Di tempatnya duduk, jidat Seki berkerutan akibat berpikir keras. Ini kali pertamanya memilih dalam hidup. Ternyata berat juga.
"Aku bingung." Setelah berpikir lama, dia menyerah. "Yang aku tahu, selama ini aku cuma mau nyanyi."
Tidak ada tambahan apa-apa lagi. Buat Seki, menyanyi saja sudah cukup. Sesederhana itu. Belum pernah dia berpikir lebih terlalu panjang.
Sementara itu, Yukiteru mengangguk. Paham. Berarti masalahnya bukan Seki tidak tertarik bergabung di band.
"Mereka band bagus dan kalau membayangkan panggungnya, aku grogi juga."
Seki mengusap belakang leher. Tahu jika alasannya kedengaran lucu.
Yukiteru mendengus. "Kalau grogi bisa membuatmu ke luar negeri, kau pasti sudah selesai keliling dunia."
"Kenapa kau hobi menekankan sesuatu yang nggak perlu?"
"Aku cuma berusaha memasukkan sedikit nalar ke kepalamu."
"Sialan." Tapi ada benarnya juga. Kalau kebanyakan bimbang, Seki tidak pernah ke mana pun. "Kalau kau dulu bagaimana?"
Yukiteru mengangkat alis. "Apanya?"
"Kau pernah bilang, kalau kau main band juga."
Oh. Benar. Tempo hari mereka ketemu terus ngobrol sambil jalan. Yukiteru bilang kalau dia pernah jadi bagian band dan Seki menatapnya skeptis. Sepertinya kesusahan buat percaya.
"Sekarang sudah percaya, nih?"
Yukiteru bersidekap, mendengus agak sinis. Mukanya sengaja dibuat jelek. Meledek Seki. Selain berpikiran sederhana, bakat Yukiteru adalah menjadi menyebalkan. Sehingga Seki mendecakkan lidah.
"Aku serius. Aku mau tahu."
"Soal apa?"
"Dulu, bagaimana awalnya kau memutuskan jadi bagian band?"
"..."
"...?"
Terlalu jelas.
Perubahan ekspresi Yukiteru barusan, terlalu jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Call to Jupiter
Fiksi UmumPulih pasca operasi, Hagiwara Seki kembali ke universitas. Dengan jantung baru, ia mengekspektasi hidup yang luar biasa. Mengejar ketertinggalan perkuliahan. Pergi karaoke. Bersenang-senang. Namun setelah menghabiskan satu malam di ruang karaoke ber...