32. Jejak Tertinggal

49.7K 4.1K 81
                                    

"Aku mau tidur sendirian," Sara berkata sambil membelakangi Tio. Tio terdiam, duduk di sisi ranjang.

"Aku tidur di lantai." Dia menjawab. Tio memandangi lagi punggung Sara, dengan posisi itu apa perut Sara tidak terjepit?

Tio mengambil bantal dan guling juga selimut cadangan. Dia menggelar di atas lantai. Dua bulan kemarin dia mengabaikan Sara, sekarang Sara bersikap seperti ini hatinya merasa sesak.

Dia tak menyangka, kepergiannya memang tolol. Sungguh tolol! Tapi waktu tidak bisa kembali, masa lalu tak dapat di ubah. Tio hanya harus berusaha agar hubungannya dan Sara kembali seperti dulu. Tio membalikkan tubuhnya, dia bertatapan dengan wajah Sara yang terpejam. Saat Sara tidur nanti dia akan naik dan membuat Sara tidur dalam pelukannya.

Tio bangun pagi seperti biasa, dia melepaskan pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh Sara, pelan, agar wanita itu tak terbangun. Tio pergi membuatkan susu hamil untuk Sara dan membuatkan sandwich. Dia membuat kopi untuk dirinya sendiri, pergi ke beranda belakang.

Ditatapnya bunga-bunga dari mama mertuanya tertanam indah di pekarangan belakang. Saat hamil Sara rutin menyiram tanaman. Rumah tangga mereka, bahagia. Itu tadinya.

"Apa yang kamu lakukan?" Suara Sara lembut menyapa telinganya, walau masih terkesan dingin.

Tio diam saja, tak mau bicara.

"Kenapa diam?" Wanita itu bertanya lagi.

Apa Sara mendadak emosi lagi, jadi dia ingin melampiaskannya?

"Kamu ingin aku bicara apa?" Tio menjawab, dia memang salah. Tetapi sebagai manusia biasa, sebagai pria yang tak sempurna. Kadang dia mengalami kelelahan juga. Seolah sekarang seluruh dunia menghujatnya.

"Nanti malam papa bilang mau kumpul keluarga lagi. Memastikan ini anakmu atau bukan." Sara berkata ketus. "Kalau ini bukan anakmu, kamu boleh membunuhku."

"Sa---"

Istrinya berbalik dan meninggalkan dia. Tio mengejarnya. Sara masuk ke kamar lagi dan membanting pintu. Tio menahannya.

Seketika tangis Sara pecah, dia berbaring di tempat tidur. Tio memeluknya.

"Sayang, maaf-maafkan aku. Aku tau kamu marah dan kecewa sekali. Aku nggak akan membela diriku."

Sara berkata di sela isaknya. "Kamu tau gimana rasaya? Di awal pernikahan kita, aku berusaha mencintaimu sebagai suami, berusaha memahami bahwa kamu adalah yg dipilihkan Tuhan untukku.
Aku merasa sedikit salah. Sekalipun David bajingan, mendadak aku merasa bahagia, juga nyaman di dekatmu."

Tio membelai rambut istrinya pelan.

"Saat aku tau bahwa kamu yang berkirim email, aku semakin yakin dengan perasaanku ini, meyakini kalau cintaku bukan cinta yg salah."

"Iya, aku mengerti." Suara nafas Tio bahkan terdengar ditahan, takut Sara berhenti berbicara, meluapkan isi hati dan emosinya. Padahal dia sedang hamil, Tio tau hormon Sara saat ini kacau.

"Dan ketika bayi ini hadir, aku merasa begitu bahagia, seperti aku melayang ke surga. Tapi kamu menghilang.
Apa kamu tau gimana perasaaanku? Seperti duniaku runtuh dalam sekejap."

"Sara perlakukan aku sesukamu, aku akan menerima, selagi aku tetap berada di sisimu."

"Aku berusaha untuk mengerti alasan kamu ninggalin aku, alasan yang membingungkan soal hasil test itu. Hanya saja ... berkali-kali aku pikirkan, aku jadi sesak sampai nggak bisa bernafas. Berpikir kenapa kamu tega pergi tanpa bilang apapun?"

"Aku salah."

"A-apa kamu pernah selingkuh, saat pergi?" Sara bertanya lirih. Lama sekali Tio memeluk Sara sampai tangis istrinya itu reda. Dia membalikkan tubuh Sara menghadapnya.

Tanpa Keraguan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang