10. Rasa yang singgah

2.2K 176 9
                                    

Bagian 10 : Rasa yang singgah.

Mengertilah, perasaan seseorang hadir begitu saja tanpa bisa kita duga.

- Melviano -

"Salepnya habis." ujar Auristela begitu keluar dari dalam UKS.

Melviano yang tengah duduk di bangku yang sudah tersedia di depan UKS otomatis menoleh. Kemudian dia menepuk bangku di sampingnya yang kosong. Menyuruh agar Auristela duduk di sebelahnya.

Auristela bergerak duduk. Gadis itu tersentak kaget saat Melviano menyentuh tangannya. Membawanya kehadapan wajah melihat lebih jelas luka yang sudah membiru itu.

Melviano mendongak. "Udah lo obatin semalem?"

Melihat tatapan teduh Melviano membuat Auristela ingin berlama-lama menatap mata itu. Dari pancaran mata Melviano jelas terlihat berbeda. Ketika biasanya cowok itu memandang orang tanpa peduli kali ini tatapan itu mampu menyihir Auristela. Tanpa sadar Auristela menggeleng pelan.

"Kenapa nggak lo obatin?" nada Melviano kembali seperti semula. Membuat Auristela mengalihkan pandangannya ke segala arah. Cowok itu menatap Auristela datar sebelum kembali melihat luka Auristela kemudian beranjak berdiri.

"Gue anter ke puskesmas." ujarnya tanpa bantahan membuat Auristela spontan menoleh sembari menggeleng cepat.

"Nggak!"

"Nggak mau sembuh maksud lo?" ujar Melviano dingin. "Nggak lihat luka lo itu udah bahaya banget? Mau tangan lo di potong?"

Auristela menggeleng pelan. Dia menatap lukanya sendiri dengan tatapan getir. Luka ditangannya tak sebanding dengan rasa sakit yang dia rasakan semalam. Mengingat hal itu tentu membuat Auristela kembali melamun. Setitik air matanya jatuh, Melviano memandangnya kaget. Cowok itu bergerak duduk di samping Auristela.

"Kenapa?" tanya Melviano pelan.

Jujur dia paling benci melihat seorang perempuan menangis. Dia benci ketika harus melihat wajah tersakiti itu. Ketika dirinya melihat hal tersebut, yang ada di bayangan Melviano itu Ibunya dan Adiknya. Melviano sadar dirinya tidak peduli dengan orang, terlalu cuek untuk care dengan orang-orang di sekelilingnya. Tetapi dia hanya ingin membatasi dirinya dari seorang perempuan. Karena perempuan itu bahaya, dia selalu lemah saat melihat setitik air mata itu turun dari pipinya.

"Gue nggak mau." ujar Auristela terbata sembari menunduk dalam. Kedua tangannya saling bertautan di atas paha. "Gue takut."

"Takut?" tanya Melviano bingung.

Seakan tersadar apa yang dia katakan. Auristela dengan cepat mengusap bekas air mata di pipinya. Dia mendongak lalu tersenyum tipis. "Gue nggak papa."

Melviano menaikan dua alisnya tampak tidak percaya. Saat mulutnya terbuka untuk mengucapkan sesuatu namun Melviano menelannya dalam diam. Kata-kata yang akan dia ucapkan tertelan begitu saja. Menyadarkan dari sesuatu yang hampir membuatnya lupa akan kenyataan.

Melviano berdiri. "Gue anter lo pulang." Cowok itu membenarkan letak tasnya di bahu. Lalu melangkah lebih dulu.

Auristela menghela napasnya pelan. Jaket yang dia bawa sedari tadi Auristela gunakan untuk menutupi lukanya saat dia berjalan. Langkah kakinya bergerak dengan buru-buru, mengimbangi langkah kaki Melviano yang sudah lebih dulu sampai di parkiran.

Melviano mengulurkan helm pada Auristela yang hanya ditatap cewek itu dalam diam. Melihat tidak ada pergerakan dari Auristela, Melviano berdecak kesal.

"Nih ambil!"

"Lo nggak lihat tangan gue?" Auristela melirik lukanya yang sebagian tertutupi jaket.

MelvianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang