Jatah waktu 'bebas' alias waktu istirahat semakin menipis. Bel masuk kelas semakin dekat. Namun, aku masih saja duduk sendirian di bangku panjang di depan perpustakaan sembari mengamati siswa lain yang lalu lalang di depanku. Seandainya ini bukan karena Ellion, aku pasti sudah pergi ke kantin bersama kedua teman baikku itu.
Lama-kelamaan, mataku terasa berat akibat terjaga hingga pukul satu malam untuk mengerjakan PR bahasa Inggris yang keberadaannya terlupakan. Yah, bayangkan saja bagaimana rasanya berkutat dengan istilah asing yang sulit dimengerti sedangkan mata tidak kuat terbuka lebih lama.
Aku bangun sedikit terlambat karenanya. Untung saja Kira tidak berangkat lebih dulu, sehingga aku bisa menumpang di mobil ayahnya. Hmm ... aku jadi penasaran bagaimana kalau seandainya yang berada di posisiku adalah manusia tanpa ekspresi itu. Apa dia akan merasa canggung saat berada di dekat Kira?
Oh iya, aku lupa. Dia tidak mungkin bernasib sama sepertiku. Memang bukan tidak mungkin dia lupa mengerjakan PR. Tapi, dia kan orang Inggris yang sebenarnya tidak perlu diberi tugas pada pelajaran itu. Atau bahkan, mungkin tidak perlu lagi belajar bahasa yang dia gunakan sejak baru bisa berbicara.
"Hei, Agatha. Kau sudah lama?" Suara itu membuatku yang hampir tenggelam ke dunia mimpi seolah ditarik kembali ke alam sadar. Aku hanya melirik ke arahnya malas, meregangkan otot lenganku sambil menguap.
"Tumben kamu telat," ucapku sambil melepas kacamata agar bisa leluasa mengucek mata yang memerah. Sekaligus mengelap lensanya yang berembun.
"Memangnya kenapa? Kau rindu padaku?" tanyanya. Kututup mulut dengan telapak tangan ketika seluruh isi perutku terasa seperti mendesak keluar mendengar ucapan paling narsis yang pernah kudengar darinya sejak pertama kali bertemu.
"Dasar delusional, itu kata-kata paling halu yang pernah kudenger," olokku. Ellion malah tertawa, tak ada tanda-tanda jika dia tersinggung. Apa dia benar-benar delusional dan merasa jika ucapanku benar apa adanya? Atau jangan-jangan ....
"Kamu ini masokis ya? Maksudku yang itu, orang yang suka disakitin?" tebakku, sedikit curiga. Lagi-lagi dia hanya tertawa mendengarnya. Memangnya orang normal mana yang suka disebut-sebut punya gangguan mental di depan umum?
"Iya, kalau yang menyakiti aku itu kamu, Agatha. Lagipula, aku tahu kamu tidak pernah menyakitiku secara fisik. Kamu juga memanggilku begitu karena kamu sayang kan? Kamu kan tidak pernah memanggil orang lain dengan kata itu." Rasa mualku bertambah karena rayuannya, yang tentu saja tidak akan mempan padaku.
"Pede banget jadi cowok. Hei, dengerin aku. Kalo cerita tentang kasus di lantai tiga itu udah kelar, kita putus hubungan. Jangan pernah cari aku lagi," ancamku. Laki-laki itu tampak terpaku beberapa saat lalu menelan ludah. Aku sedikit puas. Akhirnya dia tahu siapa sebenarnya Sisi yang dikenal sebagai cewek yang tidak pernah luluh pada lawan jenis.
Anehnya setelah cukup lama pandangannya menuju ke bawah, bibir itu bergerak membentuk senyuman licik. "Baiklah, Agatha. Tapi aku yakin kamu akan menarik kata-katamu setelah ingat siapa aku." Justru akulah yang merasa terkena bumerang yaang kulemparkan padanya.
"Oke. Aku akan buktiin kalo aku memang nggak punya ingatan tentang kamu," balasku tidak mau kalah. Ellion mengangguk mantap seolah tahu jika kemenangan telak akan berpihak padanya.
"Tapi sekarang, lanjutkan dulu ceritamu," pintanya dengan wajah yang berubah menjadi innocent. Aku mengernyit, semudah itu dia mengubah ekspresi wajahnya. Jika memang begitu, mengapa dia tidak menyumbangkan sedikit saja kemampuannya mengubah raut wajah pada cowok kutub selatan itu? Hahh ... dunia memang tak selamanya adil.
------x---x------
"Apa? Kalian nuduh aku yang bunuh Evan?!" seru Lilis yang katanya merupakan mantan kekasih dari korban. Kevin memberikan tatapan tajamnya pada gadis itu. Sementara aku hanya bisa diam menyimak pembicaraan tanpa sepatah kata pun.
"Aku kan hanya berkata, 'Boleh aku bertanya?' Belum melontarkan pertanyaan apa-apa padamu. Dan kamu langsung merasa jika dirimu menjadi tersangka dalam kasus ini. Jelas itu sangat mencurigakan," balas laki-laki itu. Lilis tampak tersentak lalu menunduk. Keringat dingin mulai mengalir dari dahinya.
"Kamu jelas menjadi orang yang paling mungkin membunuhnya. Kalian putus beberapa hari yang lalu. Itu motif yang bagus. Lagipula, kamu sepertinya cukup kuat mendorong seseorang dari lantai tiga," ucap Kevin mengintimidasi. Berbeda jauh dengan sang rival yang akan berbicara to the point.
"Iya, aku memang putus dua hari yang lalu. Aku udah nggak sudi liatin dia. Aku nggak peduli. Cowok sombong kayak dia memang pantas mati. Kalian tau? Aku bersyukur banget karena nggak perlu liat mukanya lagi. Dan kalo emang aku yang bunuh, kalian nggak akan nemuin jantungnya dalam keadaan utuh," ujar Lilis setengah berteriak.
"Nah, akhirnya sifat aslimu terbongkar. Aku tidak menyangka jika sebenarnya yang psikopat itu adalah kamu," sahut Kevin tanpa beban.
"Kevin! Aku tau maksud kamu apa. Pembunuh kejam yang nggak punya perasaan lagi kan? Ya, mungkin aja aku memang psikopat. Serius, aku beneran pengen Evan dibunuh dengan cara yang lebih sadis." Aku tersentak. Bahkan aku yang dulunya dituduh memiliki penyakit jiwa saja tidak pernah berpikiran sepertinya.
"Sebenarnya apa yang membuat kamu sangat membenci Evan?" Kevin akhirnya melontarkan pertanyaan pertamanya.
"Dia yang mutusin aku. Padahal aku nggak salah apa-apa. Dia bilang nggak mau liat mukaku lagi karena mirip sama adik tirinya. Huh, beneran deh. Aku bersyukur dia akhirnya dapet balesan yang setimpal," jelas gadis itu dengan senyuman sinis yang tampak sangat menyeramkan.
"Lalu, apa kau tahu sesuatu tentang Rifky?" Kevin bertanya lagi.
"Ya, dia itu pacar aku yang sekarang. Kalian tau? Dia langsung nembak aku, tepat di hari kematian Evan. Katanya, dia suka sama aku sejak masih SMP. Tapi nggak berani ngungkapin perasaan karena Evan itu temen deketnya." Aku kembali tersentak. Langsung di hari itu? Mengapa fakta baru ini rasanya sangat mengganjal.
"Udah ya. Aku pergi dulu," pamitnya lalu pergi meninggalkan kami berdua keluar kelas. Kevin terdiam lama sekali. Seperti yang dia lakukan kemarin ketika menginterogasi Rifky.
"Kasus ini semakin rumit saja," ungkapnya lirih kemudian berjalan tanpa arah yang pasti. Aku tetap bergeming, menghela napas. Setuju dengan kalimatnya.
Kasus ini justru bertambah rumit dengan fakta yang baru ditemukan. Dari caranya menjawab pertanyaan Kevin, Lilis sangat mencurigakan. Tapi jika mengabaikan nada bicaranya, Rifky menjadi yang paling mencurigakan menurut jawaban gadis itu. Tetapi dari fakta yang ditemukan di TKP, hanya ada sidik jari Ervina yang otomatis membuatnya menjadi terduga pelaku sementara ini.
Argh! Otakku sepertinya hampir meledak. Di antara mereka bertiga, aku tidak bisa menyimpulkan siapa yang bersalah dan siapa yang tidak. Jika begini, cepat atau lambat penyelidikan Polisi pasti akan dihentikan lalu Ervina akan menjadi sepertiku yang dulu sampai kebenaran akhirnya terungkap.
*
"Lilis ... kok kamu creepy banget ...."
Nah, minnasan. Udah ada tiga tersangka, dan tiga-tiganya cukup mencurigakan. Mana yang menurut kalian pelakunya? Jawab dong. Ichi pengen tau pemikiran kalian. Apakah ada yang berhasil nebak, atau nggak?
Jangan lupa tinggalkan vote dan comment yaa 😊.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] High School of Mystery: Russet Case
Misteri / Thriller[High School of Mystery 4] Sisi hanya bisa pasrah seraya menggerutu dalam hati saat Ellion yang disangka delusional terus mengekor karena mengaku sebagai cinta pertamanya. Selain karena tidak mau diganggu oleh kedua sahabatnya yang ingin "balas den...