Pagi kembali datang. Seperti biasa, aku berangkat sebelum jalanan menjadi ramai bersama tetanggaku. Tidak ada yang terlalu spesial. Kami berdua hanya diam di pojok kelas yang memang merupakan tempat duduk kami yang bersebelahan sambil berbincang menunggu waktu masuk kelas.
Yah, mungkin satu-satunya hal spesial hari ini hanya Mia yang datang lebih awal bersama Kevin. Tentu saja tak lupa dengan wajah sebal yang selalu dipasang setiap bersama pemuda itu. Kira menyebutnya "tsundere", yang kurang lebih memiliki arti seseorang yang malu-malu kucing.
"Ciee ... berangkat berdua lagi," goda Kira. Berbeda dengan Kevin terlihat tidak peduli, Mia justru mencebik dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Gadis oriental itu tidak lagi bisa menahan tawanya.
"Kamu itu mirip banget sama tokoh dari anime yang seirng aku tonton, Aisaka Taiga," kekehnya. Walaupun tidak mengerti dengan perumpamaan yang diberikan Kira, mau tak mau aku ikut tertawa melihat ekspresi gadis itu saat mendengarnya.
"Udahlah, Kira. Ntar dia malah kena darah tinggi," gurauku sambil menepuk bahu karateka itu perlahan. Mia mendengus sebal, meletakkan tas ranselnya sembarangan hingga terdengar bunyi yang cukup keras. Aku yang sempat tersentak hanya bisa berharap semoga barang di dalamnya tidak rusak.
"O-oke ...." Kira sedikit menyeringai mendengar suara yang seperti kaca yang pecah dari dalam ransel itu. Dia pasti sedang berpikiran sama denganku. "Jadi gimana? Kamu belum sempet jawab pertanyaanku." Dahiku berkerut mendengar lanjutan dari ungkapan keterkejutannya tadi. Sejak kapan dia bertanya?
"Kamu nanya apa?" aku bertanya balik. Gadis oriental itu hanya bisa menepuk dahi. Padahal, bukankah dia memang tidak pernah bertanya apa pun padaku sejak mereka berdua datang?
Kira menghela napas panjang. "Tadi aku nanya gini. Kalo lulus dari sini, kamu mau lanjut kemana?"
"Kamu mau nanyain soal cita-cita?" Kira mengangguk mantap dengan senyum manis terkembang. "Yah, aku belum tau pasti sih. Sejauh ini, aku mikir buat masuk kuliah jurusan psikologi,' jelasku. Dia hanya ber-ooh pendek mendengar jawabanku yang begitu sederhana.
"Kamu sendiri?" aku balas bertanya. Kira tampak berpikir cukup lama. Hingga beberapa siswa lain mulai tampak ramai berlalu-lalang di koridor.
"Aku juga belum tau pasti sih. Pengennya masuk forensik, tapi kamu tau kan kalo nilaiku itu pas-pasan," ungkapnya. Aku hanya mengangguk samar. Masalahnya, aku tidak tahu harus berkomentar atau memberikan solusi apa untuk itu. "Tapi yang pasti, Ayah mau aku kuliah di Jepang."
"Kalo gitu, kenapa kamu nggak masuk teknik mesin atau apa kek. Bukannya Jepang terkenal sama itu?" Kira menggeleng lemah. Raut wajahnya sudah cukup membuatku sadar jika dia tidak menyukai usulku. Ah ya, kenapa aku bisa lupa kalau dia tidak tertarik pada teknologi.
"Oke, terserah kamu mau ngambil jurusan apa. Aku nggak tau apa yang cocok buat kamu," ucapku lagi. Kira menghela napas panjang. Jangan-jangan dia memilih percakapan ini karena ingin mendengar pilihanku untuk dia jadikan pertimbangan.
"Yah, tapi yang paling penting sekarang adalah kamu harus cepat melakukannya sebelum terlambat," saranku. Kira memandang heran dengan kening terlipat.
"Melakukan apa?" tanya ketua tim karate sekolah itu. Aku tersenyum miring. Puas karena berhasil membuatnya penasaran.
"Yah, apa lagi kalo bukan mengungkapkan perasaan? Kamu harus sadar, Kira. Univeritas mana yang mau nolak calon mahasiswa genius semacem Steve. Dia bisa aja kuliah ke Oxford, Harvard, University of California, dan universitas number one yang lain. Kalo kamu nggak cepet, kalian bakalan susah ketemu lagi," jelasku. Aku segera meletakkan telunjuk di depan bibir Kira yang ingin protes.
"Ya, aku tau sekarang ini bukan zaman batu. Kalian masih bisa video call. Tapi yang jauh lebih parah, cowok itu bisa tertarik sama temen kuliahnya, bahkan sebelum dia tau kamu sebenernya suka. Yah, kamu tau sendiri kan. Di luar sana banyak cewek cantik udah pasti kayak model. Kamu nggak bakalan bisa bersaing kalo udah telanjur. Lagian, siapa coba yang mau nolak cowok yang hampir perfect kayak dia? Nggak ada kan, kecuali aku," jelasku panjang lebar dengan sedikit penekanan saat mengucapkan pengecualian di akhir.
Mia yang sejak tadi hanya fokus menatap papan tulis kosong sedikit menoleh. "Maaf ya, Mbak. Anda sudah punya Kevin," ujarku tanpa beban, yang kemudian membuat Mia kembali menatap papan kosong sebal.
"Udah aku bilang kan. Aku udah telanjur suka sama laki-laki lain!" Kira berseru, namun tak bisa menyembunyikan pipi yang memerah.
"Tapi aku kan mau bantuin kamu. Bisa aja tuh cowok berubah pikiran setelah kamu jadian sama Steve kan. Lagian, ntar lama-lama juga kamu bakalan lupain tuh cowok kalo udah jadian sama dia. Siapa tau aja langgeng kan kayak di novel romance," balasku. Kira segera berpaling kemudian menjerit sambil menutupi kedua pipinya. Ya ampun. Ternyata dia juga malu-malu kucing.
"Nggak! Pokoknya nggak!" dia kembali berteriak dengan kedua lengan yang disilangkan. Aku hanya bisa terkekeh melihat reaksinya. Andai saja sekolah ini tidak melarang para siswa membawa handphone, aku pasti sudah merekam wajah blushing Kira yang terlihat lucu.
"Eh, Sisi. Memangnya urusan kamu sama Ellion udah kelar. Dia kan masih kelas dua SMA. Kalo kamu pergi kuliah, otomatis kamu bakalan pisah sama dia kan?" Mia tiba-tiba menyahut. Aku menatapnya tajam. Kenapa dia mereka tidak bisa sekali saja tidak membawa-bawa nama cowok aneh itu.
"Aku udah nggak ada urusan sama dia. Camkan itu!" tegasku. Namun Mia hanya memasang senyuman kecut yang menandakan ketidakpercayaannya.
"Kalo memang nggak ada urusan, ngapain anak itu di depan pintu?" tanya Mia sambil menunjuk ke arah bingkai pintu kelas. Aku membelalak tidak percaya melihat siapa yang berdiri di sana.
"Woi, kamu ngapain dateng ke kelasku?!" seruku yang mulai tidak bisa menahan emosi akibat kedatangannya sepagi ini. Anehnya, dia justru memasang wajah tanpa dosa.
"Sesuai janjiku, Agatha. Kita bertemu lagi di sini." Dia mengulangi kata-kata yang hampir sama persis seperti kemarin. Aku hanya menghela napas berat, berjalan dnegan menghentakkan kaki ke arahnya. Jangan salah paham, ini kulakukan agar bisa lebih leluasa membentaknya.
"Aku penasaran dengan lanjutan kasus yang kau ceritakan. Apa kalian tidak menginterogasi saksi, atau melakukan aksi keren lain? Aku juga penasaran siapa pelakunya," kata Ellion. Aku menatapnya dalam-dalam. Dia kan bisa menganalisis sendiri daripada otaknya tidak terpakai.
"Hei, kamu nggak tau ini jam berapa hah?! Bentar lagi bel masuk. Cepet balik ke kelas sana!" titahku seperti yang seorang guru BK. Ellion memandang sekeliling, hingga terpaku pada seorang pegawai TU yang hendak menekan bel.
"Oh, begitu ya. Terima kasih ya sudah mengingatkanku. Kalau begitu, aku pergi dulu ya. Sampai jumpa nanti. Aku tunggu lanjutan ceritamu, Agatha-chan," pamitnya lalu berlari menjauhi kelas dengan wajah innocent itu.
*
Pengen ngakak deh ngebayangin Kira yang salting 😄. Padahal nggak tertarik tapi kok sampe teriak-teriak ya?
Oke, kali ini misterinya libur lagi, hehe .... 😂 Maklumin aja ya. soalnya ini kasusnya nggak sepanjang tiga seri sebelumnya. Seri ini misterinya cuma sekitar lima puluh persen aja. Jadi ya Ichi berusaha panjang-panjangin ceritanya biar sampe 30K kata.
Eits, pliss ... jangan marah ya. Di chapter selanjutnya, misterinya udah nggak libur lagi kok 😁.
Tapi, jangan lupa vote dan comment ya 😊.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] High School of Mystery: Russet Case
Misterio / Suspenso[High School of Mystery 4] Sisi hanya bisa pasrah seraya menggerutu dalam hati saat Ellion yang disangka delusional terus mengekor karena mengaku sebagai cinta pertamanya. Selain karena tidak mau diganggu oleh kedua sahabatnya yang ingin "balas den...