Kalau ditanya punya band atau tidak, Yukiteru jadi ingat masa yang sudah lama.
Di titik itu, dia masih remaja dengan gakuran. Masih jalan berlima dengan kawan seumuran.
Ketika itu, dia ingat mereka sudah berani memasang mimpi setinggi langit. Angkuh benar, memang. Tetapi Yukiteru tidak pernah merasa menyesal.
Bahkan waktu dia memutuskan pergi; meninggalkan kelompok yang tadinya lima, hingga menjadi empat, dia juga tidak menyesal.
(Di kepalanya, berputar ingatan lama.
Ada malam musim gugur dan pintu studio yang menjeblak terbuka. Kemudian, Yukiteru keluar dengan sampai ketemu lagi yang ringan.
Lambaian tangannya tidak berbalas. Padahal seseorang jelas menatap kepergiannya dari dalam.
Yukiteru tidak kaget. Dia baru meremukkan harapan orang itu dan tidak menyesalinya.)
"Ya. Aku main gitar, juga pernah jadi vokalis."
Yukiteru menoleh pada Seki, memamerkan cengiran.
"Keren, kan?"
Mereka melewati halte dan masuk ke jalan yang lebih banyak tokonya. Di depan, ada toko alat musik. Yukiteru ingat pernah menemani salah satu teman membeli gitar pertamanya di sana.
"Masa? Vokalis?"
Keraguan di suara Seki membuat Yukiteru pasang ekspresi pura-pura tersinggung.
"Memang nggak kelihatan dari penampilanku?"
Seki menatap Yukiteru dari atas ke bawah. Setelan putih. Kemeja yang kerahnya licin. Rambut nyaris kelabu yang seperti disisir hanya menggunakan jari.
"Kau tidak ada keren-kerennya."
Alih-alih sakit hati, jawaban yang keluar dari Seki justru memicu tawa. Yah, apa boleh buat. Memang saat ini Yukiteru tidak berada dalam kondisi terbaiknya. Ada kontras antara dulu dan sekarang.
"Kalau sekarang mungkin tidak kelihatan." Yang mengembang di muka Yukiteru itu senyum percaya diri. "Tapi, aku lumayan keren kalau lagi nyanyi, tahu."
Meski dibilang seperti itu, Seki justru makin tidak yakin. Dia terus-terusan membayangkan Yukiteru; yang tidak tahu pilihan baju kecuali kemeja putih; yang matanya minus lima; yang selama ini mengobrol dengannya di rumah sakit tentang apa saja; berada di atas panggung lalu menyanyi satu lagu dari chart musim ini.
Dia langsung mengibaskan tangan kirinya.
"Sudah. Hentikan. Sama sekali nggak kebayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Call to Jupiter
Narrativa generalePulih pasca operasi, Hagiwara Seki kembali ke universitas. Dengan jantung baru, ia mengekspektasi hidup yang luar biasa. Mengejar ketertinggalan perkuliahan. Pergi karaoke. Bersenang-senang. Namun setelah menghabiskan satu malam di ruang karaoke ber...