Ayolah, Sisi. Kau pasti bisa menemukan pelaku yang sebenarnya. Gunakan sel-sel saraf otakmu sekalipun ia akan meledak. Jika aku tidak bisa menemukan pelakunya dengan cepat, maka akan muncul lebih banyak masalah. Kalau mereka saja bisa menemukan kebenaran dari rumor tentangku, mengapa aku tidak bisa? Ayo, cobalah berspekulasi.
Rifky bisa saja pergi menyusul korban ke lantai tiga lebih cepat daripada Ervina kemudian bersembunyi di salah satu ruangan, lalu mendorong korban dari ujung koridor. Dan saat Ervina kembali untuk melihat apakah kakak tirinya masih berada di sana atau tidak, dia diam-diam kembali ke kelas tanpa disadari gadis itu. Tapi, apa itu tidak terlalu mustahil?
Baiklah, anggap saja ada trik yang membuatnya menjadi mungkin sehingga Lilis bisa saja melakukan hal sama. Tetapi ayo berpikir objektif, Sisi. Jika pelakunya memang Ervina, bayangkan mengapa hanya ada sidik jari di lengan. Apakah mustahil jika gadis itu mendorong kedua lengannya keras-keras sehingga korban bisa terjatuh lalu menyeret korban di bagian yang sama ke tumpukan sampah?
Hmm ... sepertinya bukan itu. Pasti ada cara lain. Bagaimana jika seandainya gadis itu melakukan gerakan seperti menarik lengan korban lalu membantingnya ke bawah? Ergh ... itu lebih tidak masuk akal lagi. Tubuh Ervina jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan korban. Lagipula, apa mungkin seseorang bisa membunuh dengan cara itu?
"Sisi, jika tidak bisa menemukan pelaku, kita anggap saja gadis itu yang membunuhnya. Tenang saja, kalau kau keberatan, aku tidak akan melaporkan ini ke Polisi. Biarkan saja gadis itu yang menyesal lalu mengakui kesalahannya seperti kasus itu," ujar Kevin yang tiba-tiba berada di dekatku.
Aku tersentak. Menutup penyelidikan dan menganggapnya sebagai pelaku? Itu sama saja membiarkan, atau bahkan mungkin gadis itu mengalami hal yang sama sepertiku. Aku tidak boleh membiarkannya. Setidaknya melakukan sesuatu untuk penyelidikan ini, tidak hanya diam saja.
"Aku tahu, kau merasa empati pada gadis itu karena kau merasa berada di situasi yang sama. Dulu, aku tidak pernah menganggapmu sebagai pelaku. Bagaimana pun, itu karena tidak ada satu pun bukti yang mengarah padamu, termasuk sidik jari. Tapi sekarang ...." Kevin menghela napas panjang.
"Aku juga tahu itu, Kevin. Tapi kalau kita tidak menemukan pelaku yang sebenarnya, sama saja kita membiarkan kejahatan di antara kita!" potongku. Laki-laki itu memandangku sendu lalu kembali menghela napas. Itu membuatku melakukan hal sama tanpa sadar.
Aku berpaling ke arah jendela. Sayang sekali jika Kevin yang ambisius itu mulai mengenal kata 'menyerah'. Oh iya, aku tahu caranya. "Baiklah, aku tahu keputusanmu tidak bisa diganggu. Tapi, apa kau yakin mau mengangkat bendera putih di hadapan Steve? Aku lihat dia tersenyum miring, artinya dia sudah malihat titik terang kan?"
Aku melirik Kevin yang membelalak mendengar ucapanku. Dalam hati aku bersorak penuh kemenangan karena berhasil membuatnya melupakan seberapa rumit kasus ini. "Ah, baiklah kalau kau ingin itu. Aku tidak bisa protes. Tapi, kau harus siap-siap mendengar kalimat sarkas darinya kalau mengaku kalah."
Gebrakan di atas meja membuatku spontan kembali menoleh ke arah pemuda itu. "Aku belum kalah!" serunya. Untung saja kelas sedang sepi sehingga tidak perlu ada yang terkejut selain aku.
"Dia mungkin saja menemukan titik terang lebih dulu. Tapi, itu bukan berarti aku kalah telak," katanya. Aku tersenyum miring. Akhirnya, dia sudah melupakan rasa frustasi itu. Sekarang, aku yakin. Pelakunya pasti akan segera ditemukan!
Tiba-tiba saja, Kevin kembali mencengkeram lenganku lalu menarikku keluar kelas. Entah kemana dia akan pergi sekarang. Tapi kali ini aku tidak terkejut seperti sebelumnya. Perlahan, aku juga mulai terbiasa dengan kecepatan jalannya yang mungkin setara dengan mobil tenaga sepuluh ribu kuda.
"Ternyata kalian belum menyerah ya." Kevin sontak berhenti tepat di depan orang yang berkata demikian. Memasang tatapan tajam ke arah laki-laki yang berdiri tepat di depan pintu kelasnya.
"Aku belum mengakui kemenanganmu," balas Kevin yang tiba-tiba berubah menjadi dingin. Ergh ... mengapa karakter mereka berdua seolah tertukar?
"Terserah. Aku tidak peduli." Laki-laki itu hanya mengedikkan bahu. "Lagipula kasusnya sudah ditutup," katanya tanpa intonasi.
Untuk ke sekian kalinya aku terperanjat. Kasusnya ditutup? Jika pelaku sebenarnya belum ditemukan, itu sama sekali bukan hal bagus. Apa pun alasannya, aku tidak akan pernah setuju jika penyelidikan dihentikan sebelum kebenaran terungkap. Tapi sekarang, semua sudah telanjur. Apa yang harus kulakukan?
------x---x------
"Percuma saja kalian menemukan pelakunya kalau kasusnya ditutup. Polisi saja menyerah. Apalagi sekolah, sudah pasti akan menutupnya rapat-rapat," ungkap Ellion. Aku hanya mengangguk samar.
"Ya," sahutku singkat. Aku menguap lebar. Kelopak mataku semakin terasa berat. Jika biasanya yang mengantuk setelah cerita selesai adalah audiens, sekarang terbalik. Justru narator-lah yang diserang rasa kantuk. Pendengarnya malah terlihat semakin segar menanti kelanjutan cerita.
"Agatha, kau mengantuk ya?" tanyanya. Aku tidak menjawab. Biarkan saja dia belajar untuk menjadi sedikit lebih peka. "Kalau begitu, aku antar ke kelasmu bagaimana? Kau istirahat saja," tawarnya.
Energiku sudah terkuras sehingga tidak ada waktu untuk membentak anak itu seperti biasa. Jadi, aku hanya bisa mengiyakan lalu menerima uluran tangannya. Setidaknya aku bisa sedikit lebih tenang sekarang karena Mia dan Kira percaya jika aku tidak ada hubungan apa-apa selain hanya ingin menyelesaikan cerita tentang kasus lantai tiga.
"Lain kali, tidurlah lebih awal, Agatha." Aku kembali hanya bisa mengangguk lemah mendengar saran itu. Namun kulihat Ellion menampakkan senyuman paling tulus yang pernah kulihat.
Lagi, entah ini mimpi ... atau bukan, aku bisa melihat bayangan anak laki-laki itu ... yang mengulurkan tangan kepada diriku yang hanya bisa memegangi lutut yang tampak lecet. Senyuman manisnya terlihat benar-benar jelas. Aku menghela napas panjang. "Kau bukan anak laki-laki itu kan, Ellion?"
"Anak yang mana?" Kupaksa kedua mata yang terasa berat untu terbuka lebar. Jadi laki-laki delusional itu mendengar ucapanku tadi? Dia terkekeh melihat reaksiku. Padahal itu sama sekali tidak lucu.
"Bukan urusanmu," desisku lalu mendahuluinya menuju kelas. Bangku paling belakang dekat jendela itu — yang merupakan tempat dudukku — terlihat nyaman sekali untuk digunakan untuk melanjutkan tidur.
Sebelum kaki kananku melangkah masuk ke kelas, aku menoleh kembali ke belakang untuk melihat kembali bocah aneh itu. Mataku kembali terbuka lebar ketika yang kutemukan adalah sesuatu yang berbeda. Senyuman tulus itu yang masih terlukis di wajahnya. Tetapi ... aku melihat anak laki-laki itu ... di sana.
Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Sepotong memori itu seolah menusukku dengan ribuan jarum. Anak laki-laki itu sudah mati. Dan ini adalah fakta terburuk yang pernah kudengar. Kehilangan teman pertama dan satu-satunya adalah hal paling mengerikan. Namun sekarang, aku melihatnya ... sebagai orang yang paling kubenci. Aku menghela napas berat.
Takdir ... kau memang kejam.
*
Yah, agak nyesek sih sebenernya kalo kalian paham arti dari dua paragraf terakhir. //Lah gimana reader mau paham kalo authornya nggak pernah ceritain// #plak 😂.
Okeh, jangan lupa tinggalkan vote dan comment ya 😊.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] High School of Mystery: Russet Case
Misterio / Suspenso[High School of Mystery 4] Sisi hanya bisa pasrah seraya menggerutu dalam hati saat Ellion yang disangka delusional terus mengekor karena mengaku sebagai cinta pertamanya. Selain karena tidak mau diganggu oleh kedua sahabatnya yang ingin "balas den...