Pulang (2)

93 28 13
                                    

"Ngg ...."

"Kenapa?"

"Kupingku berdenging. Menurutmu ada yang membicarakanku?"

Yukiteru berpikir. "Menurutku kau punya infeksi kuping."

"Sialan."

.

.

.

Kebetulan suka datang dengan lucu. Malam sehabis karaoke, Seki bertemu Yukiteru di perjalanan menuju stasiun. Pemuda itu ada di antara kerumunan pejalan kaki yang hendak menyeberang. Kemeja putihnya mencolok dengan cara yang aneh di mata Seki. Namun, tidak dipikirkan terlalu serius.

Setelah Seki menghampiri, mereka berjalan sama-sama. Yukiteru bilang dia tidak perlu naik kereta. Tetapi berhubung sedang mau jalan-jalan, jadi dia menemani Seki saja.

Seki meledeknya karena hal ini. Lalu bertanya, apa Yukiteru juga sering pakai alasan ini buat pendekatan dengan cewek.

Yukiteru menanggapi santai. Katanya, "Dari lahir aku memang sudah jadi gentleman. Jangan iri."

Seki mau muntah.

"Kuliahmu lama juga." Yukiteru memutar topik, melirik ke televisi pada etalase toko elektronik yang mereka lewati. Jam di sudut kiri layar menunjukkan sudah lewat waktu makan malam.

"Oh, aku habis main sama temanku."

"Ke mana?"

Cengiran yang dipasang Seki kelewatan lebar, sampai seperti akan membelah wajah. "Karaoke!"

OOHH!

Yukiteru tertawa. Pantas saja Seki bangga. Seumur hidup, dia mengaku belum pernah pergi karaoke.

"Selamat! Akhirnya bisa merasakan karaoke!"

"Jangan ngeledek!"

Hardikan Seki tidak lebih menakutkan dari intimidasi anak kucing. Jadi Yukiteru dengan mudah mengabaikan dalam satu gedikan.

"Bersenang-senang?"

"Lumayan." Seki mengingat bagaimana Kazu menyanyi, lalu tertawa lagi. "Salah satu temanku tidak bisa nyanyi, tapi ngotot menyelesaikan lagu."

"Kadang-kadang orang menyanyi cuma buat meluapkan emosi atau cuma karena ingin."

"Temanku itu ternyata anggota band."

Nah. Kali ini Yukiteru menarik garis bibirnya ke samping. Belum lama dia memberi saran untuk menjalani hidup mulai dari passion-nya. Sekarang Seki sudah bergaul dengan anggota band. Hebat juga loncatannya.

"Lingkaran pertemananmu keren juga."

"Aku juga baru tahu tadi."

"Kau mau jadi seperti mereka, jadi bagian band?"

Itu cuma pertanyaan tanpa maksud apa pun. Yukiteru melemparkan sebatas untuk memancing obrolan. Namun, Seki menganggap pertanyaannya terlalu abstrak. Sampai dia mendecakkan lidah. 

"Nggak," jawabnya. "Jadi anggota band memang keren. Sayangnya, aku belum kepikiran."

Yukiteru tidak berusaha menyembunyikan kebingungan. Dia bukan tipikal orang yang banyak pertimbangan. Makanya kurang bisa satu pikiran dengan Seki.

"Sayang. Gabung dalam band itu awal yang bagus—bukan berarti memilih solo itu jelek, sih."

Sebetulnya, Seki mau bilang kalau saat ini dia masih belum kepikiran mau melakukan apa. Punya teman anggota band lalu pergi karaoke bersama tidak serta merta membuatnya langsung ingin menjadi seperti mereka.

Seki belum menemukan apa pun. Untuk sekarang, bisa menyanyi saja cukup.

Namun Seki menahan mulutnya bicara lebih banyak. Lebih suka mengalihkan topik dengan bertanya;

"Kau punya band, Yukiteru?"

Yang ditanya tidak segera menjawab. Dia menatap Seki agak lama, lalu mendengus geli.

A Call to JupiterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang