Aku membuka kelopak mataku yang terasa lebih berat dan panas dari biasanya. Bahkan sekarang aku merasa otot-otot persendianku kaku. Sepertinya aku harus menggerakkan tubuhku sebelum persendianku benar-benar terkunci. Saat aku beringsut naik, permukaan wajahku tak sengaja menyentuh permukaan wajah Mark dan membuatnya langsung terbangun.
Aku hendak meminta maaf karena membuatnya terbangun, namun tangannya tiba-tiba menyentuh permukaan dahiku.
"Kau demam, Haechan!" katanya panik dengan suara yang parau membuatku terdiam.
Dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, ia turun dari kasur dan keluar entah untuk melakukan atau mengambil apa. Aku mengarahkan tanganku untuk menyentuh permukaan wajahku yang ternyata memang cukup panas. Kepalaku terasa berat dan pandanganku memburam ketika aku berusaha bangkit dari tidurku.
Tanpa berusaha lebih keras, aku pun memilih untuk menyerah dan tetap di dalam posisiku sebelumnya. Tak lama, Mark masuk ke kamarku bersama seorang lelaki berjas putih. Selama pemeriksaan aku sempat melirik Mark yang terlihat begitu cemas. Ingin sekali aku tertawa, namun entah kenapa tawaku tidak keluar sama sekali.
"Hentikan dietmu, Tuan Lee," kata dokter itu setelah selesai memeriksa keadaanku.
Aku tertegun. Ragu-ragu, aku melirik Mark untuk melihat ekpresinya. Pandanganku menurun ketika melihat tatapan tajam yang Mark arahkan kepadaku.
"Aku sudah menyiapkan obatnya di nakas. Kalau begitu, aku pamit Mark." Dokter itu melangkah keluar, meninggalkanku dengan Mark yang masih setia dengan tatapan tajamnya.
Aku memilih untuk menghindari tatapannya dengan menatap jendela disamping kiriku. Terdengar suara langkah kakinya yang menjauh. Sepertinya dia keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika aku melirik ke tempatnya tadi dia sudah tidak ada.
Aku menghela napasku berat. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang suka banyak mengeluh jika sedang sakit dan cenderung menjadi lebih pendiam. Aku sendiri tidak pernah memusingkan penyakit apa yang sedang aku derita, karena itu hanya akan menguras tenaga saja. Justru dengan kita berpikir jika semuanya baik-baik saja, tubuh kita akan termotivasi untuk sehat lebih cepat.
Mark kembali memasuki kamar, kini dengan semangkuk bubur di tangannya. Dia berjalan mendekatiku dan duduk di samping ranjang. Tangannya dengan lembut membantuku untuk bangkit. Dia terus terdiam hingga ia mulai menyuapiku dengan bubur yang dibawanya tadi.
"Tenyata dokter juga bisa sakit," gumamnya pelan membuatku merasa tersindir.
"Dokter juga manusia," balasku tanpa mau menatap wajahnya.
"Iya. Aku lupa jika kau adalah manusia sehingga sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan." Mark mengatakan hal itu sambil menatapku lekat.
Aku menggigit bibir bagian dalamku untuk meredam kegugupan yang menguasai diriku saat ini.
"M-maaf," cicitku sambil menundukkan kepala.
Terdengar Mark menghela napasnya dengan tangan yang masih mengaduk bubur dihadapannya. "Aku sudah melarangnya. Kenapa kau masih berdiet?" tanyanya yang terdengar begitu kecewa sekaligus cemas.
"Aku hanya tidak ingin kau menanggung malu ketika berjalan bersamaku jika tubuhku melebar walau sedikit saja," jawabku dengan nada yang masih sangat pelan.
"Aku mencintaimu apa adanya, Haechan. Aku bukan lelaki berhidung belang yang memusingkan masalah bentuk tubuh kekasihnya," katanya selembut pergerakan tangannya di kepalaku.
Aku terdiam, namun sedetik kemudian tangisku pecah. Mark sepertinya sangat terkejut. Dengan segera ia menarikku kedalam dekapannya.
"Ada apa? Apakah perkataanku menyakitimu?" tanyanya dengan penuh rasa bersalah.
"Makeu ...," panggilku disela tangisan. "Aku ingin sembuh dan ikut bersamamu ke Jerman!"
🍁
×
🍁
Sudah dua jam aku menangis dengan Mark yang masih setia memelukku erat. Ingin sekali rasanya aku memaki diriku sendiri yang nampak seperti remaja labil yang tengah fall in love. Tapi bagaimana lagi? Kali ini aku benar-benar tidak ingin ditinggal olehnya!
"Haechan, ada apa? Kenapa kau menangis seperti ini?" tanya Mark yang sepertinya sudah lelah mendengar tangisanku.
"Jangan pergi!" rengekku.
Sepertinya Mark menjadi ikut pusing karena kelakuanku ini. Terdengar dia beberapa kali menghela napasnya berat. Tangannya mengangkat wajahku dan membuat wajah kami saling menatap dengan aku yang menengadah.
"Apa kau sedang hamil?" tanyanya dengan intonasi pasrahnya.
Aku membelalakan mataku ketika mendengar pertanyaan Mark itu. "Hey, jangan berbicara melantur. Aku ini lelaki sejati!" seruku yang malah semakin tak karuan.
Mark menggaruk-garuk kepalanya. Sepertinya ia juga merutuki pertanyaan bodoh dari mulutnya tadi. "Aku hanya pergi dua hari, Fullsun. Kita bisa berkomunikasi melalui telepon," katanya lembut.
Aku menggeleng, "Aku ingin ikut!"
"Haechan...,"
"Berjanjilah untuk selalu menghubungiku?" kataku akhirnya dengan jari kelingking yang kuarahkan kepadanya.
Mark tersenyum. Ia menyambut kelingkingku dengan kelingkingnya. "Janji!"
"Jangan pernah meninggalkanku, oke?"
Bukannya menjawab, ia malah memeluk tubuhku.
"Hey! Ayo berjanji untuk tidak meninggalkanku!" kataku disela-sela pelukan yang kami lakukan.
Mark malah menggerakan pelan tubuhku didalam pelukannya. "Kau sangat cerewet."
🍁
×
🍁
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wishing Tree | Markhyuck
أدب الهواةMark sudah pergi untuk selama-lamanya. Itu adalah kenyataan pahit yang harus ku telan bulat-bulat. Demi menyambung kehidupanku yang sempat terdampak badai, aku memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Hingga akhirnya, "Aku Minhyung." Lelaki berw...