Tio mengacak rambutnya, akhirnya setelah seminggu didiamkan, Sara luluh. Bahkan saat ini istrinya itu mulai sangat terbuka, bukankah memang sewajarnya demikian? Mengingat mereka telah lama berbincang, sangat lama.
Di dalam kamar bercat putih itu, Tio telah siap sejak tadi. Dia duduk di atas ranjang, menunggu Sara. Sara sekalipun selalu menjaga penampilan, tidak pernah terlalu lama berdandan. Istrinya itu tadi mengurusi kemeja dan celana yang akan dikenakannya. Diperhatikan seksama Sara dengan gaun hitamnya, terlalu cantik. Padahal mereka hanya akan dinner di salah satu restoran.
"Cantik banget, mau ke mana sih?" Dia memuji. Sara menghampiri Tio yang telah berdiri dari posisinya. Wanita itu merapikan kerah pakaian Tio, tersenyum. Memang pintar. Sara tidak serta merta memusnahkan pakaian Tio yang lusuh, tetapi menggantinya perlahan dengan baju-baju bergaya outdoor. Sara juga tidak memaksa dia merubah penampilan menjadi lelaki formal berdasi.
"Kencan," lirih Sara.
"Apa masih dibutuhkan?"
"Jelas saja, pasangan yang menikah katanya bakal merasa hambar setelah beberapa tahun pernikahan. Perlu berkencan dan liburan." Sara berkata dengan nada mengejek.
"Aku, mana mungkin bosan sama kamu, Sayang."
"Tio, tidak perlu terlalu banyak berkata manis. Tunjukkan saja." Sara menepuk dada padat pria itu dengan kedua tangan.
"Oke. Kalau gitu nanti aku akan berkata pahit."
"Mulai kamu."
Wajah Sara yang cemberut membuat Tio geli, dengan cepat menggandeng tangan Sara dan menuju ke luar. Kali ini Sara yang memilih restorannya.
"Eh, Yang..."
Sara tertawa kecil, "Yang?"
"Kenapa sih? Kamu tuh kalau aku panggil sayang kayak geli-geli. Masalahnya di mana?"
Sara tertawa terus, membuat Tio bingung. Sara menoleh ke arah Tio. "Aku suka kok. Panggilan begitu."
"Nah, terus? Kamu aja nggak sadar, kadang ngomong sama aku kayak nggak ada mesra-mesranya. Huu..." Tio mengeluh.
"Tapi kalau kamu panggil aku dengan namaku, Sara. Aku paling suka."
Tio menoleh sebentar, aduh istrinya sangat cantik malam ini. Gaun Sara memperlihatkan pundaknya yang mulus, Tio berpikir. Jangan sampai ada lelaki hidung belang yang jelalatan nanti.
"Bedanya gimana? Semua juga manggil kamu, Sara. Aku belum menemukan panggilan kesayangan baru. Apa ya bagusnya?"
"Mengalir aja sih, kenapa juga harus dipikirin?"
"Sair? Sara istriku gitu?"
"Maksa banget. Jadi aku panggil kamu Tisu? Tio suamiku gitu?"
"Aduh kenapa yang aku jelek banget, udah ah nggak jadi."
"Tisu bagus. Putih, lembut dan dibutuhkan."
"No." Tio tertawa, "Eh, emang kenapa kamu malah lebih suka dipanggil nama sama aku?"
Sara tersenyum simpul, cara Tio menyebut namanya membuat Sara berdebar. Sara, seperti terasa dalam dan penuh cinta. Masa dia bilang begitu? Nanti Tio jadi besar kepala. Oh ternyata dia masih malu-malu sebagai istri.
"Terserah aja mau panggil apa, sesekali panggil nama."
"Oke sayangku, Sara."
Ada juga cara seperti itu? Memanggil sayang dengan tetap menyebut namanya.
Sara masih terkekeh hingga mereka sampai di parkiran restoran.
Tio menggandeng tangan istrinya, mereka duduk di meja yang telah Sara reservasi. Tio duduk, kemudian dia berdiri lagi. Tetapi Sara telah duduk di kursinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Keraguan (END)
Romantik"Aku akan menikah," kata Sara pada David. Wajahnya tersenyum tapi hatinya pilu. "Apa maksudnya itu, Sara?" David mencengkram pundak gadis itu. "Tidak salah dengar. Aku akan menikah, bulan depan," jawab Sara. "Tidak! Tidak akan kubiarkan!" Davi...