File 16

486 75 17
                                    

"Kira, kamu pasti tau gimana rasanya ...." Aku menelan ludah. Kira masih setia menungguku bicara. Tidak ada cara lain untuk terbebas. "... tersiksa sama ingatan sendiri, kan?"

"Iya, aku paham kok. Dan aku janji, akan mencoba paham masalah kamu," angguknya sambil tersenyum. Aku menghela napas panjang. Janji itu jelas tidak bisa membuat masalah ini menjadi sedikit lebih ringan untuk dijelaskan.

"Kamu pasti tau soal Ellion kan? Dia ngaku kalo aku itu cinta pertamanya. Bayangin aja kalo kamu yang ada di posisi aku. Pasti sebel rasanya kalo harus diikutin sama orang yang belum pernah kamu kenal sebelumnya. Iya, dan aku bener-bener nggak suka sama dia. Apalagi pas dia pake modus mau tau tentang kasus lantai tiga." Aku mengambil jeda sejenak untuk mengambil napas panjang.

"Jadi gitu ya. Maaf kalo selama ini aku ...." Kira menyela. Karena sudah tahu apa yang ia maksud, aku segera menggeleng.

"Aku tau kalo selama ini mungkin aku selalu bikin kamu sebel. Jadi wajar kalo kamu akhirnya mau balas dendam. Tapi ... masalahnya bukan itu," potongku. Kira kembali memandangku penuh rasa ingin tahu.

Namun sebelum itu, aku kembali mengambil napas panjang. "Dulu waktu kecil, aku punya temen. Dia tinggal di rumah kamu yang sekarang. Dia itu temen pertama  dan satu-satunya buat aku. Dia itu baik banget." Aku tersenyum tipis membayangkan sosoknya yang selalu ceria, walaupun dengan dagu lebam yang diakibatkan kecerobohan sendiri.

"Dia rela dijauhin sama anak-anak lain, supaya bisa main sama aku. Sampai akhirnya, dia pergi ... dan nggak pernah balik lagi. Dan pas banget, malem itu ayahku marah-marah, dan aku jadi pelampiasannya. Aku nggak tau mau curhat kemana lagi. Anak itu udah pergi." Aku melepas kacamata untuk menyeka mata yang mulai berair. Bagian inilah yang paling kubenci.

"Nggak papa kok, kalo mau nangis. Menurut penelitian, menangis bisa membantu tubuh kita melepas stres." Kira tersenyum mengelus bahuku. Aku hanya mengangguk samar sambil memasang kacamata kembali.

"Sekarang, aku memang nggak perlu liat Ayah marah-marah lagi. Kamu tau, aku seneng kalo akhirnya Ayah nggak pernah balik lagi ke rumah," ungkapku seraya tersenyum sinis. Persis seperti yang dilakukan Ibu setiap kali mengingat pria egois itu.

"Tapi, aku sedih karena anak itu nggak pernah balik. Menurut info yang aku denger, pesawat yang dia naiki kecelakaan. Papa dan mamanya meninggal dalam kecelakaan itu. Makanya, aku udah nggak punya harapan. Aku anggap aja kalo anak itu juga  udah mati," jelasku kemudian menghela napas panjang. Rasanya sesak sekali setiap mengingat bagian itu.

"Aku udah nyerah. Toh juga kalo dia masih hidup, aku nggak inget pasti siapa namanya. Yang aku inget cuma mukanya, itu pun udah agak samar karena pukulan di kepalaku waktu itu. Itu aja nggak bisa dipake buat nyari dia di dunia yang luas ini. Jadi ... aku bener-bener nggak punya harapan soal dia. Aku cuma bisa nerima kepergian dia," jelasku. Kira mengangguk-angguk sebagai respons.

"Tapi ... aku nggak ngerti kenapa ... kenapa ...." Tiba-tiba saja, aku malah menangis terisak. Seharusnya masalah ini mudah untuk dijelaskan. Tetapi kenapa beban yang menghimpit dalam dadaku semakin menyesakkan.

Kira menggenggam erat tanganku. "Nggak papa kalo kamu mau nangis, kalo itu yang bikin kamu ngerasa lebih baik," katanya.

Aku menarik napas dalam-dalam, melepaskannya. Kulakukan beberapa kali hingga ketenangan mulai kurasakan. "Aku nggak ngerti, dan aku belum bisa terima ini. Kenapa ... aku justru liat bayangan anak itu … di Ellion? Aku tau ini bisa aja cuma halusinasi. Tapi kalo seandainya itu memang bener dia, aku harus gimana? Aku ngeliat sahabat baikku sekaligus orang yang aku benci ... di satu orang yang sama," jelasku setelah tersendat beberapa kali.

Kira kembali memperlihatkan senyuman paling indah miliknya lalu merengkuh bahuku. Entah mengapa, dekapannya justru membuatku mengeluarkan lebih banyak air mata. "Aku ngerti perasaan kamu kok," bisiknya. Aku menghela napas panjang. Sebenarnya tidak terlalu peduli apakah dia mengerti atau tidak. Asalkan sudah tidak ada lagi yang kusembunyikan darinya.

"Kamu masih mendingan, Sisi. Aku malahan nggak punya temen masa kecil, lho. Kaitou itu satu-satunya yang mau main sama aku. Itu pun cuma kalo aku pergi ke Jepang," katanya sabil melepas pelukan. Aku tertegun. Mengapa aku bisa melupakan sedikit keberuntungan yang kupunya?

"Kamu pasti tau kalo persahabatan itu berharga. Apalagi kalo akhirnya kita bisa saling mengerti satu sama lain. Jadi, aku akan dengan senang hati dengerin curhatan kamu kayak gini. Sekarang kamu ngerti kan? Kalian semua penting buat aku. Makanya aku akan berusahan buat bantu. Tapi, kalian aja yang suka memendam masalah." Aku tetap diam menyimak setiap kata yang dilontarkan gadis oriental itu.

"Begitu juga dengan persahabatan kamu sama anak yang kamu maksud itu. Kamu udah sekian lama nungguin dia balik lagi kan?" Aku yang kali ini sedang kehilangan kemampuan untuk menyimpan rahasia hanya mengiyakan.

"Jadi, kalo seandainya selama ini Ellion nggak bohong, pilihan ada di tangan kamu. Kalo kamu mikir kalo ego lebih penting, kamu bisa terus menghindar dari dia. Tapi, kalo bagi kamu yang lebih penting itu pertemanan kalian, kamu pasti tau harus ngapain, kan? Kalaupun cintanya bertepuk sebelah tangan, kalian masih bisa temenan kayak dulu. Gampang kan," Kira melanjutkan.

Aku termenung. Benar juga. Selama ini, pilihan ada di tanganku. Kalau itu memang benar dia, aku bisa memandangnya sebagai Ellion yang sekarang ... atau anak laki-laki yang itu. Jika aku memilih yang pertama, aku tinggal memintanya untuk menjauhiku sejauh mungkin kan? Kalau sebaliknya ....

"Jadi, jangan pernah nanyain antidepresan lagi, ya." Aku yang seketika tersadar dari lamunan hanya tertawa kecil. Kurasa Kira hanya sedang ingin bergurau untuk memecah keheningan.

"Kamu mau tau kenapa aku nanyain antidepresan?" Kira mengangkat alis. Apa pun arti dari bahasa tubuh yang dia gunakan, aku akan tetap memberi tahu tujuan remehku ini. "Itu karena aku mau tau apa kamu udah tau dosis aman dari antidepresan atau nggak. Siapa tau kamu sama Steve beneran jodoh kan? Setidaknya, kamu udah siap hidup bareng cowok yang gampang depresi kayak dia."

Kira mendengus sebal. Tatapan matanya benar-benar tajam. Andai aku tidak melihat pipinya yang sedikit merona merah, aku pasti tidak akan tertawa. "Ya Tuhan. Ekspresimu ketika blushing benar-benar lucu, Kira. Sayang sekali kalau seandainya kamu nggak beneran suka sama cowok itu," batinku.

"Agatha?" Aku benar-benar terkesiap mendengar suara serak dari pintu masuk. Pemiliknya tak lain dan tak bukan adalah orang yang baru saja kami bicarakan. Anak itu berjalan mendekat kemudian memandangiku dan Kira bergantian. Jantungku berdebar kencang. Bagaimana jika dia mendengar apa yang kubicarakan dengan Kira tadi?

*

Akhirnya Kira ngulangi kata-kata yang sama kayak di file 12 seri ketiga 😆.

Halo, Ichi update lagi hari ini. Semoga yaa bisa daily update sampe cerita ini tamat 😁.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] High School of Mystery: Russet CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang