"Setiap kesedihan akan berganti dengan kebahagiaan, pun seusai kebahagiaan akan ada kesedihan lain. Semudah itu Allah swt. membolak-balikkan keadaan. Maka selalulah berdoa kepada-Nya, skenario Allah swt. sangatlah indah dan penuh rahasia."
※※※
Shakila meneguk lagi kopinya. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela, tak ada lagi anak perempuan yang ia lihat beberapa waktu lalu. Dia sudah pergi. Sekilas Shakila melirik sosok di balik selimut berwarna monokrom itu dan senyuman kecil melengkung di bibir tipisnya. Senyuman itu masih sama sejak puluhan tahun lalu. Senyuman yang memberikan ketenangan, sama seperti milik sang Abinya.
"Sha! Aku nggak pede nih. Aku nggak biasa pake gaun ini." Humaira menatap pantulan dirinya di cermin. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Humaira. Sahabat yang ia sayangi.
"Bukan kamu aja yang nggak biasa pake gaun itu. Aku aja nggak pernah," ucap Shakila.
"Makanya buruan nikah, Sha!"
Shakila ingin membekap mulut Humaira, bisa-bisanya dia ngomong begitu. "Mau nikah sama siapa, Mai? Sama tembok? Nggak deh maaf."
"Sama bang Rayyan aja tuh," ucap Humaira ngelantur.
"Jangan aneh-aneh deh, Mai. Mana mau bang Ray sama aku," sahut Shakila.
"Yaudah, ntar aku bilangin." Humaira mengubah-ubah ekspresi wajahnya di depan cermin. Sedangkan Shakila hanya menggelengkan kepala. Konyol sekali kelakuan Humaira.
"Enggak, Mai. Kamu selalu buat aku diposisi ini. Persis kek kita dapat hukuman dulu." Shakila benar-benar malu jika Humaira berkata begitu, nggak mungkin dia sama bang Ray. Dia hanyalah bintang kecil yang cahayanya redup, sedangkan bang Ray bagaikan rembulan yang mudah mendapatkan kilauan bintang yang teramat terang.
Akad pun telah selesai, Shakila menggandeng tangan sahabatnya itu. Menuju masjid pesantren, karena akad dilakukan di sana.
Humaira tampak tersenyum lebar, Shakila yakin ini adalah hari yang sangat bahagia bagi Humaira. Shakila pun turut senang, walau masih ada sedikit rasa perih di hatinya.
"Selamat ya sahabatku. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah, dan warahmah." Mata Shakila berkaca-kaca mengungkapkan kata-kata itu.
"Terima kasih, Sha. Kamu boleh pergi! Aku sudah sampai." Bukan karena apa-apa ia berkata seperti itu kepada Shakila. Ia sangat tau bagaimana perasaan gadis itu.
"Makasih ya Mai," ucap Shakila. Sebuah bulir bening jatuh membasahi pipinya, cepat-cepat Shakila mengusap dan beranjak pergi dari sana. Ia tak kuat jika berlama-lama di situ.
Shakila pun duduk di ayunan taman, ia menangis. Dan berusaha menahan isakan yang ditahan. Ya Allah! Kenapa rasanya begitu sakit?
Setelahnya Shakila berusaha menenangkan diri, ia mengusap air matanya. Dan mencoba tersenyum.
"Apa senyumku terlihat dipaksakan ya?" Ia berusaha tersenyum lagi, membuat seseorang dari kejauhan ikut tersenyum lalu pergi.
"Oke, Sha. Mari kita hadapi," ucapnya. Ia pun kembali ke dalam masjid dan menyaksikan kebahagiaan sahabatnya. Humaira sempat melirik Shakila dan tersenyum. Shakila tampak jauh lebih baik.
Serententan acara pun sudah selesai, dari akad hingga resepsi. Tibalah saatnya Shakila menjalani hari-hari yang jauh dari sahabatnya itu, sekarang Humaira telah memiliki keluarga baru. Candaan Humaira pun akan jarang ia dapat, semua tak akan pernah sama seperti dulu.
Beberapa bulan pun berlalu, Shakila mencoba mengikhlaskan semuanya. Hatinya perlahan mulai pulih, ia melanjutkan aktivitasnya mengajar. Ia amat senang dengan itu, melihat keaktifan dan bakat-bakat yang dimiliki santrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seseduh Kenangan Tentangmu | Terbit✅
Genel KurguGempa memorak-porandakan kota Padang, membuat Shakila kehilangan harta benda dan orangtuanya. Gadis itu kabur dari tenda pengungsian dan tinggal di pesantren. Suka duka ia rasakan semenjak berkenalan dengan Humaira, anak pemilik pondok yang justru m...