Bab 9

0 0 0
                                    

Sekalipun aku mencoba untuk meraih beberapa kesempatan mungkin aku sendiri juga tidak menemukan jawaban yang tepat kenapa aku bertemu dan menceritakannya kembali. Ini bukan suatu hukuman, ketika aku dan mimpimu adalah janji untuk kita saling bertemu.

Waktu itu, Nizan tidak mengatakan apapun, bahkan setelah semuanya terjadi dia hanya menatapku datar dan mengalihkan pandangannya. Meski aku tahu aku bukan orang mampu yang hidup dengan jalan-jalan keluar negeri, di sisi lain aku melihatnya yang tidak memandang kekayaannya sama sekali.

“Nizan apa kau tidak peduli dengan keadaan mu?” tanyaku dalam telepon singkat waktu malam.

“Jika kita selalu di batasi keadaan, kalau belum berani untuk melihat keadaan, Kamu juga tidak akan tahu keadaannya.”

Aku mendapatkan nomor Nizan dari Windi yang telah lama mengagumi Nizan. Meski niatku adalah membela temanku, Nizan sendiri menunjukkan hal yang berbeda di sepanjang tahun. Jika tidak untuk hari ini, maka esok saja dia bisa melanjutkan sesuatu tanpa menunda. Aku selalu lupa pada waktu yang akan datang, karena bukan hanya kamu di sini, tetapi jika hanya aku yang di sini, apa itu suatu kebetulan.

Aku mematikan handphone ku dan mulai menjamah selimut untuk memeluk tubuh yang sudah kedinginan ini. Rentikan air di atas kaca jendela tampak jelas, seperti air mataku. Aku selalu memandang keluarga itu tidak memiliki apa pun, seperti selimut yang kini sedang membalut ku dalam kehangatan lalu terbuang begitu saja, jika kotor kau bisa mencucinya. Gambar kucing di tiap warna kain ini juga kita tidak tahu siapa yang lebih bertahan lama.

Selimut ini adalah pemberian dari ibu beberapa tahun yang lalu. Dia selalu mencucinya dengan tirai terbuka, menatapku dan tersenyum, pernah ku pikir membahagiakan dirinya cukup sederhana. Namun dalam hatiku iya, itu terkesan tidak cukup. Mungkin aku yang belum tahu banyak hal, bahkan beberapa meja belajar ku  yang telah rusak.

Aku menyalakan lampu yang hanya tinggal di putar, setelah menyala ku coba menuliskan beberapa hal untuk melanjutkan novel itu, meski bukan penulis Nizan sebenarnya lebih tahu. Tetapi hukuman seperti ini memang sering terjadi, ibuku tidak punya waktu untuk beli novel, aku juga tidak bisa lagi merepotkan dirinya. Nizan sudah menyelesaikan satu lembar catatan kecil ini, meski aku tidak di berikan izin untuk tahu apa tema dan bagaimana ceritanya.

Akhir-akhir ini aku juga menjadi lebih sering terkejut. Tetapi pertemuanku dengan Nizan bukan sesuatu yang perlu di  terima atau  mesti aku tangisi. Lukisan di kamarku tidak pernah berubah, aku hanya memiliki satu kanvas saja dan ku dapatkan itu saat ujian praktik. Malam seperti ini ku rasa tidak baik kalau harus menggunakan hati sebagai perasaan tertinggi. Entah apa yang membuatnya dingin seperti itu.

Kenapa seperti ini lagi imajinasiku bahkan gak mau jalan lagi. Dia sangat menarik menentang ku untuk menuliskan kisah-kisah apapun. Meski aku mencoba mencari inspirasi itu untuk hari yang lebih penting aku juga sedang berusaha demi hal baru, namun sesuatu melesat di pikiranku. Aku merasa aku tidak bisa membuatnya sama sekali. Apa aku harus membiarkan Nizan sendiri yang membuatnya? Meski dia tidak mempermasalahkan itu, persahabatan ini baru saja di mulai. Tidak ingin ku harapkan ada cinta yang datang melesat di hatiku, namun Windi dan Naya adalah dua orang yang sama-sama mencintai Nizan. Semua ini tergantung pada sang pria, mau bagaimana jalurnya. Sekalipun  aku menuliskan hal yang sama, dia tidak akan menjadi sama, karena lembar halaman satu dengan yang lain berbeda.

Our Story is PausedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang