15

1.8K 247 5
                                    

Aku melewati hari-hari dengan tidak normal. Setelah kepergian Mark, aku pikir semuanya tidak terlihat baik-baik saja. Jam-jam dimana biasanya aku mengunjungi Mark kini terasa hampa. Aku sering mengunjungi apartemennya selama beberapa minggu terakhir ini, sekedar untuk merapikannya dan berharap dia datang muncul dibalik pintu kemudian memelukku penuh rindu.

Ketika hendak menutup mata di malam hari, aku selalu berharap agar Tuhan mempertemukan kami walau di dalam mimpi. Tapi sepertinya Tuhan ingin agar aku cepat melupakan Mark, karena hingga saat ini pun aku belum pernah mendapatinya muncul di dalam mimpi.

Aku menghela napas dalam. Tidak ada satu orangpun yang kupunya saat ini. Ayah Ibuku yang tidak tau dimana keberadaannya, serta Jaemin yang menghilang tanpa jejak. Jujur, aku memang membenci Jaemin tapi aku juga pernah bersahabat dengannya sebelum mengenal Mark.

"Kak!"

Aku menoleh kebelakang. Senyumku sedkit terbentuk saat melihat Chenle tengah berlari kearahku.

"Apa yang sedang kau lakukan disini?" tanyaku sambil menengok sekeliling.

"Jisung sedang istirahat. Aku baru saja dari apotek untuk membelikannya obat," kata Chenle dengan napas yang terengah-engah.

"Jisung sakit?" tanyaku kaget.

Lelaki berambut coklat itu mengangguk. "Dia demam, sudah tiga hari. Aku menyuruhnya ke rumah sakit tapi dia tidak mau," keluhnya. "Kak Haechan kenapa kau memotong rambutmu?" tanyanya tiba-tiba.

Aku tertegun. Tanganku memegang rambutku yang kini tidak terlalu tebal. "Tidak. Aku tidak memotong rambutku, hanya saja beberapa hari terakhir rambutku selalu rontok," jawabku sambil tertawa kecil.

Wajah Chenle terlihat berubah drastis menjadi memuram. Aku yang merasa tidak ingin berlanjut pun merangkul bahunya. "Apa aku bisa menjenguk kakakmu?" tanyaku.

Chenle mengangguk. "Tentu saja. Ayo!"

Selama perjalanan Chenle membicarakan hal menyenangkan yang pernah dialaminya bersama sang kakak. Ia terlihat begitu muda dan polos. Dengan image ceria nya, ia terlihat seperti tidak memiliki beban apapun. Padahal dibalik senyumnya itu, ia menyimpan banyak sekali kesedihan dan penderitaan.

🍁

×

🍁

"Jisung! Kak Haechan datang untuk menjenguk mu!" teriak Chenle saat mulai memasuki rumahnya yang sederhana.

Aku menatap Jisung yang tengah tertidur di sofa. Ia terlihat begitu pucat. Dengan peralatan seadanya, aku memeriksa tubuhnya dan ternyata ia terserang demam. Tidak terlalu tinggi, tapi cukup membuat kepala berdenyut-denyut.

"Kak, bagaimana kabarmu?" tanyanya parau.

Aku tersenyum ketika kelopak matanya terbuka perlahan. "Aku baik-baik saja," jawabku.

"Ini terlalu berat. Chenle harus melayani pelanggan sendirian, sedangkan aku hanya tertidur lemah disini," kata Jisung sambil menertawakan dirinya sendiri.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum sambil merapikan rambutnya yang terlihat berantakan. "Kalau begitu cepatlah sembuh dan temani lagi saudaramu itu. Dia sudah sangat merindukanmu."

Aku berhasil mencairkan suasana hati Jisung. Lelaki itu jika dibiarkan larut dalam kesedihan maka akan berdampak buruk bagi kesehatannya.

"Ini sudah malam. Kau tidak takut keluar sendirian?" tanya Chenle yang baru datang sembari membawa secangkir teh hangat untukku.

"Kalian mengusirku?" tanyaku pura-pura marah.

Mereka berdua sepertinya sudah tau jika aku hanya berpura-pura, jadi mereka hanya tertawa kecil. "Baiklah, setelah menghabiskan teh aku akan pulang," kataku akhirnya.

"Tidak. Kau boleh menginap disini jika mau," kata Chenle sambil menepuk-nepuk bantal disampingnya.

Aku ingin sesekali menginap disini, tapi aku tidak ingin merepotkan keduanya sehingga setelah aku menghabiskan minuman, aku pun pamit pulang.

"Selamat tinggal! Merry Christmas!" pamitku sambil melambaikan tangan kepada Chenle.

Aku memasukkan tanganku kedalam mantel. Udara diluar semakin dingin. Dan aku merindukan Mark. Setelah sampai di jalan yang cukup sepi, aku berhenti. Kepalaku menengadah, menatap bulan serta hujan salju yang terlihat begitu indah.

Ada hal yang terasa berat sekali untuk dilalui, tapi harus tetap dilalui. Terasa sulit sekali diterima, tapi harus diterima. Terkadang hidup memang kelewatan memberi sesuatu.

"Mark, aku merindukanmu. Aku telah menyimpan kado di apartemenmu. Jangan khawatir karena aku sudah mempersiapkan pohon natal di sana. Aku tau kau tidak akan pernah memiliki waktu untuk membelinya. Merry Christmas," kataku seolah berbicara pada Mark yang berada di atas sana.

Ketika aku hendak melanjutkan perjalananku, tiba-tiba angin berhembus dengan cukup kencang. Aku menutup telingaku karena terkejut. Dan ketika angin itu telah berlalu, mantelku tak sengaja menyangkut pada kalung yang tengah kugunakan dan membuatnya tertarik lalu putus seketika.

Aku mengambil patahan yang sudah jatuh ke tanah. Hadiah natal terakhir yang Mark berikan kepadaku kini telah rusak. Ada apa ini? Aku memberinya hadiah tapi dia malah merusaknya.

"Apa kau membenciku?" gumamku sambil menatap kalung di genggamanku nanar.

🍁

×

🍁
TBC

The Wishing Tree | MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang