Ide Impulsif

92 28 0
                                    

"'Kapan-kapan lagi'?"

Akiyama Shuu melipat tangan. Tatapannya pada Kazu jelas skeptis. Namun Kazu tidak menanggapi.

Pemuda berkaos kusam itu masih melambai sampai sosok Seki menghilang di antara pejalan kaki.

"Suara Secchan bagus. Cocok buat jadi teman karaoke."

"Teman karaoke atau mau kau rekomendasikan ke Nash?"

Kazu terbahak. Shuu membacanya lagi.

"Heh. Sekali-kali aku juga mau punya rahasia, tahu!"

Dia menonjok lengan atas Shuu. Tidak habis pikr, bagaimana anak itu bisa begitu jeli. Padahal Kazu yakin, dia pintar main drama. Tetapi toh, dia tidak mengelak. Sebab setelahnya, Kazu meneruskan;

"Seperti yang kubilang tadi. Suara Secchan bagus. Sayang kalau dibiarkan."

Shuu merespon dengan dengusan. Memang tidak bisa dibantah. Seki punya suara yang bagus. Tidak sampai level dewa, tapi suaranya bikin kuping betah mendengarkan lama-lama. Seki juga tahu caranya menyanyi dengan segenap jiwa.

Selama ini Shuu menganggap Seki sebagai kakak angkatan yang serius mengulang semester—saking seriusnya, kerap Shuu dapati jidatnya berkerut-kerut. Tetapi waktu menyanyi, Shuu hampir mengira Seki tidak punya beban hidup. Kalau pakai analogi yang sedikit puitis, Shuu seperti melihat merpati baru dilepas lagi.

Tentu saja Shuu pernah melihat orang lain bernyanyi dengan cara yang mirip. Tapi itu sudah lama sekali.

"Ini agak tidak adil. Tapi, aku pikir cara menyanyi Seki-san mengingatkanku dengan—"

"Yucchan?" Kazu memotong, tersenyum dengan emosi yang sulit didefinisi. "Ya. Aku juga mikir hal yang sama."

Pemuda bertindik itu mengusuk belakang kepalanya. Tawanya terdengar kering.

Topik soal si vokalis lama sebetulnya tabu bagi mereka. Seperti ada kesepakatan bersama untuk seminim mungkin menyebut dia.

Selama ini Kazu cuma menyebut vokalis mereka untuk memantik Nash. Selebihnya, hampir tidak pernah. Shuu paham kenapa Kazu merasa tidak nyaman.

"Aneh, ya. Padahal aku cuma iseng ajak dia karaoke. Ujungnya dia malah mengingatkan sama Yucchan."

"Kau paham, tapi  malah kepikiran buat rekomendasi Seki-san ke Nash?"

"Iya, iya. Aku tahu kok, ideku sinting. Nggak usah diperjelas."

Keduanya melewati penyeberangan ketika lampu berkedip merah dan kendaraan berhenti. Shinjuku di hari Rabu padat sekali.

"Tapi justru karena agak mirip Yucchan, aku pikir bakal bagus kalau Nash tahu soal Seki."

Mendengar jawaban Kazu, otomatis Shuu mengingat sederetan orang yang keluar masuk studio beberapa bulan terakhir, mengajukan diri mengisi vokalis yang sedang kosong. Sebagian ditolak karena tidak punya visi yang sejalan. Sebagian lainnya karena kemampuan mereka tidak dianggap cukup.

Kening Shuu berkerut, kurang setuju.

"Nash orang yang perfeksionis," kata Shuu. "Selama Seki tidak dianggap cukup, tidak ada jaminan Nash mau terima."

"Tentu, tapi selama belum dicoba kan nggak akan tahu." Kazu menoleh pada Shuu. Matanya berkilat oleh konspirasi. "Lagipula tipe idealnya Nash itu yang seperti Yucchan!"

"Kau ini bassist atau makcomblang?"

"Hei! Aku ini multitalenta. Bisa jadi apa saja kalau aku mau—kecuali jadi pacarmu. Kau masih punya pacar."

Shuu memutar bola mata, telak mengabaikan kalimat Kazu.

"Seki-san orang baik."

"Kelihatannya begitu."

"Kalau Nash sampai bilang dia lebih busuk dari sampah, aku pasti merasa bersalah."

A Call to JupiterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang