Part 21 [END]

1.9K 53 1
                                    

"Dan itu bukan urusanku lagi." kata Jasmine santai. Kai mengeratkan genggamannya, mungkin ini adalah kali terakhir dia merasakan tangan hangat Jasmine.

******

WARNING! TYPO BERTEBARAN! HARAP MAKLUM

******

Part 21

Abigail Pov.

'Kapan dia akan bangun?' ' Abigail, jangan terlalu lama tidur sayang, Bunda khawatir' 'Sayang, bangun dong.' 'Abigail.' suara-suara itu yang ku dengar saat aku menjelang siuman. Dalam mimpi burukku di sana, aku hanya mendengar suara jerit tangis Bunda. Aku merindukannya.

"Ugh!" rintih ku pelan, aku mencoba membuka mataku walau berat. Tenggorokanku rasanya kering, dan aku rasa aku sudah tidak punya badan, karena aku tak bisa menggerakkan apapun.

"ABIGAIL!!" jerit Bunda senang. Aku ingin berbicara, tapi tak ada suara yang keluar. "Mau minum? Bunda ambilin ya?" kata Bunda lalu mengambil air yang ada di nakas dan menolong ku untuk minum.

"Bunda?" panggilku lirih.

"Ada apa sayang?" tanya Bunda lembut. Tatapan matanya sendu, dan kantung matanya terlihat, pokokknya Bunda sangat acak-acakkan.

"Bunda kenapa?" tanya ku memperhatikan tubuh Bunda yang kurusan.

"Itu pertanyaan yang tidak perlu jawaban kan sayang? Masa kamu gak tau penyebab Bunda begini?" tanya Bunda kembali. Aku terdiam, bukan karena ucapan Bunda, tetapi aku merasakan ada hal yang besar menantiku dii masa depan, terlihat dari mata Bunda.

Keheningan terjadi di ruangan serba putih dan berbau obat ini. Bau yang selalu membuatku muak dan pusing. Keheningan ini membuatku sesak, apalagi kalau bukan tatapan Bunda yang sendu dan membuatku tanpa sadar merasakan kesedihan Bunda.

"Bunda terlihat lebih tua dan keriput dari yang terakhir kali aku lihat." kataku berusaha mencairkan ketegangan ini.

"Semua manusia akan menua sayang." kata Bunda lembut.

"Hehehe, tapi serius, tangan Bunda lebih kasar dan keriput di seputar wajah. Cantiknya hampir hilang." candaku.

"Kamu nih! Udah istirahat gih!" kata Bunda sebal lalu memencet tombol untuk memanggil dokter.

Beberapa saat kemudian,

"Ada yang bisa di bantu bu?" tanya Dokter beserta suster yang tadi di panggil lewat tombol.

"Anak saya udah siuman, mungkin ada sesuatu, jadi .." "Ish! Aku kan gak papa Bun!" sela ku kesal karena Bunda lebay.

"Biar saya priksa untuk kepastiannya." kata Dokter itu kemudian mendekatiku. Dia seperti penjahat dengan alat stetoskop yang seperti pisau dan wajahnya dihiasi serigaian jahat, sedangkan Bunda seperti ibu tiri yang jahat merelakan anaknya ke genggaman orang jahat dan hidung belang. Oke aku lebay, karena jujur saja, separah-parahnya aku sakit, aku tidak pernah mau menemui dokter. Alasannya simple, kebanyakan nonton film horor dan ada adegan dokter membunuh pasien.

"Sayang, kok kamu pucet banget?" tanya Bunda khawatir dan membangunkanku dari lamunanku.

"A-ah, gak papa kok Bun." kataku berusaha menetralkan degub jantungku. Semakin dekat langkah dokter dan alat tetoskop ke tubuh mulusku, semakin banyak keringat dingin yang keluar. Saat dokter itu membuka bajuku, untuk memeriksa perutku, aku memejamkan mata dengan erat, sekujur tubuhku mengeluarkan keringat dingin. Dan saat aku merasakan rasa dingin dari tetoskop itu di perutku, aku menahan nafas.

'Dia tidak apa-apa bu, kondisinya stabil." kata Dokter itu tenang lalu menjauhkan tetoskop itu, dan saat besi dari perut ku menjauh, aku langsung bernafas lega.

Triangle LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang