File 3

777 109 6
                                    

Bel tanda waktu istirahat berbunyi. Inilah suara yang paling kutunggu-tunggu beberapa menit terakhir. Yang menjadi penyebab tentu saja tak lain dan tak bukan adalah ulangan harian matematika mendadak yang diberikan oleh Bu Dian beberapa menit terakhir karena tidak suka dengan laki-laki di kelasku yang berisik saat diberikan tugas.

Mungkin itu hanya terkesan sebagai gertakan biasa. Namun pada kenyataannya beliau memang mengeluarkan lembaran soal saat siswa lain justru meremehkan. Menurutku, Kevin pasti hanya akan tertawa jahat sendiri seandainya ulangan mendadak itu tidak dibatalkan. Huh, membayangkannya saja sudah membuatku kesal.

Namun sekarang aku bisa menghela napas lega ketika bel berbunyi sebelum Bu Dian membagikan soal itu. Terlambat sedetik saja, aku pasti sudah mual melihat deretan angka sebelum melakukan persiapan. Dan yang lebih parah, perang besar antara aku dan ketua kelas abadi itu akan segera meletus hebat.

"Sisi, kamu mau ikut ke kantin?" tawar Mia sembari memasukkan buku catatan serta alat tulis yang berserakan di atas meja ke dalam tas ransel. Aku yang masih mengucapkan pujian kepada Tuhan karena kejadian tadi hanya menggeleng sebagai tanggapan.

"Hee ... kenapa? Kamu mau kencan sama Ellion?" tanya Kira yang entah sejak kapan berdiri di sampingku dengan ekspresi curiga.

Aku menatap gadis oriental itu setajam mungkin. "Kamu bilang siapa tadi?! Ellion? Aku nggak kenal sama orang itu," balasku dengan nada sinis.

"Astaga, Sisi. Nggak usah pura-pura nggak tau dah. Kemarin aku liat dia dateng ke rumah kamu, kan? Dia juga kayaknya sempet ngobrol sama kamu," sahutnya.

Mia menutup mulut dengan kedua tangan, memasang raut wajah tidak percaya. "Kira, kamu serius kan?" tanyanya. Tetanggaku itu hanya mengiyakan dengan gaya yang menurutku terlalu dilebih-lebihkan.

"Sisi, nggak usah malu. Bilang aja kalo hubungan kalian emang udah resmi. Sebagai sahabat, kita bakalan ngedukung kok," ujar Mia seraya merangkul bahuku. Aku hanya bisa mendesis lalu melepas lengannya.

"Kalian ini apaan sih?" ucapku sebal.

"Sisi, ini adalah saat untuk pembalasan dendam," bisik Kira dengan sebuah senyuman jahat. Mia ikut melakukan hal yang sama sehingga aku bisa merasakan aura menyeramkan. Suhu di sekitarku seolah-olah turun secara drastis seperti dalam film horror.

"Iya, bersiaplah menerima pembalasan kami," sambung Mia dengan seringai yang tak kalah mengerikan. Kedua tangannya terangkat seperti sedang berusaha mencekik leherku. Sejak kapan mereka bisa berakting menjadi hantu begini?

"Kalian ini, nggak usah kebanyakan halu. Aku nggak ke kantin karena aku mau nyari kunci ruangan lantai tiga di Riyan. Habis itu pergi nyari Wakasek urusan sarpras buat balikin tuh kunci. Kalo masih ada waktu, aku harus ngawasin adik kelas yang lagi latihan pementasan," jelasku panjang lebar.

"Aduh, Sisi. Nggak usah sok modus deh. Oh ya, aku ngerti sekarang. Mungkin tujuan kamu yang asli itu adalah nyariin Riyan, terus berduaan ngerjain semua yang kamu sebutin tadi. Iya kan?" Aku hanya bisa memandang datar saat maniak Sherlock Holmes itu melontarkan tebakan tak beralasan.

"Udah deh, aku pergi du- ...." Ucapanku seketika terhenti mendengar suara serak milik Kevin yang tiba-tiba saja ikut dalam pembicaraan.

"Tapi kamu perginya bareng Ellion kan?" tanyanya. Aku berdecak kesal. Memang dia ini hampir sama persis dengan Mia.

"Apaan sih?" desisku. Bukannya menjawab, mantan ketua OSIS itu malah menunjuk ke arah seseorang yang berdiri di depan pintu kelas. Aku tersentak. Sejak kapan bocah delusional itu berada di sana? Untuk apa dia datang kemari?

"Sudah ya, aku sibuk," ucapku singkat lalu segera beranjak menuju pintu kelas. Aku bisa mendengar seruan dari kedua sahabatku itu. Tapi aku tidak peduli. Lagipula, tujuanku bukan untuk sengaja menemui anak pindahan itu. Sebaliknya, aku akan membentaknya seperti kemarin, bila perlu.

Tanpa pikir panjang, aku segera berjalan cepat melewati anak itu tanpa menoleh sedikit pun. Aku tidak mengindahkan keberadaannya meskipun mungkin laki-laki itu mengekor. "Agatha, seperti janjiku kemarin. Kita bertemu lagi di sekolah," ucapnya sembari berusaha menyamai langkahku. Ck, sudah kuduga.

"Kenapa kamu bisa sampai di kelas dua belas tanpa disadari sama kakak-kakak senior?" tanyaku dengan penuh penekanan di setiap kata.

"Yah, itu karena mereka tidak lihat," jawabnya santai. Aku mendengus sebal. Mengapa keadaan tidak pernah berpihak padaku. Seharusnya, harus ada satu yang melihat anak ini lalu menanyakan keperluannya. Setidaknya itu bisa mengulur waktu agar dia tidak menemukanku.

"Oh, ya. satu-satunya yang menyadari keberadaanku hanya Senior Edward. Tapi, dia terlalu cuek untuk menginterogasiku." Ah, ini juga sudah kuduga. Cowok kutub selatan itu memang sudah keterlaluan tidak acuhnya.

Aku memilih hanya diam sepanjang perjalanan menuju kelas Riyan. Biarkan saja dia berbicara sendiri. Anak pindahan ini kan memang sudah tidak ada urusan denganku. Aku segera berbalik tanpa banyak bicara saat salah satu siswi kelas sepuluh bertanya apakah bocah delusional ini pacarku setelah mengatakan bahwa Riyan tidak ada di kelas. Menyebalkan.

"Riyan, aku minta tolong! Kamu itu sniper kan? Bisa nggak sekalii ... aja kamu nembak tepat sasaran," pintaku saat menemukan laki-laki yang selama lima belas menit ini menjadi tujuanku ruangan di lantai tiga sedang mengunci pintu.

"Bisa sih. Tapi sasarannya apa dulu, Kak?" tanya Riyan tanpa rasa curiga sedikit pun sembari menyerahkan satu set kunci padaku. Tanpa pikir panjang, aku segera menunjuk ke arah Ellion yang masih saja membuntuti.

"Bisa kan? Kalo bisa headshot juga nggak papa," ucapku lagi. Riyan tampak tertegun kemudian berpikir selama beberapa saat.

"Aduh ... maaf ya, Kak. Aku nggak mau bunuh orang," balasnya ragu-ragu. "Lagian, bukannya dia itu pacarnya Kak Sisi?" tanya pemuda itu. Rasanya seperti akulah yang terkena tembakan headshot. Sial, semua orang berpikir seperti itu ya?

"Kau benar sekali, Riyan. Maaf, kami sempat bertengkar tadi. Tapi tenang, aku akan membuat Agatha bahagia," sambung Ellion. Aku menaikkan posisi kacamata lalu mengarahkan tatapan tajamku ke arahnya. Akting macam apa itu? Dia memang tidak bisa melakukan yang lebih baik rupanya.

"Yah, kau tidak perlu minta maaf padaku. Minta maafnya sama Kak Sisi. Cewek itu memang sensitif," respons Riyan. "Aku harus segera kumpul di ruang OSIS. Kak Sisi minta tolong balikin kunci itu ya. Oh ya, semoga hubungan kalian langgeng ya," lanjutnya sembari melangkah santai menuruni tangga.

"Awas kau Riyan. Akan kubalas kau suatu hari nanti," geramku.

"Kamu mau balikin kunci itu kan, Agatha. Ayo, kutemani," ajak siswa pindahan itu seraya mengulurkan tangan seperti seorang pangeran yang mengajak berdansa dalam film drama klasik. Aku tak acuh berjalan melewatinya. Mengapa hari-hariku mendadak berubah menjadi menyebalkan.

Langkahku seketika terhenti tepat di depan salah satu jendela ruangan yang kujadikan markas seminggu yang lalu ini. Memori tentangnya diputar kembali seperti sebuah film berkualitas tinggi di dalam otakku. Anehnya, aku tida bisa melupakan bagian yang itu. Kasus yang sudah cukup lama terselesaikan.

"Ada apa, Agatha?" tanya Ellion yang sudah cukup lama berdiri di sampingku. Aku hanya tersenyum tipis, bukan untuknya. Tapi untuk kelebat ingatan itu.

"Kau ingin dengar tentang kasus yang terjadi di ruangan ini?" tanyaku lirih.

*

Nah, chapter selanjutnya mungkin misterinya udah mulai. Bener kan, kalo Ichi nggak terlalu suka gantungin cerita. Hehe ... tunggu aja Ichi update chapter selanjutnya 😁. In Shaa Allah, nggak terlalu lama kok.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] High School of Mystery: Russet CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang