"Selain kembali kuliah, kau sudah putuskan mau apa lagi?"
Seki menoleh, menemukan Yukiteru duduk di kiri. Kemejanya bersih. Badannya wangi. Dia tidak langsung menjawab.
Yukiteru dan Seki, mereka semacam teman. Kenal dari rumah sakit, tapi belum terlalu lama. Waktu itu Yukiteru memang sedang rutin datang. Katanya sedang membesuk kenalan. Sementara Seki adalah pasien dalam masa penyembuhan yang kadang keluar kamar akibat kebosanan. Kebetulan.
Percakapan pertama mereka terjadi di ruang tunggu, waktu siaran televisi menampilkan kabar terkini. Dilatari dokter residen yang bolak-balik, juga seliweran keluarga pasien lain.
Tidak ada topik khusus yang mereka bahas saat itu. Cuma tentang kenapa ada di sana, tentang kejadian-kejadian di rumah sakit, juga hal-hal trivia yang tidak terlalu khusus. Tetapi karena ternyata sama-sama suka musik, mereka jadi lebih cepat akrab dari dugaan.
Seki senang dapat teman pembunuh bosan.
Yukiteru senang tidak perlu bengong di lobi sendirian.
Simbiosis mutualisme.
Sayangnya, tidak seberapa lama kemudian, Seki dibolehkan pulang. Dan meskipun Seki masih harus sering kontrol ke rumah sakit, dia tidak yakin bakal masih bisa sering ngobrol dengan pemuda berkacamata itu. Apalagi, Yukiteru menolak memberi kontaknya pada Seki.
"Kok gitu?!"
"Aku cuma bertukar kontak sama cewek manis."
"Dasar bangsat."
Karena menemui jalan buntu, mereka pun sepakat memindahkan titik temu. Dari rumah sakit ke lokasi yang lebih umum.
Taman Miyashita dipilih karena di sekitar sanalah Yukiteru kerja paruh waktu. Saat ditanya kerja apa, Yukiteru tidak mau cerita. Yang jelas, katanya,Yukiteru bisa melihat taman itu dari tempat kerjanya. Jadi kalau Seki ada, dia bisa langsung keluar.
Tentu saja Seki menghakimi Yukiteru dengan tatapan skeptis. Matanya Yukiteru itu minus lima. Mana bisa dipercaya.
Namun yang bersangkutan malah cengengesan—menolak ubah opsi pertemuan.
Untungnya, Yukiteru menepati janji. Terbukti, dia benar-benar datang dan menepuk pundaknya—meski Seki terlalu sibuk mengamati pejalan untuk sadar dari arah mana Yukiteru datang tadi.
"Aku belum memutuskan." Setelah menjeda beberapa saat, Seki menjawab. Dia memutar kaleng teh oolong yang sudah kosong.
"Padahal sudah sembuh, tapi masih takut juga ambil pilihan."
"Bukan takut," Seki mengoreksi, "tapi karena terlalu banyak yang mau kulakukan."
Sekarang ini, Seki ibarat napi yang baru lepas. Dipenjara sekian lama, kemudian dibebaskan. Di hadapannya tiba-tiba ada laut, pantai, lelehan gula, kembang api, dan Seki tidak tahu harus mengambil yang mana. Sebuah dilema biasa, namun nyata.
Namun Yukiteru adalah pria sederhana—yang melihat sesuatu dengan sederhana pula. Jadi, dia tertawa.
"Mulai dengan hobimu. Mungkin nonton konser atau gabung dalam band?" Dia menatap Seki, menopang dagu.
"Katanya passion-mu menyanyi."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Call to Jupiter
Ficción GeneralPulih pasca operasi, Hagiwara Seki kembali ke universitas. Dengan jantung baru, ia mengekspektasi hidup yang luar biasa. Mengejar ketertinggalan perkuliahan. Pergi karaoke. Bersenang-senang. Namun setelah menghabiskan satu malam di ruang karaoke ber...