Calon Kakak Ipar yang Gagal

167 8 0
                                    

"Kesan pertama mungkin tak terlihat berarti, namun selalu mampu memberikan arti. Berlalu atau berlanjut."

Happy reading...

Pagi-pagi buta Dyra sudah siap dengan gamis merah mudanya, sudah sejak selepas shalat subuh tadi Dyra mempersiapkan diri untuk kekampus hari ini. Menatap lekat-lekat selembar kertas yang ia tempel di dinding kamarnya semalam. Tulisan tangan besar-besar dengan tinta hitam tercetak indah berjudul “Kiat-kiat Menjadi Manusia Normal” tertulis jelas disusul denga tiga point mendasar yang berukuran lebih kecil dengan hiasan bentuk bintang di sekitanya. Tekatnya sudah bulat, mencoba berjuang, dan hari ini Dyra akan memulai misinya yang pertama, “Bergaul dengan orang lain.”

Semalam, lebih tepatnya tengah malam Dyra bentangkan lebar-lebar kertas A4 berwarna merah muda di atas meja belajarnya, suara srek-srek ujung bolpoin yang menyentuh permukaan kertas mengiringi suara gemerincing gantungan berbentuk kelinci dari seng di ujung tutupnya. Aroma bau tinta basah seketika menusuk hidungnya yang hanya berjarak beberapa centi meter saja dari kertas. Dyra hingga menundukkan kepalanya dalam-dalam sangking seriusnya menulis kata demi kata dalam selembar kertas itu. Sesekali ujung kertanya akan tersibak-sibak oleh angin yang berhembus dari balik jendela kamarnya. 

“Huhh mantap betul,” katanya menatap puas hasil karyanya. Sudut bibirnya ia tarik tipis-tipis memperlihatkan lengsung pipit yang seperti lubang kecil di pipi kananya. Tanpa menunggu waktu lama, kertas penuh kobaran semangat itu sudah menempel kuat di dinding dekat pintu, tempat paling strategis menurut Dyra. Setiap kali ia keluar masuk kamar, pasti sengaja atau tidak sengaja matanya akan melihat itu dan secara otomatis otaknya-pun akan menyimpan rapat-rapat. Selembar kertas ini adalah saksi bisu akan tekatnya untuk mengubah diri, sudah bertahun-tahun Dyra berada dalam keterpurukan mendalam, Dyra ingin bangkit. 

Sudah beberapa hari ini ia sibuk memikirkan banyak hal yang harus ia kerjakan. Dari hal mendasar hinggal hal terberat berserta konsekuensi yang akan ia dapatkan ketika melakukanya. Tak jarang Dyra berdiri selama berjam-jam di sudut belakang perpustakaan atau duduk di salah satu taman kampus hanya untuk mengamati orang perorangan yang sedang berkeliaran di sekitar situ. Ia selalu bermimpi menjadi orang yang memiliki banyak teman dan mudah bergaul hingga bisa ketempat manapun sesuka hatinya tanpa ada kata bad mood dan kehilangan energi.

☆☆☆☆

Tidak terlalu susah memang jika hanya berbicara dengan orang lain atau orang baru jika apa perlunya saja, namun terkadang ia merasa dirinya juga terlalu pemilih walau hanya sekedar berbicara dengan orang lain, terlebih untuk bergaul. Semua tergantung dengan kesan pertama dari kata hatinya. Dari pertama kali ia melihat seseorang, dan semua itu akan menentukan kelanjutanya, menerima atau tidak, bahkan bisa saja dimasukkan kedalam list orang yang dihindari sebelum mengenalnya lebih dalam, egois memang namun itulah Dyra. Entah mengapa ketika bertemu seseorang Dyra selalu menggunakan felling-nya untuk menilai dan menentukan layak atau tidaknya. 

Pernah suatu ketika di rumahnya sedang ada acara yang melibatkan keluarga besar, yang kebetulan sekali ada keluarga baru, sepupu Dyra baru saja menikah, itu kali pertamanya Dyra bertemu dengan wanita itu. Dyra akui cantik memang, bahkan bisa dibilang Dyra tak ada setengah dari kecantikanya itu, ketika tertawa maka matanya hanya akan membentuk sebuah garis lurus, dan ketika ia tersenyum sedikit saja maka seketika itu lubang di kedua pipi putihnya akan tercetak sempurna, bagai ukiran seniman profesional, tak ada celah sedikitpun. Bisa dibilang Dyra kagum dengan parasnya, suara lembutnya ketika berbicara, namun tak sama halnya dengan hatinya, hanya matanya saja yang memuji, sedangkan hatinya memberontak hebat. 

“Istrinya Kevin cantik ya Dyr,” ujar Mama Dyra memandang kearah sofa. Kipas lipat di tangan kirinya ia bentangkan lebar-lebar.

Dyra hanya mangut-mangut tak jelas, pandanganya menjurus pada sosok wanita yang duduk di sofa bersama kerumunan orang.

“Andai Kakakmu yang bisa dapet dia,” sambung Mama, yang langsung dibantah Dyra cepat.

"Enggak, Dyra nggak suka.”

“Kenapa? Kayaknya wanita baik-baik kok, lihat aja itu sopan, lemah lembut, ramah.” Mama sampai tersenyum lebar sekali ketika mengatakan hal itu. Hembusan angin yang tercipta dari kibasan kipas lipat bergambar kartun Minion itu membuat puncak kerudungnya ikut berkibas-kibas.

“Pokoknya Dyra nggak suka aja.”

“Karena takut kalah saing?”

“Enak aja enggak lah, Dyra tetep anak kesayanga Papa, anak perempuan satu-satunya, adik kesayangan Kak Andi,” bantah Dyra percaya diri. 

Entah mengapa ada suatu hal yang menganggu saja menurut Dyra, namun ia sendiri tak tahu apa itu. Dari caranya berbicara, berinteraksi dengan orang lain, Dyra merasa ada yang ditutupi di balik semua itu.

Semua baru terbukti setelah dua bulan kemudian. Dengan hebohnya Mama bercerita panjang lebar di ruang keluarga ketika baru saja pulang dari arisan keluarga. Peluh membanjiri keningnya, dengan nafas yang tersenggal-senggal Mama mulai membuka suara, “Papa tahu, menantunya Mbak Sindi, kalau ngomong Pa heh. Katanya hidup itu isinya kaya surga uang. Mau beli ini itu mudah, padahal ternyata waktu pindah kerumah Mbak Sindi aja cuma bawa baju dua pasang, itu aja tas yang buat tempatnya itu warnanya udah pudar,” kata Mama dengan emosi yang membara. Tas jinjing mahal hitamnya sudah ia lemparkan ke atas sofa begitu saja karena terlampau kesal.

“Ya mungkin sengaja nggak bawa banyak baju kali Ma, terus tasnya itu banyak kenanganya jadi walaupun warnanya udah pudar masih dipakai, atau bisa jadi emang warnanya gitu. Namanya anak muda jaman sekarang, kadang hidup baru semua juga harus serba baru,” jawab Papa. 

“Orang Mbak Hida udah pernah kesana kok Pa, lihat sendiri rumahnya,” bantah Mama cepat, wajahnya berkerut sambil mengerucutkan bibirnya. 

Papa justru seperti tak tertarik, tanganya sibuk membolak-balik kertas koran di pangkuanya, sesekali ia akan mengangkat tinggi-tinggi hingga menutupi wajahnya sambil membenarkan posisi kacamatanya ketika ukuran tulisan ada yang terlampau kecil.

“Ma katanya mau jadiin Mbak Nindi menantu Ma,” sambar Dyra, ia masih cukup ingat bagaimana wajah Mama ketika ingin menjadikan istri dari sepupunya itu menantu. Bahkan semangatnya tak jauh beda dengan saat ini.

“Ngak rela Mama anak Mama yang ganteng, sukses itu dapet istri semacam itu.”

“Huss Ma, nggak boleh bilang gitu. Mungkin emang awalnya orang kaya, atau dia bilang gitu karena ada alasan tertentu nggak mau mempermalukan keluarganya dan suaminya,” bantah Papa. Papa memeng lebih sabar dan lebih tenang dibandingkan Mama, sifatnya yang selalu menjunjung tinggi berprasangka baik atau khusnuzon terhadap apapun dan siapapun terkadang membuat kebanyakan orang menyalah gunakan untuk kepentinganya sendiri.

Seperti ketika ada salah satu pegawai apotek yang ketahuan menyelinapkan obat-obatan mahal. Mama sudah naik tikam, hingga berjanji akan menuntut dan memenjarakan pegawai itu. "Pokoknya Mama nggak mau tahu, papa harus proses itu orang. Berani-beraninya bertindak seenak jidat dia," kata Mama dengan muka masam dan berkacak pinggang.

Sedangkan Papa justru dengan santainya tetap mengizinkan pegawai itu untuk tetap bekerja setelah diperingati dan tanda tangan diatas kontrak jika pegawai itu tidak akan mengulanginya lagi. 

Awalnya Dyra juga sempat kesal, namun ketika tak sengaja ia mendengar pebincangan Papa dengan salah satu orang keperacayaanya, membahas perihal biaya rumah sakit. Dyra sempat menguping, yang ternyata anak dari pegawai itu baru saja berusia tiga tahun dan harus menderita penyakit Leukimia, Kanker Darah. Betapa menyesalnya dirinya saat itu karena sudah berpikiran yang tidak-tidak. Namun bersamaan dengan itu ia juga mengerti apa alasan Papa melakukan semua itu, bahwasanya selalu ada sebab di balik akibat. 

To Be Continue...

Introvert Star☆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang