Aku terduduk tenang di kursi kemudi, menatap jalan aspal di depan mobil yang basah akibat guyuran hujan beberapa menit yang lalu. Serpihan salju yang turun gerimis terlihat begitu menarik perhatianku dibandingkan dengan pemandangan sungai Han di sampingnya yang sedang membeku.
Ponselku berdering ketika mobil yang ku kendarai tengah berbelok di sebuah pertigaan. Aku melirik layar ponselku yang kini menampilkan kontak dengan nama 'Mark Lee'. Panggilan itu terhubung ketika aku berhasil memasangkan airpods ditelinga kiriku.
"Kau dimana? Aku mencarimu di apartemen, namun lagi-lagi aku hanya menemukan tumpukan baju yang belum tercuci disini!"
Aku terdiam mendengar omelan kekasihku diseberang sana. Telepon dari rumah sakit begitu mendadak, membuat aktivitas mencuciku harus rela tertundakan. Aku berencana untuk melanjutkan kembali aktivitasku itu setelah urusan di rumah sakit selesai. Namun, kehilangan seorang pasien memberikan dampak buruk bagi suasana hatiku.
Memang hal yang tidak asing bagi seorang dokter ketika pasiennya harus pergi untuk selama-lamanya. Cacian pihak keluarga, tekanan mental, itu semua memang sudah terbiasa. Aku bahkan sudah kebal ketika gagal menyelamatkan seorang pasien. Tapi jika mereka seorang anak-anak, aku tidak akan pernah rela. Aku akan terus memaki diriku karena hal itu.
Setelah memarkirkan mobil di basement, aku mengambil tas selempangku dan berjalan memasuki apartemen. Selama menaiki lift, bahkan aku merasa pikiranku tertinggal di setiap lantai yang aku lewati. Tenaga, perasaan, semua yang kumiliki telah hilang sekarang. Ini memang kekanakan, tapi aku tidak perduli. Aku membenci setiap diriku yang tidak bisa menyelamatkan nyawa orang lain.
Pintu apartemen terbuka. Mataku menemukan sosok lelaki yang telah berstatuskan kekasihku sejak 7 tahun yang lalu sedang menonton televisi di sofa dengan begitu santai. Kaos merah bertuliskan 'Vancouver' hitam, serta celana kain selutut membuatnya terlihat seperti tipikal lelaki pemalas dibandingkan seorang pengacara.
Mata kami bertemu beberapa saat kemudian. Mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu, namun sedetik kemudian mulut itu kembali mengatup. Entah apa yang membuatnya mengurungkan niat untuk mengomeli diriku. Apakah wajahku yang sembab, hidung serta mataku yang merah, atau karena dia memang sudah lelah untuk menceramahiku?
Dia bangkit dari duduknya dan berjalan kearahku. Setelah jarak kami hanya sebatas satu langkah saja, ia menyentuh pipiku yang dingin akibat terpaan angin musim dingin saat diluar.
"Apa yang terjadi?" tanya Mark dengan suara berat miliknya yang selalu menjadi alasanku terbangun tengah malam untuk mendengarnya.
Aku ingin menjawab, namun jawaban itu tercekat di tenggorokanku. Akhirnya hanya sebuah gelengan pelan dari kepalaku yang menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Tubuhku mungkin akan ambruk jika saja lelaki di hadapanku ini tidak mendekapku erat secara tiba-tiba. Kehangatan tersalurkan di dalam diriku saat tangan besarnya mengusap kepalaku lembut.
"Kau tidak mau bercerita padaku?" bisik Mark ketika wajahnya begitu dekat dengan rambut yang tersampir di perpotongan leherku.
Aku terdiam. Bukan karena perlakuan Mark yang membuatku terbawa perasaan, melainkan karena aku memang tidak memikirkan apapun. Pikiranku benar-benar kosong!
Pelukan kami merenggang. Aku mendongak, menatap mata tegasnya. "Katakanlah jika kau memiliki sebuah masalah. Aku tidak akan menuntutmu untuk menceritakannya padaku, karena aku tau jika yang kau butuhkan hanyalah sebuah sandaran. Lalu, untuk apa keberadaanku disini jika tak ada manfaatnya bagi hidupmu?"
Setelah mengatakan hal tersebut, ia mengacak pelan rambutku dan kembali ke posisi awalnya. Mataku terus mengikuti pergerakannya hingga dia menjatuhkan dirinya kembali di sofa cream milikku. Pikiranku yang kosong kini mulai terisi oleh potongan-potongan peristiwa dirumah sakit tadi. Dimana aku harus dengan terpaksa mencabut seluruh alat penyokong hidup seorang anak, karena operasi yang kulakukan tak memberikan dampak apapun bagi kondisinya. Aku telah memaksa pihak keluarganya untuk mau menunggu beberapa hari, namun mereka menolaknya karena memang hanya keajaiban Tuhan saja yang dapat membangunkan anak itu dari alam tidurnya yang terlampau dalam.
Setetes air bening mengalir dari mataku, diikuti tetesan yang lainnya. Aku berhambur dengan segera ke arah Mark. Lelaki itu yang sepertinya memang sudah tau aku akan melakukan hal ini lantas tersenyum tipis. Ia memelukku erat kala tangisanku semakin memuncak.
"Haechan?" panggilnya pelan sambil setia mengusap rambutku lembut dengan tangan besarnya. "Jangan terlalu memaksakan diri. Luapkan semua masalahmu, bahkan jika perlu berteriaklah. Jika kau memang ingin menangis, maka menangislah. Jangan lupakan fakta bahwa kau adalah seorang manusia, bukan sebuah mesin."
Aku semakin mengeratkan pelukanku ditubuhnya. Kata-katanya dan bagaimana caranya memahamiku benar-benar membuatku emosional. "Thank you," bisikku disela-sela pelukan kami.
🍁
×
🍁
Objek pertama yang kulihat ketika kelopak mataku terbuka perlahan adalah wajah damai Mark. Bibirku terangkat ketika mengingat rencana awal kami untuk menonton film bersama tergantikan oleh tidur bersama di sofa sempit dengan aku yang masih menggunakan seragam rumah sakit. Setelah puas mengamati lekuk wajahnya, tanganku pun terulur untuk menyibakkan rambut yang sedikit menutupi keningnya.
Tak ada niatan dariku untuk mencium salah satu tempat di wajahnya seperti biasa. Aku tau dia sangat lelah karena baru tiba di bandara tadi pagi dan langsung mengunjungiku yang malah menangis seperti ini. Maka dengan perlahan, aku pun keluar dari dekapan sang singa.
Setelah berganti pakaian dengan kemeja jeans serta celana putih selutut, aku berjalan menuju tumpukan baju kotor yang belum sempat ku cuci. Tapi aku terkejut ketika melihat pakaian yang menumpuk itu ternyata baju-baju yang sudah ku jemur tadi pagi. Lalu jika ini adalah baju yang sudah bersih, kemana baju-baju kotor itu?
"Kau mencari baju kotormu?"
Aku menoleh kebelakang, menatap Mark yang masih dengan wajah bantalnya. "Ya. Aku yakin telah menyimpannya disini, tapi mengapa bisa menghilang?" tanyaku sambil menunjuk keranjang yang kumaksud.
"Aku membuangnya," jawabnya santai membuatku melongo. Dia memang pernah mengancam untuk membuang baju kotorku jika aku sampai membiarkannya hingga menumpuk, tapi aku tidak pernah menyangka lelaki itu akan benar-benar membuangnya. Itu baju milikku!
"Hey, jangan bercanda!" seruku kesal.
Diluar perkiraanku, Mark malah menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tidak bercanda, sayang."
Mulutku menganga secara spontan. "Mark ..." panggilku memelas, "Ayolah ..."
Lelaki itu terlihat tersenyum miring sebelum akhirnya menunjuk-nunjuk bibirnya. Aku memicingkan mataku untuk memastikan permintaannya sesuai dengan yang tertangkap oleh indera penglihatanku. Dia yang sepertinya mengerti atas tatapanku terhadapnya pun langsung mengangguk-anggukkan kepalanya pelan.
"Tidak! Aku tidak akan melakukannya!" tolakku sambil meletakkan kedua tanganku di pinggang. Lelaki ini! Sudah membuang pakaianku, malah meminta sebuah ciuman!
"Tidak?" tanyanya memastikan. "Kalau begitu, say goodbye to your clothes Lee Haechan!"
Aku yang mendengar itupun lantas menghela napas berat dan berjalan mendekatinya. Dengan sedikit kesal, aku pun mengecup bibirnya singkat sebelum akhirnya kembali menegakkan tubuhku.
"Kau tidak melakukannya dengan baik," katanya membuatku semakin kesal. "Say goodbye to yo—"
Aku membungkam mulutnya menggunakan mulutku. Perbuatanku itu berlangsung selama beberapa detik. Tentunya aku berusaha melakukannya lebih lama demi baju-bajuku. Dan setelah dirasa cukup, aku pun menarik wajahku menjauh dan menatap Mark yang tengah tersenyum puas. "Jadi, mana pakaianku?" pintaku sambil mengulurkan tangan dengan telapaknya yang terbuka.
Mark yang masih tersenyum pun mendelik ke arah balkon yang tertutup. Aku sedikit bingung, namun aku tetap mengikuti arahannya. Mataku membola ketika melihat pakaianku tengah bergantung di jemuran kecil milikku. Dengan geram, aku pun menatap tajam Mark yang telah beranjak menuju dapur dengan santai. "Mark Lee! I hate you so much!" seruku yang sudah sangat kesal.
"I love you so much too Haechan," jawabnya asal membuatku tidak tahan untuk melemparkan sandal beruang disampingku tepat ke kepalanya.
🍁
TBCIni sempet aku unpub, skrng aku mau lanjut lagi. Soalnya nanggung udh selesai di draft :')
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wishing Tree | Markhyuck
FanfictionMark sudah pergi untuk selama-lamanya. Itu adalah kenyataan pahit yang harus ku telan bulat-bulat. Demi menyambung kehidupanku yang sempat terdampak badai, aku memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Hingga akhirnya, "Aku Minhyung." Lelaki berw...