Bab 7: Mengikhlaskan💦

220 22 6
                                    

"Melepaskan bukanlah suatu yang buruk. Mengikhlaskan dan belajar menata hati. Melepaskan kepingan-kepingannya yang sempat membuatmu teperdaya dan dijadikan tipu daya."

※※※

Langit Pesantren, tahun 2016.

Tepat sudah umurnya 21 tahun. Dan telah 5 tahun juga dia berpisah dengan Caca. Bocah itu sudah dibawa oleh ibunya. Mungkin bocah itu sebentar lagi akan beranjak remaja. Walau awalnya ia tak ingin jauh dari Shakila. Namun, usai bujuk rayu, bocah itu pun luluh.

Shakila memandangi bunga yang tengah mekar dari jendela kamar. Gadis itu telah lulus dari pesantren dan sekarang mengabdi menjadi guru di pesantren tersebut.

"Kamu cantik ya, lihatlah yang awalnya kecil sekarang sudah mekar," ucapnya. Dalam hati, gadis itu berharap agar dapat mekar dan indah bagai bunga itu.

"Sha! Jangan ngelamun terus, kan nanti malam bakal ada yang datang. Pilih-pilih bajulah!" Tak ada yang berubah dari Humaira, gadis tomboi itu masih tetap sama. Yang berubah hanyalah usia dan ilmu silatnya yang sudah semakin tinggi.

"Yaudah." Shakila beranjak dari kursi itu dan membongkar isi lemari mereka, memilih baju yang sekiranya cocok.

"Eh Sha, aku pinjam baju kamu ya." Humaira terkekeh, ia ikut mengobrak-abrik isi lemari itu. Sekarang Shakila tinggal di kediaman Abah dan Ummi, bersama Humaira.

"Ih kok bajunya gini semua sih? Nggak ada yang keren apa?" Ia memegang baju gamis berwarna dusty pink.

"Itu aja Mai, bagus kok." Shakila mengambil alih baju itu dan mengarahkannya ke hadapan Humaira.

Gadis tomboi itu pun merebut dan langsung memasukkan kembali ke dalam lemari kayu. "Bagus dari mana coba? Norak banget tau."

Shakila hanya menghela napas. "Oh iya, bang Ray kapan nyampe?" tanya Shakila.

"Kata Ummi ntar malam juga, jadi sekalian nyambut abang," jawab Humaira tanpa menoleh, gadis itu masih sibuk dengan baju-baju yang sejak tadi dicobanya. Rayyan adalah abang kandung Humaira yang tengah kuliah di luar pulau, setelah wisuda S2, lelaki itu kembali ke pondok pesantren. Shakila pun belum pernah ketemu, hanya melihat fotonya saja.

"Ih kok nggak ada yang cocok ya? Tau dah, aku ngantuk," ucap Humaira seraya menghempaskan badannya ke kasur.

Shakila memandang lemari yang sudah dibuat berantakan. Tak hanya pakaiannya yang yang berantakan, pakaian Humaira juga begitu. Namun, gadis itu tak terlihat peduli dan malah tidur.

"Rapiin dulu, Mai!" suruh Shakila. Tak ada sahutan. "Kebiasaan," lanjutnya.

Setelah merapikan cukup lama, gadis itu menemukan sebuah amplop lucu. Sepertinya itu milik Humaira, tunggu, mana mungkin itu milik Humaira. Karena penasaran Shakila membukanya.

Sebuah diary? Oh bukan, sebuah surat! Shakila pun membaca tulisan tangan itu dengan seksama. Seketika hatinya remuk, dadanya terasa ngilu, perih! Sesegera mungkin ia masukkan kembali surat itu ke dalam amplop dan meletakkan di bawah pakaian Humaira.

Ia pun beranjak keluar, berjalan ke arah taman. Duduk di atas ayunan, sembari bertarung dengan segala pikirannya.

"Ustadzah!" Tak ada sahutan.

"Ustadzah Shakila!" ucap seseorang sembari memegang lengannya.

"Astagfirullahal adzim, eh iya maaf." Shakila terperanjat, ia tak mendengar panggilan dari santrinya itu.

"Ustadzah, ana mau nyetor mufrodhat," ucap santri dengan jilbab putih sepanjang pinggang.

"Iya, silakan!"

Seseduh Kenangan Tentangmu | Terbit✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang