"Kamu udah puas, kan? Jadi cepat ... jauhi aku." Kupalingkan pandangan dari Ellion yang terlihat sama sekali tidak memiliki niat untuk beranjak, sekalipun kutampar ratusan kali. Napasku bertambah cepat. Ini jauh lebih menyakitkan dibanding menganggap anak itu sudah mati.
"Sudah kukatakan, aku tidak akan pergi," ucapnya ringan sembari mengusap puncak kepalaku. Aku terus mendesis dalam hati. Mengapa aku harus memiliki teman keras kepala yang tidak mau diselamatkan seperti dia? Andai aku mengetahui hal ini, aku tidak akan pernah berdoa dia kembali. Lagipula, untuk apa dia ada di sampingku jika pada akhirnya aku akan membunuh laki-laki itu seperti yang lain.
"Kamu bodoh, Ellion! Kamu bodoh! Bodoh!" Sejak dulu aku berjanji untuk tidak pernah berniat menyakiti perasaanya. Ah, lupakan saja soal janji itu. Aku ingin melanggarnya. Daripada hatus melihatnya mati, lebih baik aku menjadi pengkhianat. Tidak peduli julukan apa pun yang akan diberikan untukku. Asalkan aku tidak menjadi pembunuh ... lagi.
"Kamu pasti gila! Nggak ada orang yang mau mati kecuali orang yang nggak punya akal!" seruku lagi. Ellion tetap terdiam tanpa sepatah kata pun. Namun itulah yang lebih menyebalkan daripada kepergiannya dulu. Mengapa diriku ini bergitu menyedihkan? Apa aku memang ditakdirkan untuk membunuh orang pertama yang menganggapku sebagai teman? Apa benar-benar tidak ada cara lain?
Ini tidak adil! Tidak adil!
Seseorang seharusnya hidup dengan pilihan yang akan mengubah hidupnya. Pilihan itu memang sulit. Tapi ini jauh lebih rumit. Keduanya sama-sama menyakitkan. Aku sudah lelah melihat mereka yang terbunuh olehku. Aku tidak ingin menambah korban lagi. Aku juga sudah muak dengan diriku yang lebih pantas mati dibandingkan mereka.
"Agatha, bagaimana kau yakin kalau anak yang kau temui di halte bus itu sama dengan yang menjadi korban pembunuhan?" tanya Ellion setelah sekian lama terdiam. Aku menatapnya dalam-dalam. Dia pasti masih belum percaya dan mencoba membuatku yakin jika semua ini hanya kebetulan. Padahal semua sudah jelas, semua orang di sekitarku akan mendapat kesialan, cepat atau lambat.
"Aku liat mukanya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku yakin itu memang dia," jelasku tanpa keraguan. Anehnya, anak itu malah tersenyum mendengarnya. "Sekarang, kalo kamu nggak mau dengerin kata-kataku ... aku aja yang pergi," tegasku lalu segera bangkit menjauhi meskipun dengan pandangan yang sedikit kabur karena air mata. Namun belum terlalu jauh aku melangkah, lenganku kembali mendapat cengkeraman kuat dari belakang.
"Tunggu, Agatha. Aku lupa mengatakan ini padamu," ucap pemuda itu. Kupejamkan mataku agar air mataku berhenti mengalir, tapi sia-sia. Sama sekali tidak ada pengaruhnya.
"Sebenernya, mau kamu apa? Mati?!" seruku tanpa menoleh. Perlahan, aku merasakan tubuhku perlahan ditarik ke belakang. Aku tidak bisa menahan tenaganya yang jauh lebih kuat. Yang bisa kulakukan hanya berharap agar kutukan itu tidak bekerja padanya hari ini.
"Agatha, apa kau tahu siapa anak laki-laki yang kumaksud hari itu?" tanya Ellion sembari memaksa tubuhku agar menghadapnya lagi. Aku tetap tak mau membuka mata. Kuushakan untuk berpaling darinya. Semoga saja ia tidak apa-apa hari ini. Hanya hari ini. Karena aku akan segera pergi darinya.
"Apa pentingnya tau nama dari korbanku yang udah mati?!" sahutku ketus. Memang, sejak dulu aku berusaha keras melipakan semua korban. Aku tidak mau dihantui rasa bersalah karena mengetahui latar belakang korban. Karena itu lebih baik aku tidak pernah tahu nama mereka. Toh juga mereka tidak bisa hidup kembali.
"Kuberitahu kau, Agatha. Aki tahu siapa sebenarnya anak itu," ucapnya. Andai saja kedua tanganku tidak dalam genggamannya, aku pasti sudah menutup telingaku rapat-rapat. Dia memang tidak akan pernah mengerti penderitaanku. Begitu juga dengan orang lain. Mereka semua hanya penasaran. Tidak ada yang benar-benar peduli.
"Apa kau tidak liaht mata anak itu? Dia adalah Senior Edward, yang sampai sekarang masih hidup. Yah, aku tidak pernah berkata anak laki-laki itu dibunuh. Ia hanya korban percobaan pembunuhan." Aku tertegun mendengar penuturannya. Apa hanya aku yang salah menerima informasi, atau bagaimana? Padahal aku yakin sekali dengan apa yang kulihat. Anak laki-laki itu benar-benar mirip seperti yang kulihat terkapar di trotoar satu jam kemudian.
"Agatha, kau sudah percaya padaku?" tanya Ellion lagi sambil melepaskan genggaman pada kedua lenganku. Tapi aku tidak berniat kabur karena semua energi yang terkuras habis dalam waktu singkat. Kakiku terasa lemas, lebih tepatnya membeku. Aku tidak bisa bergerak kemana pun. Tapi tidak juga jatuh terduduk.
"Kau dengar aku kan, Agatha?" tanya pemuda itu lagi. Aku menghela napas panjang. Jelas, satu korban selamat bukan berarti semuanya hanya sebatas kebetulan. Steve hanya satu dibanding puluhan orang yang mati karena aku. Dia pasti hanya beruntung sehingga bisa lolos dari kutukan itu.
"Percayalah padaku. Semua ini sudah merupakan takdir bagi semua orang. Dan itulah yang baik untuk mereka. Meskipun tampak seperti sebuah hal buruk, yakinlah jika Tuhan memiliki rencana yang lebih baik," terang Ellion. Aku menghela napas panjang. Kalimat itu sudah sering sekali kudengar dari orang lain. Bukannya tidak percaya. Aku hanya tidak ingin merusak skenario indah itu.
"Kau sama sekali bukan pembawa sial, Agatha. Yang kau lakukan hanya berjalan pada takdir yang sudah digariskan. Begitu juga denganku, dan seluruh dunia," jelasnya lagi. Aku sama sekali tidak berniat menyahut. Pembahasan tentang ini selalu membingungkan. Hingga aku selalu kehilamgan kata-kata.
"Kumohon percayalah pada apa yang kukatakan, Agatha. Keberadaanmu sama sekali tidak membawa kesialan. Apa kau lupa? Semua yang hidup pasti akan mati pada waktunya. Termasuk juga aku. Kalau menurutmu itu buruk, yakinlah jika itu yang terbaik untuk mereka." Aku kembali menghela napas panjang. Tetap saja aku merasa bersalah atas semua yang terjadi. Entah itu hanya kebetulan atau bukan.
"Dan aku tidak ingin kau menghancurkan persahabatan ini hanya karena anggapanmu itu, Agatha. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu," ungkap lelaki itu. Aku mengusap mata yang masih basah. Akan kucoba menuruti ucapannya. Meskipun begitu, kenapa rasanya tetap saja berat. Aku masih saja tidak bisa melupakan orang-orang di sekitarku yang sudah pergi.
"Bagaimana?" Kutatap lamat-lamat Ellion yang mendadak bertanya. Kenapa rasanya pembicaraan ini tiba-tiba out of topic?
"Apanya yang 'bagaimana'?" aku bertanya balik. Ellion tertawa kecil. Tawa innocent-nya yang biasa.
"Kan sudah kuakui kalau aku suka padamu. Menurutmu bagaimana?" Aku tersentak karena pengakuannya. Ternyata itu yang dia maksud. Sial, apa dia belum mengerti juga?
"Kamu pikir aku mau jadi pacar kamu?" tanyaku sinis lalu berbalik meinggalkannya. Aku mendengus sebal. Seolah tidak mendengar jawaban barusan, Ellion kembali mengikuti kemana pun aku pergi.
Sisi, sampai kapan kau akan berbohong?
*
Maap ya, kemarin nggak update. Ichi nggak bisa konsen nulis gara-gara tigas dari sekolah. Pahamlah ya 😄.
Kalo kalian maksa Ichi buat bikin pairing ini jadian, mungkin kalian nggak akan nemuin adegan pacaran mainstream yang udah biasa kalian temuin di cerita teenfict wattpad. Kenapa? Karena tokohnya juga beda dari cerita kebanyakan (walaupun mereka punya sisi mainstream juga).
Oke, mungkin Ichi akan biarin hubungan mereka berdua kayak gini. Yah, mau gimana lagi? Ichi nggak bisa dipaksa harus begini, harus begitu. Ichi cuma nulis apa yang Ichi suka.
Semoga kalian bisa paham 😉.
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] High School of Mystery: Russet Case
Mystery / Thriller[High School of Mystery 4] Sisi hanya bisa pasrah seraya menggerutu dalam hati saat Ellion yang disangka delusional terus mengekor karena mengaku sebagai cinta pertamanya. Selain karena tidak mau diganggu oleh kedua sahabatnya yang ingin "balas den...