Vokalnya busuk.
Artikulasinya busuk.
Power-nya busuk.
"Nash, kau sudah delapan kali bilang 'busuk'."
"Memang busuk."
Kazu melemparkan tangan ke udara, pasrah.
Bukan rahasia, namun lidah Nash memang sebengis silet. Tidak ada filter. Kejujuran brutal. Orang berhati lemah bakal mental hanya dalam satu konversasi. Namun, yah, memang taring paling tajam adalah komentar. Mulutmu, harimaumu.
Untungnya pemuda yang barusan diaudisi, yang jadi sasaran cerca Nash, sudah pulang dari tadi. Di studio juga cuma tinggal mereka. Kazu tidak perlu khawatir ada adu tinju.
Biar serampangan begini, Kazu cinta damai. Peace!
"Menurutku dia nggak terlalu buruk."
Kazu menyandar di sofa. Benaknya mengingat-ingat pemuda barusan yang datang. Sosok yang kepercayaan dirinya menimbulkan espektasi. Namun waktu disuruh menyanyi, Kazu bisa menangkap beberapa nada sumbang. Muncul di awal, lalu beberapa detik lagi setelahnya, kemudian beberapa kali lagi.
Kalau di grup ini center-nya adalah Kazu, mungkin masih ada kesempatan kedua. Tetapi, semenjak Yucchan tidak bersama mereka, semua pertimbangan dalam kelompok mereka sudah dipercayakan ke Nash. Dan Nash memang dikenal paling ketat soal penilaian. Kejam, bahkan.
Kazu merasa kasihan pada orang-orang yang sudah telak ditolak Nash.
Nash duduk pada kursi lipat di ujung ruangan. Memeluk gitar, memetik-metik senar karena begitulah kerjanya. Dia akan mencari, lalu merantai nada dalam kertas not balok. Biar galak, pemuda berdarah Amerika itu berbakat dengan tangga nada.
Beda dengan Nash, Kazu tidak begitu pintar dalam cipta lagu. Tetapi, kupingnya mengenal baik harmonisasi. Maka saat Nash berjuang dengan aransemen, Kazu lebih suka menyingkir ke sofa sambil meluruskan kaki. Lembaran kertas not balok tertimpa badan Kazu. Sengaja tidak dibetulkan. Nash bilang tidak terpakai.
"Kalau buat anak SMP, nyanyi begitu masih dimaklumi."
Alis kiri Kazu berkedut. Untuk ukuran anggota band yang belum punya apa-apa, menurut Kazu, Nash punya standar terlalu tinggi. Kalau ada yang bisa memenuhi ekspektasi Nash, mungkin cuma prodigy.
"Selama masih belum debut, kemampuannya bisa dipoles lagi."
"Aku nggak sudi punya vokalis yang dari awal nggak impresif."
Tidak salah. Sebagai sesama anggota band, Kazu mengerti vokalis adalah segalanya tentang impresi. Merekalah wajah dalam pertunjukan.
Hanya saja, Kazu juga penasaran akan satu hal.
"Memangnya vokalis ideal menurutmu gimana?"
Sejujurnya, waktu pertanyaan terlontar, Kazu mengharapkan delikan tajam. Jadi dia terkejut waktu Nash, yang biasanya enggan menjelaskan apa yang menjadi isi kepalanya, langsung menjabarkan kriteria vokalis ideal versinya.
Dan itu meliputi:
Kharismatik.
Vokalnya nggak sempurna, bukan masalah.
Yang penting, suaranya meluapkan sebanyak mungkin ekspresi di dalam lagu.
Energi.
Panggung tanpa energi di dalamnya sama dengan kuburan. Tidak berarti.
Tapi energi yang berantakan juga tidak bagus.
Mereka butuh yang dapat menyeimbangkan semuanya—tapi masih bisa bersinar.
Bersinar. Terang.
Kata itu menarik atensi Kazu.
"Tipe idealmu kedengaran kayak Yucchan."
Nash tidak menjawab. Punggungnya pun tidak bergerak.
Tapi petikan gitarnya sempat berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Call to Jupiter
Ficción GeneralPulih pasca operasi, Hagiwara Seki kembali ke universitas. Dengan jantung baru, ia mengekspektasi hidup yang luar biasa. Mengejar ketertinggalan perkuliahan. Pergi karaoke. Bersenang-senang. Namun setelah menghabiskan satu malam di ruang karaoke ber...