File 20

501 66 18
                                    

"Ternyata hanya kasus bunuh diri ya? Kupikir kau menemukan pembunuhnya sekaligus yang membuat gadis itu menjadi tersangka," respons Ellion sepertinya belum ada niat untuk bangkit dari kursi plastik yang diambilnya. Sepanjang cerita dia tampak takzim mendengarkan tanpa komentar. Jadi, aku yakin sekarang dia akan melontarkan pertanyaan tidak penting yang sudah disimpannya.

"Kan udah aku bilang. Evan yang membunuh sekaligus buat adik tirinya jadi tersangka utama," sahutku ketus. Nyeri di kepala bagian belakang yang membawaku sampai di tempat ini memang sudah hilang, lebih tepatnya berpindah ke hati. Iya, sejak tadi aku berusaha keras menahan rasa geram. Terlebih lagi ketika petugas UKS yang sudah kembali berkata, "So sweet" pada kami.

Tetapi tidak ada yang lebih menyebalkan daripada seringai tanpa dosa dari bocah delusional itu ketika mendengar orang lain berkomentar mengenai hubungan kami yang sudah seperti sepasang kekasih. Huh, entah mengapa aku merasa ekspresi itu seolah membenarkan ucapan orang-orang.

Seandainya dia memang anak laki-laki yang itu, mungkin aku tidak akan sekesal ini. Aku pasti akan senang menghabiskan waktu bersamanya. Aku tidak akan keberatan kemanapun dia ingin mengikuti. Tapi Ellion berbeda. Meskipun dalam beberapa hal terkesan mirip dengan teman kecilku.

Aku menghela napas. Mencoba lari dari fantasi itu. Aku tahu, itu hanya akan berakhir menyisakan luka yang kian melebar. Itu hanya fantasi. Karena bagaimana pun, ia tidak akan kembali. Tidak siapa pun bisa membohongiku. Dia sudah mati, dan sampai kapan pun aku tidak pernah percaya pada reinkarnasi. Karena bagaimanapun ... ini akan selalu menjadi rasa sakit.

Sejak lama, aku berpikir jika ingatan masa laluku ibarat ditutupi oleh sebuah dinding tinggi yang tak bisa kulewati. Namun sekeras apa pun aku mencoba, hati kecilku seperti menolak. Seolah tidak mengizinkanku mengetahui hal terpenting yang sudah lama hilang. Seakan-akan, itu hanya akan membangkitkan penyesalan.

Tetapi, menyimpan kenangan yang hanya tinggal sekeping sama saja membuatku menderita. Iya, menderita karena rasa ingin tahu yang menjelma menjadi ribuan jarum setiap kali aku berusaha kabur darinya. Seperti pecahan kaca. Jika kau hanya punya satu bagian, maka ujungnya akan melukaimu cepat atau lambat.

Seperti yang kualami sekarang ini. Ingatanku tentang anak laki-laki itu satu persatu telah kembali. Namun bukannya membentuk sebuah gambaran utuh, kepingan itu justru menjadi pecahan beling yang justru melukai ketika tidak bisa disatukan kembali. Masih lebih banyak bagian yang hilang daripada yang kutemukan. Termasuk tentang namanya yang masih belum tergambar.

"Agatha, kenapa kau menangis? Apa kepalamu bertambah sakit?" Aku mengerjap-ngerjap memandang bocah delusional itu. Buru-buru mengusap air mata yang tak kusadari telah membasahi pipiku, tentu saja setelah melepas kacamata. "Maaf kalau aku memaksamu bercerita," sesal anak itu. Aku menggeleng cepat. Toh juga, yang membuatku menangis bukan itu.

Tak lama, bel pulang sekolah berbunyi. Terdengar jelas olehku suara langkah siswa yang keluar dar kelas masing-masing. Aku memaksa kaki yang terasa lemah untuk turun dari ranjang UKS untuk mengambil ranselku yang tertinggal di kelas. Namun usahaku terhenti ketika Ellion menghalangiku dengan merentangkan lengannya. "Biar aku saja," kata anak itu lalu berjalan cepat menuju pintu keluar.

Aku kembali menghela napas panjang. Laki-laki itu memang sering bersikap sok pahlawan. Berusaha membantuku dalam hal apa pun. Dia juga mengaku jika dirinya adalah salah satu siswa terpintar di kelasnya. Entah mengapa aku merasa dia semakin mirip dengan teman kecilku itu. Tapi ... tidak mungkin ada keajaiban yang tersisa dalam kecelakaan pesawat yang membunuh ratusan orang sepuluh tahun lalu.

"Ini." Aku terkesiap melihat tas ranselku yang tiba-tiba sampai dalam waktu kurang dari lima menit. Jadi sebenarnya, secepat apa Ellion berlari ke kelasku lalu kembali ke sini? Jika dihitung, seharusnya dia sampai ke tempat ini lagi dalam watu kurang lebih enam menit. Itu pun kalau melewati lapangan basket yang merupakan jalur terdekat, dan tidak ada kerumunan yang menghalangi.

"Agatha, kenapa kau melamun?" tanya pemuda itu. Aku tersentak lalu merebut ranselku, beringsut menuruni ranjang. Tapi yang membuatku heran, sejauh ini belum ada tanda-tanda Ellion akan pergi. Dia tetap bergeming di tempatnya, setia menungguku. Padahal aku sedang menantinya pergi.

"Kalau kau tidak kuat berjalan, aku bisa menggendongmu sampai rumah," ujar Ellion ringan. Kedua mataku membelalak karenanya. Spontan kakiku turun dari ranjang kemudian berjalan cepat keluar. Luar biasa. Kekuatanku kembali pulih setelah membayangkan apa yang akan terjadi jika anak itu benar-benar melakukan apa yang dia katakan.

Aku memang tidak tahu dimana rumah anak ini. Tetapi hatiku berkata dia ingin mengikuti lagi seperti kemarin, dan kemarinnya lagi. Argh, apa yang sebenarnya dia inginkan? Saat di UKS sengaja kuceritakan kasus itu sampai habis agar aku bisa bebas dari bayangan laki-laki yang biasanya berjalan di dekatku.

Mengembalikan ingatanku yang hilang? Tidak, kurasa itu tidak perlu. Jika ingatanku semuanya tentang kesedihan, penyesalan, kesendirian, atau apa pun yang menyebabkan rasa sakit, lebih baik aku tidak pernah mengingatnya kembali. Jika ingatanku tentang Ayah, izinkan aku amnesia selamanya. Soal nama anak laki-laki itu, biarlah ikut tenggelam bersama yang lainnya.

"Oh ya. Agatha, apa kau tidak penasaran kenapa aku bisa kembali dari kelasmu secepat itu?" tanya Ellion yang mungkin sudah bosan membisu. Aku hanya mengangkat alis. Padahal tidak mungkin bagi seseorang yang berada di sampingku untuk melihatnya.

"Tadi, sewaktu aku keluar dari UKS, aku berpapasan dengan Bu Riska yang berniat membawakan ranselmu. Jadi, aku tinggal kembali membawanya," jelas anak itu. Aku tidak menggubris. Aku ingin cepat-cepat pulang. Menenggelamkan wajahku dalam selimut hingga fantasi itu menyerah hingga pergi dengan sendirinya.

Tetapi yang masih menggangguku adalah keberadaan Ellion. Bahkan sampai setengah jalan, dia sama sekali tidak berbelok ke arah lain. Entahlah, aku juga tidak tahu rumahnya ada dimana. Yang jelas, aku hanya ingin dia pergi. Meninggalkanku yang ingin menenangkan diri.

"Agatha, kenapa kau diam saja?" tanya Ellion lagi. Aku menghela napas berat. Tidakkah dia peka jika yang membuatku enggan bicara hari ini adalah dirinya. Atau, jangan-jangan dia hanya pura-pura lupa pada perjanjian pada saat waktu istirahat?

"Kamu sendiri, kenapa ngikutin aku sampe sini? Aku udah ceritain semuanya. Jadi kita udah nggak ada urusan sama sekali!" ujarku, dan tanpa menunggu lebih lama berbalik untuk menyebrang. Kebetulan sekali lampu sedang menyala merah.

Tiba-tiba dari arah kanan, terdengar suara mobil yang melaju kencang di jalanan yang entah mengapa cukup sepi hari ini. Aku terkesiap. Tenggorokanku tercekat hingga tidak bisa berkata sepatah kata pun. Sementara jaraknya hanya setengah meter dariku yang baru berjalan selangkah ke jalan.

"Agatha, awas!"

*

Maap ya kalo adegan terakhirnya rada-rada klise gitu 😅. Tapi tenang, Sisi nggak teriak kayak di sinetron, kok. Hehe .... 😂

Setelah Ichi pikir-piki tadi malem, Ichi berubah pikiran. Jadi semua scene yang semulanya buat side story Ichi pindahin ke sebelum epilog. Makanya seri keempat bakalan jadi salah satu seri yang nggak punya side story.

Karena kebetulan ini masih kurang 30K kata, Ichi mau ceritain sedikit tentang masa lalu Sisi, alasan kenapa dia nggak pernah tertarik sama cowok padahal di deketnya banyak ikemen (cogan) 😂.

Jadi, buat Sisi nggak perlu pake spin off. Biarlah yang punya cerita sendiri itu cuma Mitsuki, Steve, dan Kevin yang beeeep .... [--disensor karena bermuatan spoiler--] 😂

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] High School of Mystery: Russet CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang