Satu Kebenaran

1.2K 113 52
                                    

📌 11 Juni 2020

~

Kedua mata hitam itu tampak mengerjap selama beberapa kali bersamaan dengan dahi yang ikut mengerut. Pritha baru saja pulang dari sekolah, dan kini ia tengah bingung menemukan seorang lelaki tengah terduduk di sofa ruang tamu bersama dengan ayahnya.

Bukan. Lelaki itu bukan Fathur yang dua minggu lalu menemuinya setelah acara PHBI selesai. Bukan Fathur yang membuatnya menangis seharian sepulang dari acara itu.

"Eh, Pita udah pulang!" sapa Ayahnya.

"Iya, assalamu'alaikum," ucap Pritha.

"Wa'alaikumsalam," balas Ayah serta lelaki itu.

Pritha menatap ayahnya kebingungan. Seakan paham dengan tatapan Pritha, ayahnya meminta ia untuk segera mendekat. Lalu duduk sebentar di samping ayahnya.

"Pit, kenalin ini, Miftah. Anak temennya ayah," ujar Ayah Pritha sambil tersenyum lebar.

"Hah?"

"Miftah. Anak temen ayah," ulang Ayahnya.

"Oh, Pritha," ucap Pritha sambil tersenyum canggung ke arah Miftah yang kini tersenyum kecil.

"Iya. Saya sudah sering dengar tentang kamu," ujar Miftah.

Mendengar ucapan Miftah, Pritha hanya mampu tertawa canggung. Ia sama sekali tak mengenal lelaki ini, dan tiba-tiba saja Miftah mengatakan bahwa dirinya sering mendengar tentang Pritha.

"Miftah ini dulu kuliah di kampus Diva loh, Pit. Ambil kedokteran kaya kakakmu juga," ujar Ayahnya.

"Dulu? Sekarang udah lulus?" tanya Pritha penasaran.

"Tanya dong sama orangnya," ujar Ayahnya.

Pritha melirik Miftah yang masih setia tersenyum kecil sebagai isyarat bertanya. Ia yakin tanpa mengulang pertanyaan Miftah pun pasti sudah mendengar tadi.

"Iya," ujar Miftah.

"Jadi dokter dong sekarang?" tanya Pritha.

"Yaiya kamu mah, masa dari kedokteran jadi nelayan," sahut Ayahnya.

"Ih, orang Pita nanya sama kakaknya!" ujar Pritha.

Miftah dan Ayahnya tampak tertawa bersama. Mereka kembali mengobrol dan berakhir Pritha yang hanya sebagai pendengar. Miftah dan Ayahnya benar-benar terlihat sangat akrab.

Pritha menggembungkan pipi, ia bosan berada dalam obrolan dua orang dewasa ini. Maka dari itu ia memutuskan untuk bangkit dan beranjak. Namun, tangannya dengan segera di tahan oleh Ayahnya.

"Mau ke mana?" tanya Ayahnya.

"Ke atas," jawab Pritha.

"Sini dulu, kenalan sama Miftah ini," tahan ayahnya.

"Kan tadi udah," balas Pritha.

"Lagi, biar makin deket. Masa sama keluarga sendiri nggak mau deket."

Pritha menatap ayahnya dengan alis tertaut. Mendengar kata "sama keluarga sendiri" membuatnya berpikir yang aneh-aneh.

"Ayah ngaco, ah! Pita mau naik!" pamit Pritha sebelum akhirnya beranjak menuju kamarnya sendiri.

* * *

Pritha melemparkan tubuhnya yang lelah ke kasur. Baru saja hendak memejamkan mata, telinganya mendengar suara anak kecil dari kamar sebelah.

Helaan napas keluar dari bibir. Mungkin saja itu Talya yang datang bersama Nilam juga Farkham. Lagipula memang sejak malam itu mereka sering sekali berkunjung kemari.

Menolak LupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang