File 5

713 96 26
                                    

Tanpa terasa, waktu pulang sekolah akhirnya tiba. Tidak peduli dengan cuaca panas menyengat, para siswa yang sudah lama menunggu suara bel "kebebasan" berhamburan keluar kelas dnegan semangat. Baru sekarang kuperhatikan jika ucapan Wakasek bagian kesiswaan soal bel masuk kelas dan bel pulang sekolah yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Hmm ... ini salah satu bukti jika diskriminasi itu masih ada di zaman modern dengan bentuk yang berbeda.

'Kira, kita pulang bareng ya," ajakku. Gadis karateka yang sibuk berkemas hanya bisa mengiyakan tanpa menoleh sedikit pun.

"Eh, bukannya kamu mau pulang bareng pacar baru kamu?' Mia yang berada di dekatku sejak tadi bertanya keheranan.

"Aku mengernyitkan dahi. Aku kan nggak punya pacar," balasku dengan nada yang membuat siapa pun yang mendengar tahu jika aku sama herannya dengan maniak Sherlock Holmes itu.

"Aduh, Sisi. Kamu nggak perlu pura-pura nggak tau. Kita semua udah tau kok. Kamu tadi udah pergi berduaan sama Ellion, kan?" tebak Kira yang baru saja selesai berkemas dan berjalan keluar kelas. Aku mengernyit. Itu memang tidak salah. Tapi tentu saja berduaan yang dimaksud gadis oriental itu berbeda dengan kenyataan.

"Aduuh ... kalian ini, sebut-sebut Ellion terus. Berduaan sama cowok itu nggak bagus tau. Udah ah, mendingan kamu aja. Kebetulan pangeran kamu udah nunggun tuh," balasku pada Mia seraya menunjuk ke arah Kevin tampaknya yang sudah menunggu tak jauh dari kami.

"Hei, Mia. Rumah kita searah kan? Mau pulang bersamaku?" tawar mantan ketua OSIS itu. Mia mencebik, memasang ekspresi sebal.

"Tidak perlu sok peduli. Aku lebih baik pulang sendirian aja." Mia melipat kedua lengan di depan dada. Kevin tidak mau menyerah. Dia terus membujuk cewek itu dengan berbagai cara. Hingga cara paling pamungkas yaitu berkata, 'Aku ingin meminta bantuanmu.'

"Baiklah, kalau kau memaksa. Apa boleh buat? Tapi aku pulang bersamamu karena kamu yang minta bantuan kan?" tanya Mia memastikan, tapi dengan nada sedikit mengancam. Kevin hanya mengiyakan, karena suda hafal dengan maksud sebenarnya gadis itu.

"Dasar tsundere. Padahal aku yakin dia akan senang sekali pulang bersama Kevin," kekeh Kira setelah keduanya hilang dari pandangan. Aku ikut tertawa membayangkannya. Lagipula untuk apa Mia menyembunyikan perasaannya. Toh juga kami semua sudah tahu jika dia mulai menyukai laki-laki yang mengajaknya pulang itu.

"Astaga!" Kira berseru. Aku mengangkat alis, meminta penjelasan. Maaf, aku tertinggal sesuatu. Aku pergi dulu ya. Kalo lama, kamu boleh duluan. Karateka itu segera berlari menuju ruang loker secepat kilat hingga aku tidak sempat mengatakan apa pun. Aku menghela napas kemudian melanjutkan perjalanan.

"Hai, Agatha!" Lagi-lagi, aku seperti terkena sambaran petir begitu mendengar suara serak yang mulai aku hafal itu. Seketika, lidahku dipenuhi oleh sumpah serapah yang menggantung hingga hampir meluncur. Pulang bareng yuk, ajaknya. Aku tidak merespons. Toh juga jika aku bilang tidak dia tetap mengekor.

Aku mempercepat langkah. Sudah kuduga, anak itu mencoba untuk menyamai langkahku. Aku mendengus sebal saat tubuh setinggi seratus tujuh puluh itu menghalangi jalanku. "Minggir," aku mendesis. Dia menggeleng samar, dengan sebuah senyuman licik. Apa dia belum sadar juga, aku bukan cinta pertamanya.

Akhirnya, celah kecil di sampingnya bisa berguna bagiku untuk meloloskan diri. Kupercepat langkahku saat aku mendengar suara langkah lain di belakang. Aku berpegangan pada kedua lutut setelah cukup lama aku berlari. Kucoba untuk mengatur napas kemudian menegakkan tubuh hingga aku menemukan Steve yang diam-diam memerhatikan tetanggaku dari kejauhan.

"Hai, Senior," sapa Ellion yang ternyata sudah berhasil menyusul. Steve yang tampaknya sedang malas bicara hanya mengangkat alis sebagai tanggapan. "Biar kutebak. Aku yakin senior sedang menunggu pacarnya itu kan?" tanyanya tanpa dosa.

[END] High School of Mystery: Russet CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang