28. Waktu Menguji

44K 3.5K 177
                                    

Dua bulan berlalu,

Di pedalaman hutan Sumatera, delapan jam dari ibu kota provinsi. Tio duduk di teras rumah penduduk, tempat timnya menginap beberapa minggu terakhir. Sudah dua bulan Tio melarikan diri dari hidupnya, menjelajah pulau demi pulau, lintas negara dan kota juga kabupaten, kenyataan yang menghantamnya dengan kuat. Tio terduduk lesu, kondisinya bahkan lebih parah dari sebelum menikah dengan Sara. Tak terurus. Rambutnya juga memanjang.

"Kopi, Pak."

Suara lembut menyapanya. Suara salah satu tim wanita yang belakangan bergabung di perusahaan Tio. Beberapa anggota tim duduk di sekeliling Tio.

"Makasih." Tio meminum cairan bewarna hitam, masih terasa manis di tenggorokannya yang pahit.

Anggota timnya kerap bertanya kenapa Tio memutuskan untuk kembali ke lapangan mengecek kondisi tanah? Padahal setelah menikah, Tio berkata dia akan memantau dari kantor saja karena tidak mau meninggalkan istrinya. Tio hanya membalas dengan senyum tipis.

"Makasih, Sin. Kopi buatanmu enak, ditambah yang bikin manis." Seorang anggota tim memuji. Pujian itu dibalas dengan gelak tawa renyah.

Ada tiga orang staf wanita yang ikut ke lapangan. Belakangan, pekerjaan yang biasa didominasi kaum lelaki itu mulai digeluti oleh perempuan juga.

Tio pernah mendengar kalau Sintia, perempuan yang membuat kopi paling cantik dan beberapa staf pria kerap memujinya. Tapi, Tio bahkan tidak memperhatikan hal itu. Dia akan menyibukkan diri sebisa mungkin dengan pekerjaan, di saat bersantai beginilah, bayangan akan Sara terus menghantuinya. Membuatnya gila.

Tawa gembira bercengkrama tak dapat mengalihkan pikiran Tio dari rumah. Setelah meminum kopi hingga setengah gelas, Tio berkata akan duluan istirahat. Dia membaringkan tubuh di dipan yang berderit. Memejamkan mata tapi belakangan tak pernah terpejam.

Terdengar ketukan di pintu, Tio beringsut bangun. Dia membuka pintu kamarnya.

"Pak."

"Oh kamu Sin. Ada apa?"

"Ini baju bapak sudah saya setrika." Dia tersenyum pada Tio.

"Makasih, kamu harusnya nggak perlu melakukannya."

Sintia berguman. "Nggak apa saya senang."

Tio bermaksud mengambil pakaian itu, Sintia buru-buru melanjutkan. "Biar saya yang susun di lemari." Dia menerobos masuk. Padahal pakaian Tio hanya beberapa lembar.

"Makasih." Tio berkata lagi sambil berbisik.

"Wah, bapak lagi baca buku?" Sintia melihat buku yang tergeletak di nakas sebelah tempat tidurnya,"

Padahal Tio tidak pernah membacanya, "nggak juga."

"Saya pinjam ya, Pak."

"Baca aja."

Sintia berlalu keluar dari kamar Tio. Tio kembali membaringkan tubuhnya. Dia menghitung, kehamilan Sara sudah hampir lima bulan. Bagaimana keadaan Sara saat dia menghilang begitu saja?

"Janji kamu nggak akan melakukan itu, setidaknya kalau mau pergi katakan padaku, jangan menghilang."

"Mudah sekali kalau begitu, aku berjanji."

Sara berbisik di telinganya, "Terima kasih."

"Yang seperti itu sangat mudah." Tio balas tertawa.

Tio mengingat jelas percakapan mereka saat honeymoon, yang seperti itu sangat mudah tapi dia mengingkarinya. Apakah benar, tidak ada janji pada cinta? Saat perasaan hancur, manusia begitu mudah melupakan apa yang mereka katakan.

Tanpa Keraguan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang