"Rasa cinta itu untuk dikendalikan, diarahkan pada koridor yang syar'i agar ia berbuah ketaatan dan bahagia. Begitulah cinta menjadi ujian bagi manusia yang merasakannya."
🍂🍂🍂
Januari, 2017
Jarum jam bergeser sejurus kemudian dering bell berbunyi nyaring keseluruh penjuru sekolah. Seluruh siswi dengan seragam biru dan kerudung putih berhamburan keluar dari masjid menuju ruang makan.
Waktu istirahat mereka hanya tiga puluh menit, siapa yang terlambat maka harus menahan lapar hingga waktu makan selanjutnya tiba. Seperti itulah kehidupan pesantren yang serba disiplin dengan segudang peraturannya.
Para santri dilatih untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebab orang beriman tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu barang sedetikpun, menggunakan kesempatan yang ada untuk berbekal sebanyak mungkin sebagai bekal kehidupan akhirat.
"Ukhty! Ukhty Nissa!" Teriakan lantang itu terdengar diantara lalu lalang para siswi. Seorang gadis berjalan cepat berusaha mengejar langkah orang yang dipanggilnya.
Nissa yang awalnya fokus mengulang hafalan sambil berjalan santai seketika menghentikan langkahnya lalu menoleh pada sumber suara.
"Ukhty Salwa? Ada apa?" Tanya Nissa menatap Salwa yang masih mengatur nafas berdiri dihadapannya.
Salwa menegakkan tubuhnya, lalu menyerahkan sebuah golongan kertas merah muda yang diikat pita biru pada Nissa. "Ini buat kamu," ucapnya membuat Nissa menatap bingung.
"Dari pengagum rahasia," katanya pelan dengan seringai menggoda.
Dahi Nissa berkerut menatap bingung golongan kertas ditangannya. "Pengagum rahasia? Siapa?"
"Mau tau?" Tanya Salwa.
Nissa mengangguk polos.
Salwa menoleh ke kanan dan kiri, menatap awas sekitar mereka untuk memastikan tidak ada yang mendengar ucapannya. Gawat jika ada yang melapor pada ustadzah.
"Dari akhi Rafif." Bisiknya pada Nissa.
Kerutan dahi Nissa semakin dalam menyiratkan kebingungannya semakin bertambah. "Rafif?" Salwa mengangguk mantap. "Siapa dia, aku baru denger namanya?"
Kedua mata Salwa membulat sempurna. Sulit dipercaya ada santri yang tidak mengenal seorang Rafif, padahal seantero pesantren Ar-Rahman tau siapa dia karena prestasinya yang membanggakan dan wajahnya yang rupawan. Nissa sungguh kudet!
"Kamu serius gak kenal dia?" Salwa menjerit tak percaya.
Nissa menggeleng lugu. Gadis itu memang tidak punya banyak teman di pesantren, apalagi santri putra. Terlalu malu baginya yang memang pendiam.
"Akhi Rafif, Nis, ketua Pramuka Ikhwan. Dia itu santri terbaik disini, hafalan Qur'an nya juga paling banyak, ditambah suaranya itu kalo lagi ngaji, MasyaAllah merdu. Masa kamu gak tau?" Cecar Salwa.
Nissa mengedikkan bahu acuh. Memangnya kenapa ia harus tau tentang lelaki itu? Tidak penting juga untuknya. Tujuan dia ada disini kan untuk belajar bukan cari pacar.
"Sebentar, sebentar..."
Salwa membuka salah satu buku yang ia bawa. Dilihat dari sampulnya, setahu Nissa itu adalah majalah pondok. Tidak heran Salwa memilikinya, sebab gadis itu memang anggota jurnalistik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lamaran Untuk Aisyah (Revisi)
Romantizm[TAHAP REVISI] "Hatiku sesak, mataku tak sanggup menahan tangis. Kau, yang dulu berjanji kini khianat. Enam tahun menunggu namun kecewa yang ku dapat. Sakitku berkali lipat, saat dia yang kau pinang adalah sahabat dekat ku." -Hasna Nissa Sumayyah- "...