Woojin mengusap pelan kepala Ji Hoon yang sedang berbaring ditempat tidur. Kini Woojin duduk dikursi yang ia letakkan tepat disamping tempat tidur Ji Hoon. Pandangannya tak lepas dari pria cantik itu sejak hampir 40 menit yang lalu ia mulai menumpahkan segala emosinya. Mata Ji Hoon kini sembab dan merah, ia menangis begitu lama dengan racauan segala keluh kesah yang ia pendam sendiri selama ini.
Woojin tak mengatakan apa - apa. Ia hanya diam lalu duduk dan mendengar segala hal yang sudah lama menjadi beban Ji Hoon sendirian. Untungnya kini ia sudah lebih tenang bahkan matanya seperti hampir tertutup lelah setelah menangis lama.
Banyak yang Ji Hoon ungkapkan, dan itu semakin membuat Woojin sadar bahwa hanya sedikit luka Ji Hoon yang dulu Woojin tau. Ia tak menyangka Ji Hoon mendapat perlakuan buruk sebanyak itu. Pantas saja Ji Hoon sering mengalami mimpi buruk dan menangis dimalam hari.
Bodohnya Woojin yang membiarkan semua itu hanya karna berpikir jika itu yang diinginkan Ji Hoon. Mestinya ia tetap mengajak Ji Hoon bicara meski Ji Hoon selalu menunjukkan bahwa ia baik - baik saja. Harusnya Woojin tak begitu percaya semua keceriaan palsu yang Ji Hoon perlihatkan selama ini.
Ji Hoon sakit, hatinya terluka parah. Mentalnya dirusak habis - habisan. Bahkan akhir - akhir ini fisiknya juga lelah karna kejahatan yang dilakukan secara diam - diam. Seperti kejadian ditoilet tadi misalnya.
Sungguh, jika Woojin tahu pelakunya, ia mampu mematahkan tangan orang yang menyakiti Ji Hoonnya itu. Tak peduli jika itu wanita sekalipun. Ia hanya ingin membalas rasa sakit yang ia buat pada Ji Hoon.
Seingat Woojin dulu tak separah ini. Saat masih sekolah menengah pertama, ada banyak anak yang menyukai Ji Hoon karna menurut mereka Ji Hoon itu lucu dan manis. Tapi kenapa semuanya berbanding terbalik saat ini? Dan sialnya Woojin baru tahu kejahatan sebanyak itu setelah mereka bahkan hampir lulus dari sekolah sial ini.
Sudah seberapa lama Ji Hoon memendam semua lukanya sendiri. Dan sebodoh apa Woojin tak menyadari semua itu? Apa dia pantas disebut seorang sahabat untuk Ji Hoon? Bahkan ia tak sempat melakukan apa apa untuk melindungi Ji Hoon. Ji Hoon terluka sendiri tanpa Woojin disana.
"Woojin-ah .."
"Hmm?" Kini Woojin menatap fokus sepasang mata yang bahkan tak melihat kearahnya. Woojin tahu, ada kekhawatiran lain yang belum Ji Hoon katakan padanya.
"Apa kau akan mengadukannya pada Yoon ssaem?"
"Tentu saja, mereka merundungmu. Aku akan mengatakan pada Yoon ssaem dan meminta pihak sekolah mencari pelakunya" ucap Woojin lembut namun tegas. Ia tak ingin menunda untuk melaporkan masalah ini. Pelakukanya harus segera ditemukan dan diberi hukuman.
"J-jangan .. b-bisakah kau tidak mengatakannya pada siapapun?"
"Kenapa? Aku harus mengatakannya Ji Hoon-ah, aku tidak mau mereka melakukan hal buruk padamu lagi, salah satu dari pelaku harus ditemukan dan dihukum. Jadi pelaku lain akan berpikir dua kali untuk mengganggumu lagi"
"T-tidak b-boleh" ucap Ji Hoon takut diambang tangis.
"Kenapa? Apa mereka mengancammu? Apa kau takut mereka menyakitimu lebih dari ini? Tenang saja, akan kupastikan aku selalu ber-"
"B-bukan Woojin-ah .." lirih Ji Hoon pelan.
"Lalu apa?"
"Ayahku .. ayahku akan marah padaku, hiks .. ia akan menganggap aku mempermalukan nama baiknya, hiks .. d-dia a-akan berpikir sama dengan orang lain, i-ia akan menganggapku gay dan akan menjauhkanmu dariku, hiks .. a-aku tidak mau Woojin-ah" tangis Ji Hoon kembali pecah.
Dan untuk kesekian kali hati Woojin mencelos rasanya. Ia tahu dan mengerti apa yang Ji Hoon katakan. Terlebih Woojin juga tahu bagaimana kerasnya tuan Park pada Ji Hoon. Ia tak segan akan menyakiti Ji Hoon jika Ji Hoon berbuat salah dan dianggap mempermalukan nama keluarga Park seperti itu.
