Park Jinyoung meremas rambut frustasi. Kemeja putih yang dikenakannya tampak berantakan, dasi yang biasa melingkar rapi di leher tergeletak begitu saja di meja. Semakin hari keadaan perusahaan semakin tak baik. Harga saham menurun dengan drastis. Ia sudah mencoba berbagai macam cara. Namun, tidak ada perkembangan baik yang didapat. Tidak ada satu pun investor yang mau membantu.Semua anggota keluarga bukannya membantu, malah semakin menekannya. Mereka menyalahkan apa yang terjadi pada Jinyoung. Terlebih Nayeon, istrinya dengan tidak tahu diri ikut memojokkan Jinyoung. Membuat kepala Jinyoung ingin pecah rasanya. Di saat-saat seperti ini, seharusnya Nayeon mendukungnya, menemaninya, menyemangatinya, bukan membuat Jinyoung semakin sakit kepala.
Sebisa mungkin Jinyoung berusaha untuk tidak meminta bantuan pada perusahaan milik Kwon Jiyong. Namun, nyatanya memang hanya itu jalan satu-satunya yang bisa menyelamatkan perusahaan. Mengesampingkan harga diri di hadapan sang mantan kekasih, Jinyoung tampak pasrah dan berharap, semoga saja mereka sudi membantu.
#####
Di sini Jinyoung sekarang, duduk di hadapan wanita berkharisma tinggi dengan meja besar yang menghalangi. Ia merasa kecil di hadapan wanita di depannya, bukan secara harfiah. Namun, ia memang merasa tak mampu menatap wajah sang mantan kekasih.
"Kau tentu tau bukan?" Jisoo menangkup kedua tangan di atas meja, menatap datar pria yang tampak putus asa di depannya. "Hanya sedikit presentase yang menjamin aku mendapatkan keuntungan, jika aku berinvestasi pada perusahaanmu."
"Ya," jawab Jinyoung lesu. Dalam sekejap mata, perusahaan besar yang ia bangga-banggakan sudah berada di ujung tanduk. Semuanya tak akan seperti ini, seandainya saja perusahaan besar dari Cina milik Wu Yifan tidak membatalkan pemesanan. Jinyoung sudah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk produk tersebut. Namun, kini? Hanya karena skandal dari model yang membintangi produk tersebut, dampaknya begitu besar pada pamor perusahaan.
Mau bagaimana lagi? Skandal perselingkuhan memang sudah bukan hal asing lagi. Namun, masih menjadi hal yang begitu sensitif di kalangan masyarakat. Semua hal yang berkaitan dengan perselingkuhan, akan dianggap negatif.
"Kecuali jika perusahaanmu menjadi milik kami," lanjut Jisoo.
Jinyoung tersentak, meskipun sudah menduga hal ini yang akan terjadi. Tetap saja ia masih cukup terkejut, Jisoo mengatakannya tanpa basa-basi. Perusahaan yang sudah dirintis keluarga dari awal, harus berpindah tangan. Rasanya Jinyoung merasa gagal menjadi pewaris. Ia malu jika hal ini terjadi. Namun, jika ia tidak melakukan ini, bagaimana nasib ribuan karyawan yang bekerja di perusahaannya?
"Bukankah perusahaan yang kau tangani bukan perusahaan induk satu-satunya?" Jisoo memainkan pulpen di tangan, dengan mata yang terus mengawasi pergerakan Jinyoung.
Melihat pria pertama yang membuatnya tahu apa itu patah hati, tengah duduk tak berdaya di hadapan. Ada rasa puas tersendiri dalam hati Jisoo. Inginnya ia bersorak sekeras mungkin di wajah bimbang Jinyoung. Akan tetapi, sekuat tenaga Jisoo tahan. Ia menikmati wajah gelisah Jinyoung dengan bola mata yang melirik ke segala arah.
Jinyoung terdiam, meskipun berapa lama ia berpikir pun, jawabannya akan tetap sama. Ia hanya mengulur waktu, tak siap menyerahkan berkas kepemilikan yang sudah ia bawa dari tadi. Ia memang tidak akan langsung jatuh miskin seketika, jika perusahaan yang di bawah kendalinya menjadi milik orang lain. Namun, perusaan ini adalah perusahaan induk. Perusahaan pertama yang didirikan oleh keluarga Park sebelum membuat banyak cabang. Tentu saja perusahaan ini begitu berharga.
Perusahaan induk yang lain saat ini menjadi milik sepupunya—Park Chanyeol.
"Ini bisnis, Tuan Park. Kami butuh keuntungan."
Jinyoung tentu tahu dunia bisnis memang sekejam itu. Ia bukan lagi orang baru dalam dunia bisnis. Ia hendak membuka suara sebelum Jisoo kembali berbicara.
"Aku memiliki penawaran yang menarik. Aku tahu berat bagimu melepaskan perusahaan itu. Jadi, bagaimana jika perusahaan itu tetap menjadi milik keluargamu? Namun, aku akan membeli sebagian besar sahamnya. Sampai waktu kau mampu memiliki kembali sahammu, dan aku rasa aku tak perlu meneruskannya, kau pasti paham." Kali ini Jisoo tak dapat menahan senyum kemenangan.
Bekerja di perusahaan sendiri. Namun, semua yang akan dilakukan harus lapor kepada perusahaan lain. Menjadi pemilik perusahaan, tapi menjadi pekerjaan di perusahaan tersebut. Dengan kata lain, menjadi pegawai di perusahaan sendiri. Bukankah itu cukup memalukan?
Jinyoung mengerjap kaget, ini memang akan memalukan, tapi setidaknya suatu hari nanti Jinyoung dapat kembali mendapatkan sahamnya saat keuangan kembali stabil, 'kan? Ia rasa ini lebih baik. Ia hanya harus bekerja lebih keras lagi.
"Aku setuju," ucapnya mantap. Setidaknya perusahaannya selamat.
#####
"Jisoo!"
Wanita itu menghentikan langkah saat hendak membuka pintu kemudi mobil. Ia baru saja keluar dari gedung perusahaan dengan wajah ceria. Senang rasanya membuat Park Jinyoung menjadi bawahan. Pria sombong yang membuatnya menangis karena patah hati untuk pertama kali, kini tunduk padanya.
Ia berbalik, didapatinya pria tinggi yang tengah berjalan dengan langkah tegap ke arahnya. Ia bersedakap dada, bersandar pada mobil dengan tampang malas terarah pada pria itu.
"Aku menagih janjimu." Tanpa basa-basi Chanyeol berkata saat berdiri di hadapan Jisoo.
Jisoo membuka kaca mata yang ia kenakan dengan gerakan anggun. Membuat Chanyeol terpaku menatapnya. Wanita di hadapannya benar-benar mempesona. Dari dulu sampai sekarang, Chanyeol tak dapat berhenti mengagumi wanita ini.
Jisoo melirik arloji di pergelangan tangan yang menunjukkan jam lima sore. "Kau menungguku dari tadi?"
"Aku menunggumu dari tiga tahun yang lalu," jawab Chanyeol yang sukses membuat Jisoo memutar bola mata.
Jaehyun, Yifan, dan Chanyeol, tiga pria yang entah bagaimana bisa tahu tentang kondisi pernikahan Jisoo. Karena itu pula, mereka tak berhenti mengejar Jisoo sekali pun Jisoo sudah menikah.
"Aku bertanya serius, Tuan—"
Dengan tanpa sopan santun Chanyeol meletakkan ibu jari di bibir mungil Jisoo. Mengusap permukaannya dengan lembut. Jisoo mendelik tak suka, dari semua pria yang mengejarnya, pria ini memang yang paling berani.
"Lancang!" desis Jisoo sambil menepis kasar tangan Chanyeol. Beruntunglah suasana parkiran tengah sepi saat ini.
Chanyeol hanya tersenyum melihat respon Jisoo. "Aku tidak suka kau memanggilku 'Tuan Park', seolah-olah kau memanggil sepupu bodohku."
Sepupu yang Chanyeol maksud adalah Jinyoung. Mengingat Jinyoung, ia tersenyum senang. Ia rasa cukup sampai di sini balasan untuk Jinyoung, pria itu sudah mendapatkan ganjaran yang setimpal. Jisoo tak cukup jahat untuk mengambil alih perusahaan milik keluarga Park. Begini saja sudah cukup.
Perusahaan milik Jinyoung dan Chanyeol berbeda, sesuai dengan warisan. Meskipun yang mendirikan adalah orang yang sama. Namun, sudah menjadi milik orang yang berbeda.
"Kau tersenyum saat aku membahas tentang sepupuku?" Chanyeol menatap Jisoo tak suka. Ia tentu tahu masa lalu Jisoo dan Jinyoung. Oleh karena itu, ia tak suka melihat senyum Jisoo saat ia membahas tentang Jinyoung. Memikirkan Jisoo tersenyum karena Jinyoung, mendadak dada Chanyeol merasa panas. Sekali pun Chanyeol tahu, Jisoo tak mungkin kembali pada Jinyoung.
"Bodoh!" Wajah Jisoo kembali datar. Ia melemparkan kunci mobil pada Chanyeol.
Berhubung suasana hati Jisoo dalam keadaan baik. Ia akan makan malam bersama Chanyeol malam ini. Tanpa diminta Chanyeol segera membuka pintu untuk Jisoo. Seolah-olah lupa ia baru saja sedikit marah tadi.
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis
FanfictionTerlalu sering merasakan sakit hati, membuat sisi antagonis seorang Kwon Jisoo mendominasi. Mereka, yang pernah menyakitinya akan mendapatkan balasan satu per satu. Dimulai dari Park Jinyoung, Kim Taehyung, Lee Taeyong, dan yang paling keparat Choi...