File 22

502 68 25
                                    

Ellion tidak mengizinkanku berlama-lama melamun. Dia segera menarik lenganku untuk meneruskan perjalanan keliling taman kota. Seperti yang baru pertama kali datang ke tempat ini, laki-laki itu tampak antusias mendatangi beberapa tempat ikonik yang biasa digunakan berfoto sembari menggerutu karena tidak membawa kamera untuk mengabadikan momen ini.

Aku hanya geleng-geleng melihatnya yang terjatuh karena menginjak tali sepatu sendiri. Kalau begini, aku sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa lepas. Ternyata aku salah. Dia sama sekali tidak pernah berubah. Masih ceroboh. Tidak peduli setinggi apa badan yang dulu kurus kerempeng itu bertumbuh.

Tetapi aku salah. Ada lebih banyak hal yang berubah. Aku benci perubahan itu. Sekecil apa pun ia, akan membawa pengaruh besar bagi seluruh dunia. Dan itu terkadang menyakitkan. Tapi takdir tidak akan pernah ada tanpa perubahan. Iya, karena takdir adalah perubahan. Perubahan yang terkadang terasa pahit.

Kuberi satu contoh. Tidak akan ada yang berpikiran negatif pada dua orang siswa kelas satu sekolah dasar yang berkeliling taman kota yang bahkan masih berseragam sekolah. Semua orang pasti akan menilai mereka sebagai anak yang masih polos. Tetapi yang terjadi sekarang jauh berbeda.

Harus kuakui, aku sangat senang seperti ini. Menghabiskan waktu bersama teman masa kecilku, walaupun rasa nyeri dalam dada terus mencoba menunjukkan eksistensinya. Hari ini seolah sudah menjadi impian lamaku. Melihatnya selamat dari kecelakaan itu kemudian melakukan semuanya seperti dulu.

Tapi di sisi lain, aku sudah tidak tahan. Orang-orang selalu membuatku risih dengan tatapan mereka. Memang ucapan mereka yang tidak tahu apa-apa tidaklah penting. Namun pemikiran mereka seolah merasuk dalam otakku sehingga muncul sebuah tembok yang menghalangi impian lamaku.

Aku hanya ingin melakukan semuanya seperti dulu ... dengan teman lamaku. Iya, benar-benar seperti dulu. Walaupun sedikit aneh, aku ingin benar-benar ingin mengulanginya. Seharusnya sedikit kesenangan hari ini membuatku melupakan hari-hari yang terbuang sia-sia karena kugunakan meratapi hal tidak berguna. Tapi, itu hanyalah ekspektasi.

"Hei, Agatha!" Aku mengerjap-ngerjap. Entah sudah berapa kali aku disadarkan dari lamunan oleh Ellion yang memanggil-manggil namaku sambil melambaikan tangan. Aku sedikit berdeham kemudian memperbaiki posisi kacamata.

"Kau pasti tidak dengar aku kan?" Aku mengangkat alis. Bukankah dia memang tidak pernah berkata apa-apa selama aku tenggelam dalam pikiranku sendiri? Jika dia memang pernah bertanya, aku pasti sudah berhenti melamun sejak tadi kan?

"Kamu kan nggak pernah ngomong apa-apa," sahutku sambil menyisipkan poni yang mengganggu pandangan ke telinga. Ellion terkekeh. Aku mengernyit karena memang tidak ada yang lucu. Apa selera humornya terlalu tinggi sampai-sampai hal yang remeh saja bisa menjadi lelucon?

"Sudah kuduga, kau sama sekali tidak pernah berubah, Agatha. Masih suka melamun," ujarnya. Aku mendengus sebal. Dugaanku benar. Dia hanya menertawakan sesuatu yang sama sekali tidak lucu. Kalau memang begitu, mengapa dia tidak memberikan sedikit selera humornya pada dua laki-laki otoriter di tim detektif (baca: Kevin dan Steve) yang mungkin tidak tahu cara menanggapi lelucon?

"Tadi aku bertanya. Kalau kasusnya berakhir seperti itu, kenapa kau seolah menganggap kasus itu spesial. Bukan karena kau jatuh cinta pada Kevin kan?" tanyanya. Mataku refleks melebar. Kenapa dia bisa-bisanya berpikir seperti itu? Apa dia tidak tahu jika aku sudah berjanji untuk tidak pernah terpesona oleh mantan ketua OSIS sok keren itu?

"Enak aja. Dengerin aku ya. Alesan aku nganggep kasus itu spesial nggak ada hubungannya sama mantan ketos yang suaranya fals itu," ujarku setengah berteriak sambil mengacungkan jari telunjuk di depan matanya. Ellion hanya tertawa. Yah, aku sudah tahu jika dia tidak delusional. Tapi aku ragu jika dia tidak masokis.

"Aku mikir kasus itu spesial karena endingnya yang sama sekali nggak ketebak. Selain itu, temen sekelas mulai mau deketin aku setelah kasusnya kelar," jelasku. Meskipun masih ada bagian yang kusembunyikan. Yaitu, penyebab mereka mulai mendekat adalah karena ingin tahu soal hubunganku dengan Kevin.

"Oh, jadi begitu ya," gumam laki-laki itu. Dia terdiam selama beberapa saat. "Pasti sulit menjalani hari-hari sebagai orang yang dituduh melakukan pembunuhan ya." Aku tersentak. Bukan hanya karena nada bicaranya yang berubah sendu. Tetapi juga topik pembicaraan yang tiba-tiba diubah menjadi rumor lama itu.

"Aku udah biasa," sahutku. Biasa, kata yag benar-benar ambigu untuk menjelaskan apa yang kurasakan selama rumor itu menyebar. Ya, pasalnya aku sudah terbiasa dalam banyak hal selama itu.

"Apa waktu itu kau tidak punya teman untuk berbicara?" tanya Ellion lagi. aku menghela napas. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku sudah terbiasa. Dalam artian, terbiasa memendam semuanya sendiri.

"Aku nggak papa. Udah, ganti topik." Aku mencoba untuk berpaling ke arah lain. Namun Ellion malah terdiam. Saat kuperhatikan, dia tampak menatapku dalam-dalam. Raut wajahnya berubah menjadi serius. Sial, mengapa sorot matanya membuat jantungku berdebar lebih kencang?

"Apaan sih liatin aku kayak gitu?!" aku mendengus. Anak itu tertawa kecil. Aku benar-benar merasa aneh karena setiap kali mendengar seruan marahku, laki-laki itu malah tertawa. Itulah yang membuatku berpikir jika dia sudah jauh berbeda dengan Ellion yang dulu. Ya, dugaanku pasti benar. Waktu pasti sudah membuatnya banyak berubah.

"Agatha, kau itu kuat sekali. Aku tidak menyangka. Kau bisa melewati semuanya, walaupun keluargamu kurang beruntung. Aku tidak percaya masih ada gadis sepertimu. Kau bahkan tidak pernah menangis di hadapan mereka yang membicarkanmu di belakang. Ah, laki-laki yang mendapatkan hatimu pasti sangat beruntung, ungkapnya." Aku hanya menghela napas panjang. Justru aku merasa jika diriku adalah gadis yang lebih lemah daripada mereka.

"Agatha, apa kau tahu? Aku kagum padamu yang bisa menerima semuanya. Sedangkan aku, sampai sekarang aku merasa bersalah jika mengingat apa yang dilakukan ayah angkatku. Dan aku dengan polosnya menuruti apa yang dia katakan," ungkap Ellion lagi. Pemuda itu ikut menghela napas panjang lalu mengalihkan pandangannya pada langit sore yang cukup cerah.

Aku turut melakukan hal yang sama seperti teman kecilku itu. Memandang langit berhiaskan awan yang mulai berubah warna. "Agatha ... aku senang memiliki teman sepertimu." Aku mengangguk mendengar ungkapan itu. Dia persis mangatakan seperti apa yang kurasakan.

"Agatha, sejujurnya .... Kau pasti sudah tahu. Tapi aku ingin mengatakannya lagi. Tidak masalah kan?" kata Ellion kemudian kembali menoleh padaku. Menatapku lamat-lamat kemudian tersenyum lebar. "Agatha, aku menyukaimu."

Aku tersentak. Kupikir dia hanya bercanda soal itu. Tentu karena aku tidak lupa pada selera humornya yang terlalu tinggi. Tapi sekarang dia benar-benar mengatakannya, lagi. Dan raut wajahnya itu menunjukkan kesungguhan. Tidak tampak jika dia sedang berusaha membohongiku.

Aku mendesah. Mengapa semuanya berubah menjadi dilema. Aku tidak bisa setuju. Di saat yang bersamaan aku tidak bisa menolak. Ellion, kau pasti sedang mencoba membunuhku dengan pilihan ini. Aku tidak tahan lagi. sudah cukup! Masalah rumit itu seharusnya berakhir sebelum hari ini tiba.

"Ellion ... tolong jauhi aku."

*

Akhirnya, Ichi kembali menulis menggunakan laptop. Setelah kurang lebih lima hari ini pake keyboard hp yang sering error dan banyak typo-nya 😂. jadi, tolong dimaafkan ya. Besok kalo udah tamat, Ichi akan usahakan buat revisi secepatnya.

Apalagi di chapter sebelumnya. FYI, Ichi tulis part itu buru-buru dari jam sembilan malem.

//tapi bukannya Kak Ichi update jam sembilan malem?//

Yah, buat kalian yang nanya kek gitu, mungkin itu karena zona waktu kita yang beda satu jam (clue buat kalian yang penasaran Ichi dari daerah mana 😂).

Jadi ceritanya, Ichi nulis file 21 itu dari jam sembilan malem, ngebut sampe jam sepuluh terus langsung update tanpa liat-liat lagi apa ada typo. Yah, gitu deh ceritanya.

Mungkin sebagian dari kalian bakalan bilang, "Ah, bodo amat." Tapi terserah, Ichi nggak maksa kalian baca curhatan gaje ini.

Yang penting, jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan comment ya 😊.

[END] High School of Mystery: Russet CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang