Imam Si Biang Rusuh

25 3 0
                                    

"Seuntai kata memang belum tentu mampu merubah seseorang, namun setiap kata yang diucapkan selalu mampu menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. Jadi, berpikirlah sebelum berucap."

Happy reading....

Dyra diam menunduk tak bersuara, wajahnya ia tekuk berlipat-lipat, bibirnya terkatup rapat, menyoret asal selembar kertas folio bergaris yang sebenarnya sudah tak ada celah lagi. Ia gelisah, sesekali ekor mata mengamati sekitar. Janji Dyra dengan Nadia dan Saras beberapa hari lalu benar-benar terpenuhi. Selepas kuliah di minggu setelahnya mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas bersama, sesuai permintaan Dyra agar kedua teman sekelompoknya yang lain bisa ikut mereka memilih tempat yang lebih kondusif jika ingin melakukan hal apapun. Fokusnya yang tak menentu tadi pagi sudah berubah menjadi helaan panjang yang diiringi dengan pundaknya yang melorot lemas yang kerap kali terjadi.

“Pemerianya hablur, putih atau hampir putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, oleh cahaya lambat laun berubah menjadi gelap,” suara lembut Nadia melunta-lunta di telinga Dyra yang berada tepat di hadapanya di tengah keriuhan kelas. Gadis itu sedang mendikte Saras yang tengah siap dengan Laptop di hadapanya.

“Paracetamol C8H9NO2. Kelarutan, larut dalam air dan alkohol.” Sambungnya, di hadapanya sudah berdiri tegak, buku merah tua bertuliskan Farmakope Indonesia Edisi V berwarna kuning keemasan di sampul bagian depannya. Sesekali buku setebal batu bata itu ia tidurkan ketika tak kunjung menemukan apa yang ia cari. Konon katanya buku itu merupakan kitab sucinya mereka para anak Farmasi. Bau khas kertas lama dan betapa kecilnya ukuran dari setiap huruf dan juga angkanya terkadang mampu menyulap buku yang memiliki lima edisi dengan ketebalan yang serupa itu akan menjelma menjadi tempat linangan air liur atau alat penyangga leher mereka.

“Uji semprot buat Triterpenoid itu dragendrof bukan ya?” Imam sedang duduk bersimpuh di lantai kelas. Entah sedang bertanya kepada siapa, pasalnya matanya justru tengah sibuk mengamati selembar kertas kecil kusam karena ia bawa kesana kemari.

“Libermann Burchard, kalau Dragendrof itu buat alkaloid,” timpal Reno, yang hanya berjarak satu meter darinya. Tak kalah dengan Imam, pria itupun sama hanya mulutnya yang berucap namun matanya fokus menatap layar handphone, terkadang kaki panjangnya tak sengaja menepak paha keras Imam yang hanya berisi tulang belulang ketika karakter pocong dalam gamenya tak sengaja menabrak musuh atau terjatuh dari atas tebing.

“Cara buatnya?”

Reno diam sejenak, kepalanya ia dongakkan, entah berpikir atau apa. Namun itu terlihat sangat serius membuat Imam hingga mentapnya penuh harap, “lupa aku Mam," jawabnya santai dan datar.

“Kloroform, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat. Perbandingan 50:20:1.”Gumam Dyra dalam hati. Jemarinya tergerak, menuliskan kata demi kata yang ia utarakan dalam hatinya itu pada bagian kertas yang sebenarnya sudah terdapat goresan tinta tak jelasnya. Kepalanya masih ia tundukkan dengan mulut yang ia kunci rapat-rapat. Dyra pikir semua akan membaik setelah ia mulai bisa berbicara dengan satu atau dua orang lain, namun ternyata tak ada bedanya sama sekali, beberapa kali Dyra sempat mendesah kesal. Apa karena terlalu ramai? Atau memang sudah terlampau letih? Itulah yang ada di otaknya.

“Wei kalian ada yang tahu nggak?” tanya Imam lagi. Kali ini ia jelas bertanya pada Dyra, Nadia dan Saras. Karena pria itu sudah mendongakkan kepalnya, menatap kearah ketiga wanita yang terlihat serius dengan aktivitasnya masing-masing.

Imam berdecak kesal karena tak diperdulikan, sambil melambai-lambaikan kertas kusamnya di udara dia berteriak kecang, “Kacang-kacang.” Bukanya mau pelit dengan kawan sendiri, namun mood Dyra memang sedang berantakan saat ini. Jangankan meladeni Imam yang pasti akan panjang urusanya, disuruh jawab “Iya” saja Dyra sudah malas sekali.

“Wei Nadia, Saras. Malah nggak jawab lagi, telinganya pada ditinggal di kontrakan kali ya,” tak mendapat respon apapun dari Saras ataupun Nadia. Kini ganti merengek pada Dyra, “Dyr, jawab lah Dyr. Kamu nganggur loh, otakmu juga agak enceran dikit dari kita.”

“Apa sih Mam apa? Ini saja belum kelar. Kamu udah ganti topik lagi loh,” sambar Saras, kaca matanya sudah di tengah-tengah hidungnya karena melorot.

“Itu, cara buat larutan LB semprot gimana.”

“Nggak tahu aku,” jawab Saras ketus, Imam menciut seketika. Bibirnya sepontan terkatup rapat-rapat dan kemabali larut dengan kertas kumalnya.

☆☆☆☆

“Dyr, ini tinggal pembahasan mau dilanjut sekarang atau besok?” tanya Saras. Sudah tepat dua jam, ia bergelut dengan ruangan berukuran 6×4 meter ini, dengan puluhan manusia di dalamnya. Bahkan bisa dibilang cukup ramai jika diukur dengan waktu yang sudah semakin sore dan tidak ada kegiatan wajib saat ini atau jam yang akan datang. Dari yang tengah bernyanyi, mengobrol, bermain game, berjualan, berteriak tak tentu arah, menonton, mengerjakan tugas, tertidur hingga melamun sekalipun. Kegaduhan kelas ini sudah melebihi pasar di hari ahad.

Jika itu Dyra, ia yakin sudah menggulung dirinya di Apartemen. Mandi dengan air dingin, rebahan, main handphone, nonton TV. Mau apa lagi coba? Ada kegiatan tidak. Hanya bermain tak jelas saja? Bukankah itu membuang-buang waktu dan tenaga? Bagi Dyra semakin lama ia berada di kerumunan orang maka ia akan semakin gusar dan uring-uringan. Minimalnya, ia akan diam seribu bahasa, maksimalnya jika diibaratkan "Senggol bacok" atau mungkin pergi begitu saja. Ya meskipun Dyra akui ada sebagian orang yang menganggap berkumpul adalah hal yang biasa, berbagi cerita, bercanda gurau, atau sekedar berbual kesana kemari. Seperti yang ada di artikel kemarin, si ekstrovert.

“Nanti aku kerjain di rumah aja. Besok pagi aku kasih ke kamu," jawabnya.

“Aah, kasih aja lah ke Dyra itu. Dia jagonya pembahasan kan?” Bukan Imam namanya, jika tak menyambar dengan wajah cengirnya, berucap tanpa menyaringnya terlebih dahulu.

Dyra memang menyukai itu, tak masalah dengan hal apapun selagi ia masih bisa terbebas dari keramaian. Namun bukan karena otaknya yang terlalu encer atau jago seperti yang pria itu katakan. Hanya saja ketika ia menyanggupi hal tersulit maka urusan akan segera selesai dan segala macam yang memicu perdebatan akan musnah seketika.

“Itu mah mau mu,” bantah Saras dengan nada sedikit meninggi. Mata tajamnya menusuk Imam yang hanya mampu meringis tak berdosa.

Aku mah tak cover jilid wae. Aku mah mau cover jilid aja,” ujar Imam bangga.

Gaeweanmu mah gor cover jilid wae kok Mam. Bosen aku ngantian. Kerjaanmu mah Cuma cover jilid aja kok Mam.”

Sak karepku lah. Terserahku lah,” jawab Imam bangga.

Saras bersengut masam, “Yo. Sak karepmu Mam, sak senengmu, sak merdekane awakmu. Ya. Terserahmu, sesenangmu, semerdekanya dirimu.”

Imam hanya menarik sudut bibirnya, memamerkan deretan gigi kecil-kecilnya.

“Besok kukasih kekamu Mam,” sambar Dyra. Menunggu perdebatan mereka selesai seperti halnya mencari sebutir gula pasir dalam seember air. Mungkin memang, namun jika dibiarkan terlalu lama maka akan menghilang dan larut dengan perdebatan itu. Imam hanya mengangkat tangan kananya, membentuk tanda oke.

“Kek Dyra dong makanya Sar. GerCep, Gerak Cepet. Nggak kek kamu ngumpul sehari sebelumnya. Yang jilid juga butuh persiapan."

Entah apa kelanjutan setelahnya, Dyra hanya bergegas membereskan alat tulisnya dan bergegas pergi dari tempat itu.

“Aku kesimpulan ya Dyr,” ujar Reno ketika Dyra sudah mengenakan ranselnya dan akan beranjak pergi. Dyra tak menjawab, tak juga merespon dengan apapun. Sudah menjadi langganan pula ketika dirinya harus satu kelompok dengan pria itu.

To Be Continue...

Introvert Star☆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang