20. janji dan kenangan terakhir

3.5K 196 19
                                    

Juli memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan dia belum bisa tidur.

Sudah sekitar empat jam juli pulang dari rumah sakit dan juga perkataan ibu pak tara terus tergiang didalam otaknya.

Kalau bisa jujur. Juli tidak rela kalau harus berpisah padahal mereka baru saja baik kan bahkan belum terhitung sehari.

Tapi dia juga tidak bisa protes.

Ini juga demi kebaikan pak tara kan.

Juli menghela nafas secara kasar lalu menarik selimutnya hingga leher. Air matanya yang tadi Sempat dia tahan karena matanya yang sudah cukup sembab pun pecah.

Dia kembali menangis. Meluapkan emosinya dan juga rasa sesak yang terus menjalar didalam dadanya.

Dan jika diingatkan. Tara akan berangkat lusa yang artinya waktu mereka bertemu tinggal dua hari.

juli mengigit tangannya sendiri berusaha agar tidak mengeluarkan suara tangisan membiarkan air matanya terus berjatuhan membuat matanya cukup berat dan tertidur dengan pulas.

-

Tara mengulum bibirnya memandang lurus kedepan dengan tatapan kosong. Pikirannya masih ling lung mengingat tadi malam waktu tidurnya juga tersita cukup banyak.

Dia susah tidur.

Tara mendesah pelan lalu meraih handphonenya yang terletak di atas meja disamping ranjang rumah sakit.

Dia menyalakan handphone tersebut untuk melihat jam sekarang.

"Ah... Sudah mau jam 12 siang ?" gumam tara pelan. "Tadi tidur jam satu subuh kebangun jam lima.. Waktu tidur gw dikit juga ya."

Tara menghela nafas berat lalu menaruh pelan handphonennya kembali. Dia memijsy pelipisnya pelan berharap rasa sakit yang menjalar di kepalanya bisa redup.

Pikirannya terus berputar.

Besok dia akan keluar dari rumah sakit dan juga sudah akan berangkat ke amerika untuk membantu perusahaan ayahnya.

Dan berarti waktunya untuk bertemu dengan juli dan teman - temannya tinggal hari ini.

Bahkan setengah hari sudah lewat begitu saja. Dan tara hanya bisa duduk di ranjang putih ini.

Tara berdecak kesal merasakan campuran emosinya yang semakin memuncak. Jika ditanya. Kenapa tidak ditolak ?

Kemarin. Tara jelas memprotes tentang ini ke ibunya bahkan menelfone ayahnya sendiri. Tapi nihil. Tara tetap tidak bisa melawan.

Pergerakkan tara sempat terhenti ketika merasa pintu rumah sakit terdengar terbuka oleh seseorang. Dia menoleh dengan cepat. "Juli ?"

Sosok itu terdiam mematung di tempat begitu mendengar satu nama yang terlontar dari mulut tara. Bukan namanya yang disebut tapi orang lain.

Pandangan mereka bertemu membuat tara kembali membuka suaranya. "Eh ira ?"

Ira tersenyum tipis lalu kembali melangkah mendekati tara dengan plastik hitam yang dia bawa.

"Nih. Gw bawain makanan kesukaan loe."seru ira sembari meletakkan plastik hitam tersebut di atas meja. Tara tertawa kecil. "Hahaha makasih."

Ira duduk di samping ranjang dan diam melihat tara yang juga terdiam seakan tak minat untuk membuka sebuah topik pembicaraan.

Membuat suasana ruangan terasa sangat canggung dan hening.

Tara berdehem beberapa kali. "Em ra."

My teacher is My husband -- OSH [Complited √]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang