Di tahun-tahun yang sudah lewat, Tanaka Yukiteru pernah menjadi jantung bagi kelompok mereka. Bukan cuma karena bagus mengisi posisi vokalis, tapi karena hal lain juga:
Yukiteru berhasil mengumpulkan mereka sampai jadi berlima.
Pertama, dia mengajarkan Kohei kalau selain kepala musuh bebuyutan, masih ada drum yang legal dipukul.
Dua, dia menarik Kazu yang tidak pernah menyeriusi bidang tertentu dan membuatnya bertahan sampai sekarang.
Tiga, dia menuntun Shuu yang aslinya pemalu.
Lalu, dia menjinakkan Nash yang arogan setengah mati, sampai mau memegang gitar, menuliskan lagu, lirik, bahkan ikut menyanyikan bagian verse bersamanya.
Yukiteru pula yang bertanggung jawab akan nama band yang mereka gunakan. Padahal nama itu usulan Kazu. Dan semua orang juga tahu, naming sense Kazu sehancur suaranya.
Ingat benar Kohei kapan pertama nama itu diusulkan. Suatu sore, di ruang kelas yang sudah kosong. Mereka masih berseragam SMP. Masih polos dan lurus.
"MANIFESTO!"
Waktu itu, Kazu matanya tercemar guyuran senja. Meski begitu, semua orang bisa melihat bintang-bintang berkerlip di matanya.
"Namanya keren, kan?"
"Nggak mau."
"Norak. Kayak kamu."
Kohei dan Nash disambit penggaris satu-satu.
Kazu tidak terima. Beraninya dua makhluk terkutuk ini meremehkan nama yang sudah dia pikirkan susah payah.
"Sembarangan! Namanya keren! Ada kesan Italia begitu, tahu!"
"Italia apaan!"
"Memangnya kumpulan mafioso!"
"Benar itu, Ferguso!"
CIAT!
Entah sejak kapan, ketiganya sudah tawuran.
Kazu pakai penggaris dua—yang satu boleh pinjam dari Shuu. Nash mengambil sapu. Karena Kohei kehabisan senjata, dia pakai sepatu.
Berisik sekali. Bocah SMP memang penuh gelora.
Yang berinisiatif menenangkan situasi cuma Shuu. Padahal dia yang paling kecil. Tapi sudah paham bahaya laten perang saudara.
Yukiteru bersila di meja tengah. Ketawa saja. Suka melihat keributan di depan mata. Anak kurang ajar.
"Yukiteru-san! Bantuuu!"
Shuu berteriak sambil menahan badan Kazu dari belakang. Betul-betul minta tolong. Dia tidak mau perdamaian dunia rusak cuma karena hal sepele.
Waktu itu badannya Shuu masih pendek. Belum dihantam hormon pubertas yang ganas. Jadi dia kewalahan menahan Kazu.
Karena kasihan, Yukiteru akhirnya melompat turun. Dengan santainya dia berjalan di tengah persengketaan, kemudian menahan Kohei dan Nash dengan tamparan di jidat.
PLAK! PLAK!
"Aduh!"
"SAKIT, YU!"
Rintihan nelangsa tidak membuat Yukiteru kasihan.
"Kalian jangan kekanakan begitu," tegur Yukiteru. Padahal jakun juga belum tumbuh. Anehnya tidak ada yang protes. Paling cuma Nash yang menggerutu.
"Menurutku nama usulan Kazu bagus, kok." Yukiteru membiarkan Kazu berjingkrak girang sebelum meneruskan, "Yah, meski aku agak setuju sama Nash, sih. Norak."
"Yucchan sama aja!"
Kazu menangis. Habis diterbangkan tinggi, lalu dihempas ke bumi. Tega sekali.
"Eh! Tapi bagian bagusnya betulan, kok."
Suara Yukiteru tidak terdengar seperti sedang menjaga supaya Kazu tidak tersinggung lebih jauh. Dia blak-blakan. Tidak ada rahasia.
"Kau tahu, karena sudah diberitahu duluan sejak pagi, jadi aku sudah sempat cari tahu artinya."
Itulah alasannya Yukiteru tidak bergabung bersama mereka untuk makan siang tadi. Anak itu pergi perpustakaan. Berkenala ke sudut terdalam rak buat menemukan kamus definisi bahasa asing. Sesuatu yang tidak wajar, mengingat Yukiteru cuma suka baca komik mingguan.
"Manifesto. Pernyataan. Deklarasi. Kedengarannya seperti laki-laki sekali, menyampaikan semua hal dengan lantang."
Yukiteru tertawa, tapi bukan dalam artian mengejek. Ada antusiasme yang menggelitik. Dia dasarnya memang menyukai sesuatu yang gamblang. Mungkin karena pola pikir Yukiteru juga sederhana.
Nash sepertinya menyukai sisi Yukiteru yang itu—yang intuitif dan tidak pernah ragu-ragu pada sesuatu. Karena dia menatap Yukiteru dengan cara yang susah didefinisi otak anak SMP.
"Menurut kalian gimana?"
"Aku setuju saja, Yukiteru-san."
Shuu anak baik. Apa yang sekiranya baik, dia setuju. Yukiteru terpukau. Bnenar-benar anak berbakti.
"Kalau Nash?"
Tidak ada jawaban.
"Nash! Hoi!"
"Eh? Hah?"
"Jangan bengong terus!"
"ADUH! SAKIT, YU!"
Karena kesal, Nash dipukul lagi. Kali ini di kepala. Untung kepala Nash sekeras batu. Sudah dipukul berulang kali, belum pernah bocor sekali pun.
Heran. Yukiteru doyan sekali memukuli Nash.
"Menurutmu gimana, tentang nama usulan Kazu?"
Norak. Pokoknya norak. Mau dipukul berapa kali pun, nama itu tetap norak. Namun Yukiteru kelihatannya suka dengan nama itu. Lihat bagaimana dia menarik cengiran.
(Kalau Nash kekeuh bilang tidak, apa dia bisa menemukan nama yang lebih bagus—apa Yu bakal senyum selebar itu?)
Hmph.
"Ya kalau kau setuju, apa boleh buat."
Nash ekspresinya digalak-galaki. Pakai lipat tangan biar keren. Imej cowok sangar sedang tren.
"Aku ikut Yu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Call to Jupiter
Fiksi UmumPulih pasca operasi, Hagiwara Seki kembali ke universitas. Dengan jantung baru, ia mengekspektasi hidup yang luar biasa. Mengejar ketertinggalan perkuliahan. Pergi karaoke. Bersenang-senang. Namun setelah menghabiskan satu malam di ruang karaoke ber...