Bab 19: Lemon💦

319 23 0
                                    

"Tidak melulu tentang kebersamaan, kadang kita perlu belajar mengenai ketiadaan."

※※※

Hanif sudah sampai di pesantren, dia hanya berdiri kaku di depan gerbang pondok. Ingin menerobos masuk, tetapi hati kecilnya meminta untuk tidak gegabah.

Matanya memandangi santri yang hilir mudik dengan kitab di tangan. Terlihat akrab, sesekali saling melempar canda, tampak jelas sorot bahagia dari wajah-wajah mereka.

Mungkin itu juga yang Shakila rasakan saat di pesantren, sedangkan di tempatnya Shakila sering kali menangis dan termenung. Hanif merasa dia telah merenggut kebahagiaan Shakila.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ada seseorang yang berpakaian rapi dengan peci dan sorban yang tersampir di bahunya. Ia berjalan mendekat ke arah Hanif.

"Assalamuaikum, kapan kamu sampai, Nif? Kenapa nggak langsung masuk?" Pria itu menepuk lengan Hanif.

"Waalaikumussalam. Nggak lama kok Ray, baru juga datang." Ya, pria itu adalah Rayyan, sahabatnya.

"Ayo masuk, lama nggak bertemu kamu apa kabar?" Rayyan merangkul pundaknya lalu melangkah masuk ke tanah pesantren yang sebagian diisi rerumputan pendek, hijau dan cantik. Rayyan menampilkan senyum senang, siapa yang tau hatinya tengah bertanya-tanya tentang hubungan Hanif dan Shakila, sebab wanita itu beberapa hari ini terlihat uring-uringan.

"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri? Saya dengar kamu bakal menikah." Mereka berjalan berdampingan, mengundang perhatian beberapa pasang mata untuk memandang sosok mengagumkan dan penuh pesona itu.

"Secepat itukah beritanya tersebar? Hahaa.. iya seperti itulah, doain ya semuanya berjalan lancar."

Mendengar perkataan Rayyan, mau tidak mau memutar ingatannya pada saat kejadian Rayyan batal menikah dan  memberikan sang wanita—Shakila kepadanya.

Cukup lama berbincang, tak sadar mereka sudah sampai di sebuah rumah. Sama seperti tempat saat ia mengkhitbah Shakila. Entah kenapa jantungnya berdetak lebih kencang, tak sabar untuk berjumpa dengan sang istri.

Sekarang Hanif tengah duduk di sebuah kursi rotan, di seberangnya ada ummi dan Rayyan. Bola mata Hanif bergerak liar mencari keberadaan Shakila.

"Makan dulu sala sauaknya, Nak," ucap Ummi kepadanya.

"Iya Ummi." Ia melirik piring yang masih terbuat dari kayu, tetapi terlihat licin. Di sana terdapat makanan berbentuk bulat yang ukurannya agak kecil. Berwarna kuning, yang ia yakin itu akan terasa gurih.

Hanif mencomot salah satunya, ia memasukkan ke dalam mulut dan mengunyahnya perlahan. Benar saja, rasanya gurih di luar. Namun, lembut di dalam.

"Ini Ummi yang masak ya? Rasanya enak sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini Ummi yang masak ya? Rasanya enak sekali."

Mendapat pujian dari Hanif lantas wanita paruh baya itu tersenyum senang. "Syukurlah kalau nak Hanif suka. Oh iya itu isinya teri sama udang halus."

Seseduh Kenangan Tentangmu | Terbit✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang