File 21

465 76 15
                                    

Jarakku dengan mobil itu hanya setengah meter. Dengan pandangan yang seperti video slow motion, kakiku seketika tidak bisa bergerak. Tenggorokanku tercekat. "Agatha, awas!" Teriakan Ellion itu seolah tidak ada gunanya karena aku tidak bisa nenghindar.

Dalam hitungan seperseribu detik, sebuah tangan mencengkeram lenganku kuat-kuat lalu menariknya hingga tubuhku terhuyung ke sisi jalan. Namun dengan sigap laki-laki itu mendekapku yang sudah hampir kehilangan kekuatan untuk berdiri.

Aku tetap bergeming, seraya berusaha mengatur napas yang tersengal. Kedua kaki serta tanganku gemetar hebat. Hanya dalam hitungan setengah menit, aku seakan mandi keringat dingin. Jangan tanya soal debar jantungku setelah nyaris tertimpa bahaya. "Agatha, kau tidak apa-apa kan?" tanya laki-laki itu.

Aku tetap terdiam sementara ucapannya bergema di dalam kepalaku. Persis seperti dalam ruangan kosong. Tidak! Ini tidak benar-benar kosong. Aku hanya tidak bisa melihatnya .... Ingatanku yang sudah lama pudar. Ia perlahan kembali ... seperti gema suara itu.

Kepalaku berdenyut nyeri. Aku hanya bisa meringis. Rasa sakit luar biasa yang sebenarnya bisa membuatku berteriak histeris jika tidak kutahan. Tetapi ada yang jauh lebih sakit. Sangat perih seperti luka yang terkena garam. Ia adalah ... kebenaran yang kulihat saat ini, tepat di depan mataku.

Seorang anak perempuan yang mengenakan terusan putih bermotif bunga-bunga tampak santai menyebrang jalan yang sepi dengan sedikit berjingkrak. Pandangannya tampak berbinar melihat sekeliling, alih-alih fokus pada ujung jalan yang menjadi tujuannya.

Tanpa ia sadari, lampu merah berganti hijau. Sehingga mobil yang melaju tidak mengurangi kecepatannya sama sekali. Gadis itu tetap santai sampai akhirnya pengendara mobil itu membunyikan klakson yang behasil membuat anak perempuan itu terkejut. Tetapi sayangnya, sang pemilik mobil itu terlambat menginjak pedal rem.

"Agatha, awas!" Seprang anak laki-laki dari ujung jalan berreriak sembari menarik lengan gadis itu kuat-kuat. Namun karena tubuhnya tidak cukup menahan berat temannya, ia pun jatuh bersamaan dengan gadis besurai panjang itu.

"Agatha, kau tidak apa-apa kan?" tanya anak itu cemas. Tetapi pertanyaannya tak kunjung mendapat balasan.

Gadis yang dianggil Agatha itu meringis menahan sakit di lutut serta bagian tubuhnya yang lain. Namun tak urung matanya menjadi berkaca-kaca. Ia sudah tidak tahan hingga menangis terisak. Dengan berderai air mata, dia menoleh pada anak yang baru saja menyelamatkannya. Dia terus mencoba menghentikan tangisnya, namun gagal. Akhirnya, sambil tersedu dia berbicara. "Terima kasih ... Ellion."

"Agatha, katakan kalau kau tidak apa-apa!" Seruan itu membuatku ilusi yang kulihat seketika menghilang. Namun rasa nyeri di kepalaku masih tersisa. Bahkan semakin menyakitkan.

Iya, rasanya perih sekali mengetahui ini. Tidak ada bedanya dengan pecahan beling. Sudah hancur, tidak bisa disatukan kembali. Tetapi rasanya akan semakin sakit saat kau ditusuk lebih banyak kepingannya. Andai waktu bisa terulang, aku akan memilih untuk tidak pernah mengingatnya lagi. Tapi ... aku harus sadar bahwa ... takdir yang kejam akan membawaku ke tempat ini lagi cepat atau lambat.

"Ellion, terima kasih," bisikku lalu membalas pelukannya yang masih belum dilepas. Aku sudah tidak bisa menghindar. Takdir yang telah terjadi tidak bisa diubah dengan cara apa pun. Hanya bisa diterima dengan tangan terbuka lebar, sesakit apa pun.

"Agatha, kau sudah ingat aku?" pemuda itu bertanya. Aku tetap membisu. Air kembali mengalir dari mataku yang terasa panas, membasahi pipiku perlahan. "Kau belum pernah memanggilku dengan nama. Jadi kupastikan ingatanmu sudah kembali," bisiknya sambil mengusap punggungku.

Aku mendesah. Setelah sekian lama hilang ... dia kembali. Tapi kenapa aku malah ingin menghindar. Menolak mentah-mentah ilusi yang merupakan ingatan yang muncul di depan mata. Kenapa setelah bertemu ... aku merasa akan jauh lebih baik jika semua ini tidak terjadi? Kenapa aku malah menolak harapanku yang terkabul? Kenapa rasanya sakit?

"Sudahlah, Agatha. Kau tidak suka bertemu denganku?" Ellion kembali bertanya. Aku tetap membisu. Harus kujawab dengan kalimat apa? Aku senang karena melihatnya masih hidup. Tapi, di sudut terdalam hatiku masih ada rasa sakit yang tidak kumengerti.

"Maafkan aku, Ellion," lirihku. Dia tidak merespons dengan kata-kata. Hanya mengusap punggung beberapa kali. Samar-samar, aku mendengar desah napasnya. Membuat nyeri di dalam dadaku semakin terasa.

"Tidak apa-apa. Aku mengerti, kok. Lagipula, salahku sendiri karena tidak memberitahumu dari awal," balasnya. Aku ingin menyanggah jika alasanku meminta maaf bukan seperti yang dia pikirka. Tapi lidahku sudah telanjur kelu untuk hanya berkata 'tidak'.

"Sudahlah, tidak usah menangis. Menurutku, mau terlihat lebih manis ketika sedang marah daripada menangis seeprti itu." Ellion melepas pelukan. Dia tersenyum menatapku, lalu mengusap air yang masih tersisa di pelupuk mata. Aku tetap bungkam. Rasa sakit ini sulit sekali dijelaskan.

"Hei, bagaimana kalau kita mengulangi semuanya, seperti dulu?" Aku mengangkat wajah. Pertanyaan itu terdengar seperti tawaran yang menarik. "Kita bisa jalan-jalan di taman kota, pergi ke bangunan sekolah lama kita, atau kemana saja. Anggap saja ini nostalgia," tawarnya lagi.

Aku menghela napas. Semua yang dia katakan terdengar sangat menyenangkan. Mungkin saja itu membuatku bisa melupakan perasaan bersalah itu sebentar. Tapi ... saat ini sulit sekali berkata, "Ya." Aku juga tidak mengerti mengapa hati kecilku menolak.

"Ah, Agatha. Kau itu selalu berpikir terlalu lama. Ayo," ajaknya lalu menarik lenganku pergi. Aku tidak bisa menolak. Sama seperti Kevin, cengkeraman tangannya sulit sekali dilawan. Tapi mendengar antusiasme dan tawanya yang tiak pernah berubah, aku kehilangan argumen. Mungkin tidak ada salahnya aku menuruti ucapannya.

Ellion mengajakku berkeliling taman kota. Walaupun aku sudah tahu jika dia adalah sahabat kecilku, tetap saja aku tidak mau dianggap seagai sepasang kekasih. Karena itu sebisa mungkin aku menjaga jarak dari laki-laki itu. Tapi tetap saja banyak dari pengunjung lain yang menatap aneh kami berdua. Ah, ternyata pemikiran semua orang saat ini sudah benar-bear terpengaruh oleh film sinetron.

Pandanganku terpaku pada sebuah pohon yang masih berdiri kokoh di tempatnya sejak dulu. Ellion menayapku yang tiba-tiba menghentikan langkah heran. "Apa kamu masih inget waktu dagu kamu lebam gara-gara jatuh waktu itu?"

"Yang mana? Aku tidak ingat." Ellion menggaruk tengkuk sambil menoleh ke arah lain. Aku hanya geleng-geleng melihat sikapnya yang seperti anak kecil yang ketahuan berbohong.

"Nggak mungkin kamu lupa. Waktu itu ... aku digangguin sama anak-anak lain dari kelas kita. Terus kamu tiba-tiba sok pahlawan nolongin aku, tapi nggak sadar kalo tali sepatu kamu lepas," aku terkekeh saat membayangkan tingkahnya saat itu.

"Aku bercanda, Agatha. Tentu saja aku ingat. Rasanya malu sekali mengingat itu," aku Ellion. Aku tidak bisa menahan tawa ketika melihat ekspresi salah tingkah itu. Dia sama sekali tidak pernah berubah.

Hahh ... andai saja, semuanya benar-benar tidak berubah.

*

Maap ya updatenya agak malem. Jadi males nulis author note 😂.

Jangan lupa tinggalkan jejak (seperti biasa) ya 😊.

[END] High School of Mystery: Russet CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang