Chapter 16 || Sama-Sama Gengsi!

46 12 19
                                    

•~~~•

.

.

.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

Alhamdulillaah ... atas izin Allah, Pasha bisa melanjutkan cerita ini.

“Ini Tentang Aku, Fathia”

Semoga kalian suka, ya, sama ceritanya. Semoga ada hikmah yang bisa kita ambil dalam cerita ini. Semoga bermanfaat, ya! Aamiin. Btw, cerita ini diikutsertakan dalam event Nulis Novel Bebas (NuNoBe) Noia aiepublisher Pasha minta do’a sekaligus dukungannya, ya, dari kalian.

Jangan lupa tetap jadikan Al-Qur’an sebagai bacaan utama dan favorit kita.

Happy Reading!!!

Syukran wa jazaakumullaahu khairan katsiiran, orang baik. 🤍

Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

.

.

.

࿐⃨⃔⃕✰••••✯✯••••࿐⃨⃔⃕✰

“Sebesar apapun kuatnya keinginan, tetap saja tak akan mampu melampaui dinding takdir.”

࿐⃨⃔⃕✰••••✯✯••••࿐⃨⃔⃕✰

   Thia memejamkan matanya, merasakan kesejukan yang menerpa. Shubuh kali ini terasa begitu menenangkan. Udara Shubuh di Pesantren yang sejuk, lantunan ayat suci Al-Qur’an yang merdu, ditambah dzikir serta shalawat yang terdengar begitu syahdu. Thia betah dengan suasana saat ini. Rasanya, ia tak ingin suasana seperti ini berlalu dengan begitu cepat. Namun, ada satu hal yang harus ia ingat. Setelah ini, ia harus menyelesaikan hukuman peringatannya kembali. Menyapu bersih setiap sudut halaman Pesantren.

   “Yuk, Thia!” ajak Aisyah yang sudah selesai melipat rapi mukenanya. Begitu pun dengan Dara dan Arum, mereka menghampiri keduanya. Pasalnya, mereka harus ke aula Pesantren untuk melaksanakan bandongan pagi ini.

   “Kalian duluan aja, deh. Saya mau nyapu halaman dulu.”

   “Gak nanti aja, abis selesai ngaji kitab? Hari ini Gus Rafdhan loh yang ngajar!” goda Dara.

   Thia mengerucutkan bibirnya. “Terus apa hubungannya sama saya?!”

   “Ya, siapa tahu di pagi yang cerah ini mimpimu jadi kenyataan!” timpal Arum yang dibalas tatapan horor oleh Thia.

   “Tapi, benar juga, sih. Kenapa gak nanti aja, Thia?” tanya Aisyah.

   “Jujur, saya masih kesal dan malas ketemu sama Gus kulkas itu. Jadi, mending bolos aja, deh!”

   Ketiga temannya menggeleng tak percaya. “Yang ada hukuman kamu bisa ditambah kalau ketahuan bolos di jam pelajarannya,” tutur Arum. Mendengar itu, Aisyah dan Dara reflek mengangguk menyetujui perkataan Arum.

Ini Tentang Aku, Fathia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang