Saat ini kita sedang mendaki menuju, Bukit Campuhan Ubud.
Aku sangat ingin mengajaknya menikmati alam dan melatih sedikit tubuhnya. Karena dia selalu mengeluh akan aktivitas fisik, dia bilang tubuhnya sangat tidak atletis. Tentu saja tidak, dan jangan.
Mendaki bukit ini mungkin akan merubah sedikit pemikirannya. Terkadang menikmati alam saat pagi atau senja dapat dilakukan dari atas bukit. Tak hanya pantai, ketinggian alam pun memiliki pesonanya yang begitu menakjubkan.
"Huh.. masih lama kah?", aku hanya tertawa dan mengabaikannya. "Yaaaa... mengapa kamu menertawakanku. Apakah lucu melihatku kecapean. Huh...," ia mempoutkan bibir cherrynya itu.
"Ayo cepat, pagi-pagi itu kita harus banyak bergerak ??. Atau noona semalam belum cape?," melihat ekspresinya itu sangat lucu "hahaha, mukamu memerah noona. Ini benar-benar menyenangkan. Cobalah menarik nafasmu dalam-dalam noona, udara di sini sangat sejuk,"
"Aish, dari tadi aku sulit bernafas. Aku sudah kelelahan tau,"
Aku pun menggenggam satu tangan mungilnya. "Kata orang kalau mendaki sambil bergandengan tangan takkan terasa lelah,"
Entah, pagi ini sangat ajaib bagiku. Saat ini dia bagaikan platik transparan, aku bisa melihat semuanya. Wajah memerah hingga senyum yang terpatri meski lelah melanda.
"DUK... Aish, kenapa berhenti," aku tak menjawabnya, hanya menarik sebelah tangannya dan menunjukkan pemandangan di depanku. "Woahhhh," ia melepas genggaman tanganku, dan berlarian kecil. Melihatnya sepeti ini, bisakah aku menjaga senyum dan semangat itu. "Kook, kemari." Dia menarikku bergabung dalam kecerian yang jarang muncul ke dalam hidupnya.
Sejujurnya, sebelum aku mengajukan kontrak kerja ini. Cha Eun Woo mencurigaiku, apakah aku stalker. Karena, kalau hanya menulis aku pasti bisa. Tak perlu bantuan Ji Eun aku pun bisa menulis. Bahkan tanpa diketahuinya, aku sudah mulai menulis, saat dia tertidur. Di mana bagian terfavoritku adalah deskripsi bagaimana indahnya ciptaan tuhan ini saat tertidur.
*Flashback*
"Jadi?"
"Ya seperti yang anda dengar sajangnim. Saya pribadi yang menawarkan projek ini."
"Kamu tau, hal yang menjadi pertanyaanku, penulis Jungkook,"
"Harus Ji Eun. Hanya itu syaratnya, bukankah sangat menguntungkan," ia hanya menyetujui perkataanku. "Lantas di mana letak permasalahannya Eun Woo Sajangnim?"
"Kamu stalker?" aku hanya tertawa terbahak-bahak, "bukan, kalau kamu stalker, kamu tak akan memberikan kontrak secara remi. Identitasmu jelas, label menulismu jelas. Tapi kenapa harus Ji Eun. Kenapa tiba-tiba merubah genre menulismu. Ini hanya alasankan, yang kamu inginkan Ji Eun. Bukan sekedar menulis atau alasan klasikmu itu,"
"Wahhh... Seorang sajangnim memang harus pintar yaa.. Tepat sekali. Tapi tenang saja aku bukan orang jahat yang akan melukai Ji Eun. Mungkin hanya sedikit membuka luka lama,"