih tertunduk dan hanya bisa membalasnya dengan mengangguk. Masih dengan perban di tangan aku mencoba mengobati lukaku sendiri.

“Wah kamu hebat ya, Margena? “ puji Windi, “kamu bahkan tidak mau meminta bantuan ku untuk mengobati lukamu.”

“Hehehe, iya, ibu bilang untuk aku selalu belajar mandiri. Selama masih bisa, ya pasti akan aku lakukan sendiri.”

Ya, kita hidup memang bersanding dengan banyak orang, tetapi menurutku jangan terlalu menyandarkan diri pada orang lain.

Windi sedang berbincang dengan seorang wanita lembut di sampingnya. Windi mengenalkan gadis itu kepadaku.

“Nah, perkenalkan ini Naya, lalu ini teman baruku Margena.”

Aku dengan sedikit ragu mulai menjabat tangannya.

“Hai salam kenal,” ucapku.

Wanita itu kembali tersenyum, “Iya salam kenal kembali kak.” Sambil membalas tanganku. Rambutnya sangat indah, tidak aku sangka ada wanita terawat seperti dia. Maksudku dia begitu terlihat sempurna dan tampak sedap di pandang.

“Oh iya, jadi kalian berdua lagi ngobrol apa?” tanyaku.

“Ini, tadi Nizan kasih aku minum kak.”

“Apa?” tanyaku sedikit terkejut, “racun?”

Windi menyenggol perutku, sambil berbisik di telingaku.

“Kamu gak tahu kabarnya?” ucap Windi, “Naya dan Nizan itu pasangan serasi, ada yang bilang mereka pacaran.”

“Tunggu-tunggu kok jadi bahas Nizan?” tanyaku balik sambil berbisik.

Naya yang masih tersipu malu dengan wajah merahnya. Tampak menunduk dan tidak memedulikan pembicaraan aku dengan Windi.

“Jadi itu alasannya kamu mundur?” ledekku.

“Idih, mundur apaan sih?” balas Windi sambil mencubit lenganku, “kamu gak lihat? Nizan itu orang kaya.”

“Tapi kemarin aku lihat Nizan ke pasar?”

“Apa?” ucap Windi dan Naya bersamaan.

Berawal dari itu. Semua keadaan yang awalnya ramai jadi sedikit sunyi dengan pikiran masing-masing. Sambil sedikit tersenyum aku berusaha mengembalikan keadaan.

“Sepertinya, kelas sebentar lagi mau masuk,” ucapku. Sedikit menatap ke arah Windi.

“Kak, nanti kita ngobrol lagi yah?” ucapnya, “permisi kak.”

Naya lewat begitu saja. Aku dan Windi hanya saling tukar pandang. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk berdiam diri di kelas.

Semenjak mengenal Naya, sosok wanita idaman semua pria. Aku memang senang berteman dengannya, tetapi tidak dengan Windi yang mulai merasakan sikap yang tidak baik dari Naya.

Perasaan Windi untuk Nizan, waktu itu aku benar-benar tidak tahu. Jika Windi memberanikan diri untuk mengatakan perasaannya.

“Nizan...” panggil Windi sambil berusaha tersenyum.

“Iya ada apa?” tanya Nizan dan berhadapan dengan Windi.

Wajah Windi begitu memerah bibirnya bergetar untuk mengungkapkan segalanya. Aku hanya memandang dadi jauh, tetapi apa Naya akan tahu semua ini? Aku tidak ingin memihak cinta seperti ini.

“Nizan aku suka sama kamu.”

Kalimat itu terlontar begitu saja. Melesat seperti jutaan panah yang lepas dari busurnya, tetapi Nizan hanya bersikap biasa. Dia terdiam cukup lama, aku bingung apa yang akan pria itu pilih. Meski aku sering membuat masalah dengannya.

‘Apa Windi akan di tolak?’  gumamku. Sesekali aku melihat dengan wajah tegang di tiap celah ekspresi Windi.

“Aku homoseksual,” jawab Nizan dengan lantang. Sampai hampir semua penghuni kelas yang melihat dari jauh, terkejut sejadi-jadinya.

Pria tampan homoseksual, bagus sekarang masuk catatan pribadiku. Ini masih awal, sejauh aku mengenal Nizan cinta di masa-masa sekolah seperti ini bukan jawaban kenapa aku bisa bersamanya. Sebenarnya aku bingung apakah ini pantas di sebut jawaban iya atau tidak. Ini adalah jawaban yang akan membuat semua penduduk kelas bertanya-tanya.

“Apa?” Windi sedikit kebingungan dan kaku menghadapi perkataan dari Nizan.

Pria pintar, sekolah tinggi, punya penghargaan, jago menulis, bahkan dia ahlinya dalam banyak hal. Ternyata homoseksual? Ayolah, dunia ini tidak mungkin terlalu sempit. Pria itu pasti bercanda, aku berlari menghampiri Nizan dan menghentikan langkah kakinya.

“Hai, kamu tidak boleh pergi!”

“Kenapa?”

“Jawaban macam apa itu tadi?” ucapku, “kamu mau mempermainkan perasaan wanita?”

“Jika perasaan wanita bisa aku pegang, maka akan ku mainkan seperti bola,” jelas Nizan.

Kalian bayangkan saja, jawaban seperti ini bukan yang Windi inginkan. Sudah berada dalam level seberapa tinggi otaknya hingga tega mengatakan itu. Kalau itu terjadi Nizan kenapa terlalu jujur terhadap hal itu. Windi yang sudah tidak dapat menahan tangis kembali masuk ke dalam kelas, membiarkan diriku yang masih menatap marah ke arah Nizan.

Sudah berapa lama? Nizan begitu mudah akrab dengan banyak orang. Dari awal aku juga tidak ingin berurusan dengannya, dia lebih mirip Ubi bakar bagiku. Tidak perlu sampai hangus di sendiri tidak peduli jika api membuatnya menghitam. Aku senang pada akhirnya Nizan akan aku jadikan perawat nasional di dalam tanah. Aku menghempaskan lengan yang tidak sengaja aku pegang, “Dasar gak punya hati!” tanganku mendorong dada pria itu dengan jari telunjuk.

Mungkin aku sudah bertindak tidak sopan. Wanita-wanita penggemar Nizan memang akan marah, tetapi yang paling aku khawatir kan sekarang adalah Windi. Windi masih menangis di tempat duduknya, dia begitu terpukul mendengar penolakan dari orang yang dia suka. Ya, ini memang terlalu cepat sih. Menurutku Windi terlalu gegabah, dia tidak mendengarkanku. Hanya karena takut Nizan diambil Naya dia sampai rela di permalukan di depan umum seperti tadi.

Meski pertemanan ku rumit, aku mulai mengerti. “Win aku mau beli minum dulu yah, sudah jangan sedih.” Aku membelai sedikit rambutnya dan pergi meninggalkan dia sendiri.

Ketika aku sedang mengambil minuman wanita-wanita itu mulai kembali hadir di depanku terutama Rina. Dengan wajah sedikit tersenyum dia mengangkat gelas jus dan menumpahkannya diatas kepalaku. “Hai apa yang kamu lakukan?” tanyaku.

“Apa yang aku lakukan?” ucapnya sambil tersenyum meledek, “kau sendiri apa yang telah kamu lakukan?”

Aku baru sadar setelah semua ini. Ada orang lain yang membenciku, apa yang membuat dunia uangnya adalah gudang untuk mengendalikan orang aku masih ingin berdiri tetapi mereka menyeretku dan melemparkanku ke lantai. Memukul kepalaku terlalu keras, setelahnya aku tidak dapat mengingat apapun. Selain warna gelap yang memenuhi seluruh pandanganku. Aku hanya sekedar merasakan sesuatu yang dingin, sudah berapa lama aku berasa di tempat yang tidak aku kenal? Ruangan ini terkunci, aku masih berusaha bangkit dan mendobrak pintu itu. Namun tidak ada jalan keluar, “Siapapun tolong keluarkan aku!” teriakku.

Sebentar lagi ujian IPS akan di mulai, tetapi aku malah terjebak di tempat ini. Itu pasti karena wanita-wanita itu, grup-grup murid nakal yang masih berkeliaran. Di sini tidak ada jendela, pintunya di kunci begitu rapat. Dadaku terasa sangat sesak, apakah mungkin aku harus berakhir di sini? Aku belum bisa melakukan sesuatu untuk orang tuaku.
























Our Story is PausedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang