"Terlihat belum tentu teraba. Teraba belum tentu terdengar. Terdengar belum tentu terasa."
Happy reading....
Mengenai apa alasan khusus yang membuat Dyra semacam ini, sebenarnya ia sendiri juga tak tahu pasti mengenai hal itu, namun sewaktu kecil dulu, seluruh keluarga besar dari Mama selalu saja menganggapnya rendah dan membandingkannya dengan sepupu-sepupu Dyra. Bahkan Dyra masih ingat betul ketika setiap kali ada acara keluarga maka Nenek akan berkata, “aduh Dyr, nenek tu pusing sama kamu. Cucu nenek tu semuanya aktif, pinter, kenapa kamu sendiri yang banyak diemnya, mbok kaya Kakak-mu atau kaya Silvi, Ihsan, aktif di luar akademik juga dapet peringkat dimana-mana,” dan ketika itu Dyra hanya menunduk pasrah sampai akhirnya tanganya diraih oleh sang Kakak untuk diajak pergi.
“Jangan denger apa kata Nenek, inget apa yang selalu Papa bilang. Nenek gitu karena udah tua, pikun, pemikiranya udah kaya anak kecil lagi, besok aja pasti udah lupa sama apa yang tadi dia bilang," kata Andi, Kakak Dyra.
“Ya tapi nggak cuma Nenek kak, Bude Hida iya. Kata Bude Nindi malah pernah ngomongoin Dyra bodoh, waktu Dyra nggak sengaja jatuhin gelas di rumahnya.”
“Itu karena Bude lagi emosi. Jangan dengerin apa kata orang, cukup denger apa kata Mama Papa aja! Kalau ada yang bilangin Dyra nggak enak, Dyra tinggal pergi aja, oke?”
Dyra hanya mengangguk cepat, menatap Andi yang hanya menarik bibirnya simpul. Melihat hal itu sepontan Dyra juga ikut tersenyum, menampakkan lubang dalam di pipi kanannya, hingga dihadiahi tepukan lembut di puncak kepalanya dari Andi. Andi selalu mampu memposisikan dirinya sebagai Kakak terhebat di hati dan di mata Dyra, selalu membela adik tersayangnya ketika tak ada kedua orangtua mereka di sekitar mereka. Sejak saat itu Dyra selalu menghindari apapun, menutup telinganya rapat-rapat, memilih sendiri dan menghindari halayak ramai atau bahkan orang lain. Ketika perkumpulanpun Dyra hanya akan setor wajah, menempel bagai perangko dengan Mama atau Andi dan ketika dirasa cukup maka ia akan mencari tempat pelarian dimanapun, yang penting sendiri.
Setelah keberhasilan dengan Nadia dan Saras, Dyra semakin ingin mencoba dan membuktikan kembali keberhasilanya itu. Hari berikutnya, dengan tatapan tajam dan serius kedua matanya ia arahkan menatap kearah barisan bangku nomor dua dari depan, barisan kawanan wanita separuh umur yang sedang duduk bersebelahan. Di sisi kanan salah satunya dekat dengan jalan utama, terdapat satu bangku kosong. Dyra yakin tak ada yang memesan karena tak ada tas atau benda apapun yang diletakkan di atas kursi itu untuk menandai.
Di kelas Dyra sudah menjadi hal yang wajar tanda menandai bangku seperti itu untuk temannya yang belum datang atau sudah memesan terlebih dulu, kalau kata teman-teman Dyra sudah di cup. Dan biasanya mereka menggunakan tas, buku atau barang apapun sebagai penanda. Jika sudah seperti itu maka sudah pasti sudah ada yang memiliki, atau jika memang kepepet dan sudah minim bangku kosong maka wajib hukumnya untuk bertanya dulu dengan orang yang duduk di sebelahnya.
Rencananya Dyra akan duduk di bangku kosong itu. Basa basi dan lain sebagainya sebagai pemula dan pemanis, dan jika ada kesempatan untuk bertanya atau berbicara maka ia akan mengeluarkan anak panahnya dan meluncurkanya langsung, bertanya apapun yang bisa ditanyakan.
“Bun ini nggak ada yang nempatin kan?” tanya Dyra ragu-ragu. Ketika ketiga Bunda itu menatapnya seketika itu pula aliran darah Dyra berdesis hebat, tubuhnya menengang, pasokan oksigen tiba-tiba terasa menipis.
“Enggak kok Dik, duduk aja.” Bunda berbadan kecil yang duduk disisi bangku kosong ini Buna Nina namanya, badanya kecil, kira-kira mungkin seukuran dengan Dyra meskipun lebih tinggi Dyra, kerudungnya menjuntai panjang. Ketika tersenyum maka hidung kecilnya akan terlihat seperti menghilang. Kalau yang sebelahnya Bunda Lastri beliau memiliki kulit yang lebih putih dari ketiganya dengan badan yang lebih profesional. Dan yang sebelahnya lagi, yang kini menimpali ucapan Bunda Nina namanya Bunda Nisa, suaranya yang lemah lembut seperti tak sepadan dengan ukuran tubuhnya yang besar dan gagah. Usut punya usut katanya Bunda yang satu ini juga istri Bapak Tentara.
“Tumben Dyra baru dateng jam segini, biasanya kalau dateng awal-awal?” kata Bunda Nisa.
“Iya Bun, tadi jalan kaki soalnya.”
“Lah rumahmu dimana to dik?” tanya Bunda Lastri. Ketika mengatakan Dik nada suaranya medok sekali, biasa orang Jawa memang selalu punya identitas ketika berbicara.
“Dyra tinggal di Apartemen Bundahara Bun.”
“Lah yo deket no, pantes Bunda pernah lihat Dyra naik sepeda ke kampus. Bunda kira Dyra rumahnya deket sini,” jawab Bunda Lasti. Dyra hanya tersenyum kikuk, kepalanya ia anggukkan tak yakin.
“Nggak papa, hitung-hitung olahraga kan Dik? Malah nggak telat kalau harus ngampus pagi,” timpal Bunda Nina.
“Iya Bun Alhamdulillah, lah Bunda-bunda rumahnya dimana?”
Satu perangkap berhasil Dyra luncurkan, meskipun awalnya takut-takut namun akhirnya berhasil keluar juga dari mulutnya. Walaupun sedikit aneh memang, sudah tiga semester mereka satu kelas baru perkenalan sekarang, namun tak apa lah setidaknya jika ada orang yang menyalahkan atau bahkan menertawakan Dyra bisa beralasan jika mahasiswa di kelasnya terlalu banyak, tidak mungkin kan ia menghafal atau menanyakan dimana tempat tinggal dari 88 siswa.
Bunda Nina ternyata dari Ungaran, ia tinggal dan bekerja disalah satu Rumah Sakit di sana. Kalau Bunda Lasti ia asli Semarang dan beliau juga kerja dirumah sakit disekitar simpang lima, tidak terlalu jauh jika dari kampus mereka. Kalau Ibu Persit satu itu, beliau orang Salatiga asli, tinggal disana dan punya Apotek sendiri namun masih juga kerja. Waktu Dyra tanya berangkat dari rumah jam berapa. Katanya beliau berangkat dari subuh, “Kalau ada kuliah pagi Bunda berangkat dari subuh Dik.”
“Emang nggak capek Bun?”
“Ya capek Dik kalau ditanya capek apa enggaknya, cuma kan namanya kewajiban. Anak, suami, pendidikan, pekerjaan, semua itu nggak kenal yang namanya capek,” jawabnya, Dyra bisa melihat nada keputusasaan darinya.
“Besyukur kaya kalian-kalian ini, fokusnya masih belajar. Belum ada tanggungan lain, nggak ada gangguan anak minta bantuin kerjain PR waktu mau ngerjain tugas juga, nyiapin sarapan setiap pagi, bantu suami sama anak beberes padahal dirinya sendiri juga buru-buru mau kuliah, belum lagi habis praktikum capek, lemes lihat mencit tikus malemnya harus kerja sampai pagi lagi. Belum belajar buat Pri Test dan lain sebagainya,” timpal Bunda Lastri.
Mendengarkan ceritanya saja sudah membuat Dyra merinding ngeri, tak bisa membayangkan jika seandainya itu dirinya. Tugas menumpuk di tengah-tengah padatnya praktikum saja sudah kerap membuat Dyra uring-uringan, apalagi jika seperti ketiga Bunda ini. Dyra sekarang percaya jika wanita memang memiliki kekuatan super.
To Be Continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Star☆
PertualanganDyra Danya hari-hari harus dipenuhi dengan sifat introvert. Dari yang membuatnya terpuruk, terkucilkan, hingga membawanya kesebuah kasus yang berhasil memaksanya untuk mencari berbagai macam metode khusus, menjalankan beberapa aksi yang tak pernah i...