Ketukan pintu kamar yang cukup beruntun membuat mataku mau tak mau terbuka secara paksa. Setelah itu terdengar suara Mark yang memanggil-manggil namaku tanpa henti.
"Fullsun, apa kau sudah bangun?" tanyanya dan aku hanya terdiam mendengarkan. "Kau bermimpi apa semalam? Apa kau memimpikanku hingga enggan untuk bangun? Oh, ya ampun! Aku ada disini sekarang, kau tidak perlu memimpikanku!" serunya dramatis.
Aku tersenyum geli. Lelaki itu tidak akan berhenti mengoceh jika aku belum mengatakan sesuatu.
"Hey, ayo bangun dan sarapan! Jangan sampai aku membuka pintu kamarmu secara paksa dan menggelitikimu sepanjang hari lalu—"
"Morning Mr. Lee! Aku sudah bangun," seruku membuat ocehan Jongin yang bagaikan senapan itu berhenti seketika.
"Morning Mr. Mark!" balasnya.
"Hey, apa-apaan?!" seruku.
"Sama saja, kau akan menjadi suamiku. Kelak namamu akan berubah, sayang!"
Aku terbelalak. "Kita tidak sedang berada di hutan, Mark!" ucapku mengingatkan. Untung saja apartemen ini kedap suara, jika tidak pasti aku sudah malu dengan tetangga karena tingkah kekasihku itu.
"Ingin sesuatu?" tanyanya tanpa memperdulikan ucapanku tadi.
"Yeah."
"What's that?"
"Aku ingin tidur lebih lama, bye!" putusku. Aku kembali menarik selimutku menutupi sekujur tubuhku.
Tak lama, terdengar kembali suara ketukan pintu. Aku membuka mata dan langsung terduduk, waspada jika Mark benar-benar memaksa masuk dan menggelitikiku. Namun ternyata tidak ada siapapun di kamarku. Bahkan pintu saja masih terlihat rapat dan baik-baik saja.
"Haechan, ayo sarapan!"
Aku merenyit ketika mendengar suara itu. Suara yang sama sekali tidak terdengar seperti milik Mark melainkan terdengar seperti suara Jaemin.
"Mark?" tanyaku memastikan.
"Jaemin!" ralat suara dari luar sana.
Aku mematung, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Gigiku menggigit bibir bagian dalamku ketika aku baru mengingat keadaan sebenarnya. Aku baru saja bermimpi mengenai kejadian bersama Mark beberapa minggu yang lalu.
"Chan, aku menunggumu di meja makan!" seru Jaemin. Setelah itu terdengar suara derap langkahnya yang memudar.
Mataku melirik jendela kamar, menerawang dimana dan bagaimana keadaan Mark sekarang. Apakah dia tidak merindukanku?
Lamunanku terpecahkan ketika ponselku berdering. Dengan segera aku pun mengangkatnya, berharap jika Mark lah yang menghubungiku.
"Tuan Lee, kami turut berduka cita atas musibah yang terjadi. Semoga Tuhan menempatkan mendiang kekasihmu—"
Tanpa mendengarkan kelanjutannya, aku langsung memutuskan panggilan secara sepihak. Otakku masih berusaha mencerna ucapan pegawai tadi ketika ponselku kembali berdering. Dengan kesal, aku pun melemparkan ponselku ke sudut kasur. Aku yakin, pasti mereka akan mengatakan hal yang serupa. Dan aku sangat membencinya.
Tak ingin berlama-lama diam di ruangan yang mulai terasa pengap ini, aku pun beranjak keluar. Setelah menutup pintu kamarku, aku mendapati Wendy sedang mengaduk-aduk makanannya dalam diam. Dia sepertinya melamun, karena dia tidak menyadari kehadiranku.
"Oh, morning Haechanie!" sapa Jaemin setelah aku berjalan melewatinya untuk mengambil segelas air putih.
"Ayo duduk!" titahnya dengan nada ceria. Tapi dia tidak bisa berbohong kepadaku, karena aku bisa melihat keresahan di wajahnya.
Aku pun terduduk di kursi makan dan menatap sepiring omelet yang tersaji dihadapanku. "How are you?" tanyaku.
"I'm great!"
Tanganku bergerak mengambil sendok di samping piringku dan mulai menyendok omelet tersebut. "Really?" tanyaku meyakinkan.
"Y-yeah...," Jaemin tertawa miris, "maybe."
Kali ini aku tidak merespon apapun. Aku mulai mengunyah makananku dalam diam, begitupun Jaemin. Kami berdua sama-sama terdiam hingga makanan di piringku habis.
"Kau menghabiskan makananmu?" tanya Jaemin terdengar tak percaya.
Tentu saja! Memang kenapa? Apa aku terlihat seperti orang kelaparan?!
"Biasanya kau tidak pernah menghabiskan makananmu," lanjutnya.
Aku menghembuskan napasku dan bangkit untuk meletakkan piring kotorku. "Mark akan mengomeliku jika aku tidak menghabiskannya," kataku berterus terang.
"Tapi Mark tidak ada disini, kau—"
"Bukan berarti aku bisa melanggarnya," potongku cepat.
Jaemin menatapku sekilas sebelum akhirnya kembali menyantap sarapannya. "Aku akan kembali besok," kata Jaemin tiba-tiba setelah terdiam cukup lama.
"Kenapa tiba-tiba? Bukankah Mark telah menitipkanku padamu?" tanyaku heran.
"Banyak paket untukmu," ucapnya yang sama sekali diluar topik pembicaraan.
Tak ingin ambil pusing, aku pun berdeham dan berjalan ke ruang tengah—tempat dimana dus-dus itu tergeletak. Aku duduk di sofa dan mulai membuka dari kotak yang paling kecil.
"Mengapa mereka mengirimkannya kepadaku?" tanyaku bingung ketika melihat beberapa foto yang seharusnya berada di gedung pernikahanku dengan Mark malah berada di sini.
Tanganku pun membuka kotak yang ukurannya lebih besar di sampingnya. Mataku berbinar ketika melihat tuxedo yang dilipat dengan sangat rapi. Namun aku kembali kebingungan ketika tuxedo milik Mark ternyata ada dibawah milikku. "Hey, mengapa mereka tidak memberikannya pada Mark?"
Aku mengagumi betapa kerennya tuxedo yang akan Mark kenakan nanti. "Huh, aku tidak sabar melihat bagaimana tampannya Mark dengan pakaian ini," kataku antusias.
"Chan ..."
Entah sejak kapan Jaemin berdiri di belakangku. Yang jelas kini tangannya sudah mengusap-usap bahuku.
"Jika kau ingin pergi, pergilah. Aku harus menemui Mark beberapa jam lagi di kantornya," kataku lalu beranjak meninggalkan Jaemin.
🍁
×
🍁
TBC
Jangan lupa tinggalkan jejak!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wishing Tree | Markhyuck
FanfictionMark sudah pergi untuk selama-lamanya. Itu adalah kenyataan pahit yang harus ku telan bulat-bulat. Demi menyambung kehidupanku yang sempat terdampak badai, aku memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Hingga akhirnya, "Aku Minhyung." Lelaki berw...