27

1.4K 203 5
                                    

"Minhyung!" panggilku saat melihatnya tengah terduduk di kursi yang berada di halaman depan rumah.

Lelaki itu menoleh kemudian melambaikan tangannya kearahku. Entah inisiatif darimana, aku langsung berjalan mendekatinya. Namun begitu kakiku menginjak pekarangan rumahnya, entah kenapa aku merasa merinding. Mungkin karena lokasinya yang berada di ujung jalan dan tertutupi oleh pohon yang cukup besar sehingga membuat udara disekitarnya menjadi dingin dan juga gelap.

"Kau tidak pergi ke festival?" tanya Minhyung tiba-tiba, membuyarkan lamunanku tentang rumahnya.

'T-tidak," jawabku sambil terus berjalan mendekatinya. "Chenle dan Jisung harus sekolah, kemarin saja mereka pulang larut karena tugas sekolah." Aku kemudian duduk ketika Minhyung mempersilakanku untuk duduk di kursi di sampingnya.

"Apakah kau ingin pergi kesana?" tanyanya lagi. Kali ini ia membenarkan posisi duduknya sambil melipat koran yang semula ada di genggamannya.

Mendengar itu aku lantas tertawa, tentu saja aku sangat menginginkannya tapi sudah kukatakan bahwa Chenle dan Jisung tidak bisa ikut.

"Tidak terlalu," jawabku akhirnya.

Minhyung mengangguk-angguk pelan. "Sebenarnya jika kau mau aku bisa menemanimu untuk pergi kesana," katanya dengan nada yang terdengar sangat santai.

"Kau tidak kuliah?" tanyaku bingung, karena aku tidak pernah melihatnya sebelum atau setelah jam kuliah berakhir.

"Apa kuliah seperti sekolah yang jadwalnya monoton?" tanya balik Minhyung membuatku terdiam.

Lelaki ini jika berbicara memang tidak pernah keluar dari jalur kebenaran. "Kalau begitu besok pagi jam 9," kataku sambil meletakkan sebuah cokelat di meja sebelum akhirnya melenggang pergi.

Sambil berjalan menuju rumah, aku tersenyum geli. Aku memang sengaja memberinya cokelat sebagai pernyataan terima kasihku atas semua yang telah ia lakukan sejak pertama kali aku menginjakkan kaki disini. Dan juga sebagai tanda permintaan maaf karena telah berprasangka buruk di awal ketika kami belum saling mengenal.

Sebelum menutup pintu rumah, aku melirik sekilas ke arah Minhyung kemudian tersenyum lega. Ternyata lelaki itu mau membaca tulisanku yang berada dibelakang bungkus coklat.

Jangan berpikir aneh-aneh. Aku hanya berterima kasih atas kata-katanya yang berhasil membuatku mau berdamai dengan keadaan. Walaupun belum sepenuhnya, aku merasa jauh lebih 'hidup' hari ini.

Aku menghempaskan diri di sofa, bersiap untuk menonton televisi yang salurannya selalu ku putar acak. Entahlah, aku masih belum terbiasa dengan acara pertelevisian disini.

Mataku tengah fokus menangkap gambar bergerak yang terlihat di televisi, ketika tiba-tiba layarnya mati. Tidak hanya televisi, ternyata listrik di rumah ini mati total.

Dengan kesal aku pun bangkit untuk mengecek rumah tetangga. Namun belum sempat aku bangkit, sesuatu tiba-tiba menarikku secara kasar hingga punggung ku bertabrakan dengan dinding.

Aku meringis. Tarikkan itu sangat kuat, bahkan aku merasa tulang punggung ku sepertinya retak sekarang. Bersamaan dengan itu mataku pun perlahan memburam hingga akhirnya kegelapan menyelimuti penghilatanku secara total.

🍁

×

🍁

Lagi-lagi aku berada di hutan berpasir biru yang sangat dingin. Tubuhku sesekali terperanjat ketika mendengar suara pecahan ombak di atas langit. Aku mendongak, menatap langit dengan harap-harap cemas jika saja tiba-tiba langit itu terjatuh dan menumpahkan jutaan liter airnya.

Dengan keberanian seadanya, aku pun bangkit. Mataku terpejam erat ketika merasakan betapa menyakitkannya pasir yang kupijak, rasanya seperti menginjak ratusan jarum disaat yang bersamaan. Tapi aku terus melangkah, berusaha mencari jalan keluar. Aku tau ini hanya sebuah mimpi, maka aku harus mencari cara untuk keluar dari mimpi mengerikan ini.

"Chan?"

Langkahku terhenti ketika suara itu menginterupsi dari belakang. Tanpa merasa ragu dan takut, aku menoleh menatap sosok yang sudah aku pasti akan kulihat.

"Apa maumu?" tanyaku berusaha untuk tidak meledak saat ini juga.

Mark terdiam. Dia yang semula menatap lurus ke arahku kemudian menurunkan pandangannya. Entah apa yang membuatnya seperti itu, mungkin karena saat ini aku menatapnya tajam dan penuh kebencian.

Aku menghembuskan napas kesal, percuma berbicara dengan sosok yang bahkan akupun tidak tau kejelasannya.

"Tunggu."

Lagi-lagi dia menghentikan pergerakan ku yang hendak meninggalkan hutan ini.

"Apa lagi?!" bentakku yang sudah sangat kesal. "Kau tau? Aku memiliki kehidupan saat ini, berhenti menggangguku dan urus saja urusanmu sendiri! Aku sudah tidak memperdulikan dirimu lagi, pergi saja sesukamu! Ini semua pasti karenamu kan? Kau sengaja membawaku kesini dan mengacaukan hidupku. Bukankah begitu?!"

"Kau yang membawaku," katanya masih dengan pandangan yang menurun.

Apa katanya? Aku yang membawanya?! Hei bahkan aku sudah tidak sudi memikirkan sehelai rambutnya!

Aku menggeleng tidak peduli. Terserah apa yang akan dikatakan makhluk itu, aku hanya akan pergi sejauh mungkin sekarang.

"Maafkan aku."

"Setelah semua yang kau lakukan?" tanyaku tidak percaya. Bagaimana bisa aku memiliki calon suami seorang pengecut seperti ini sebelumnya? Apakah dia sudah tidak berani menampakkan wujudnya secara langsung untuk meminta maaf kepadaku di dunia nyata sehingga harus dengan cara seperti ini?

"Aku tau aku—"

"Aku muak mendengar suaramu. Dan bisakah kau menunjukkan ku jalan keluar? Aku lelah!" potongku cepat.

Mark menggeleng. "Aku bahkan tidak tau jalan keluar dari sini, aku ingin kau—"

Aku menutup telingaku rapat dan langsung membalikkan badan. Sialan, aku menyia-nyiakan 3 detik ku yang berharga hanya untuk bertanya pada pembohong sejati sepertinya.

Setelah dirasa cukup berjalan cukup jauh, aku pun melepaskan kedua telapak tanganku yang sebelumnya kugunakan untuk mencegah masuknya suara melalui telinga. Kepalaku menoleh kebelakang, sosok iblis itu tidak mengikutiku rupanya. Aku hendak menghela napas ketika tiba-tiba napasku tercekat dan tubuhku seakan tersedot ke sebuah pusaran.

Mataku terbuka diiringi dengan napas yang memburu tak karuan. Pintu rumah menjadi objek pertama yang aku tangkap. Aku masih ditempat yang sama ketika sesuatu menarikku hingga tak sadarkan diri tadi.

Aku meringis, sepertinya punggungku benar-benar remuk saat ini. Dengan tenaga seadanya, aku pun berusaha bangkit. Namun belum sempat aku bangkit, mataku menangkap banyak darah yang keluar dari telapak kakiku.
Aku rasa aku sudah benar-benar gila saat ini.

🍁

×

🍁
TBC

Mark akhirnya muncullll xixixi

The Wishing Tree | MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang