Mataku terbuka ketika tubuhku terasa membeku. Lautan biru di malam itu menjadi objek pertama yang aku lihat. Aku mengerjap kaget, mataku menyapu sekeliling. Ini tidak sama seperti mimpiku waktu itu. Kali ini bahkan pasir yang kupijak berwarna normal. Aku hanya seperti terdampar disebuah pulau yang sangat kecil pada malam hari.
Aku memejamkan mataku, berharap untuk segera terbangun. Suasana disini memang begitu menenangkan, karena cahaya bulan purnama benar-benar memanjakan pikiranku. Tapi jika berlama-lama sendirian ditempat seperti ini sendirian rasanya cukup mengerikan.
Sedetik setelah menutup mata, aku kembali membuka mataku. Namun aku terbelalak ketika ternyata aku tidak sedang berada di kamarku. Apakah aku tidak sedang tertidur?
Tiba-tiba suara melengking yang pernah kudengar sebelumnya kembali mengiang di udara. Suaranya kali ini terasa lebih tenang dan tidak begitu menyakitkan, namun tetap saja mengganggu pendengaranku.
"Kita tidak pernah tau kemana takdir akan membawa kita."
Aku menoleh kebelakang, kearah dimana suara berat itu berasal. "S-siapa kau?" tanyaku saat melihat seseorang berjubah hitam tengah memunggungiku.
"Dan tugas manusia adalah berusaha menerimanya tanpa menyalahkan takdir itu sendiri," lanjutnya benar-benar tidak menjawab pertanyaanku.
Aku hendak melayangkan kembali pertanyaan ketika tiba-tiba kepalaku terasa berdenyut-denyut. Dan akhirnya mataku terbuka sempurna. Aku mendapati diri tengah tertidur di atas kasurku dengan posisi yang sama seperti tadi malam.
Aku bangkit dan mendudukkan diri. Mataku menyapu seluruh ruangan yang ternyata memang kamarku! Tanganku mengusap wajahku pelan, mengapa aku selalu bermimpi sesuatu yang aneh akhir-akhir ini?
Dengan gontai, aku pun turun dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi. Aku menatap menatap pantulan diriku di cermin wastafel. Tidak ada yang beda dalam penampilanku. Semuanya masih sangat normal.
Aku mengangkat kedua bahuku tidak peduli. Aku tidak ingin menghabiskan waktuku untuk hal-hal yang tidak penting seperti ini. Tanganku pun meraih sikat gigi di lemari yang berada disamping cermin. Sambil mendengarkan suara gemercik air keran, aku menyikat gigiku dengan santai. Mataku hanya menatap wajahku yang sepertinya masih merindukan bantal di kasurku.
Setelah selesai menyikat gigi, aku hendak mencuci sikat gigiku ketika aku baru menyadari suatu hal. Aku bergeming, menatap tangan kananku yang hendak mencuci sikat gigi. Tak ada luka, tak ada perban, dan tak ada rasa sakit disana. Aku merenyit, bagaimana ini bisa terjadi? Jelas-jelas kemarin Minhyung masih membantuku mengganti perban di tanganku, lalu bagaimana bisa itu semua menghilang secara tiba-tiba?
Aku mendekatkan tanganku, menatapnya dengan seksama berharap aku dapat menemukan bekas luka yang masih tersisa. Namun nihil, tak ada bekas apapun disana. Semuanya terlihat begitu normal seperti sebelumnya.
Tuhan, aku tidak ingin gila diusia seperti ini.
🍁
×
🍁
"Kami harus mengerjakan tugas dan itu sangat tidak memungkinkan untuk kami bisa pergi bersamamu."
Aku cemberut mendengar ucapan Chenle barusan. Mereka baru masuk sekolah, tapi kenapa tugasnya sudah seperti rel kereta api?
Akhirnya aku pun hanya menghela napas pasrah. "Baiklah, semangat!" seruku menyemangati mereka.
Wajah bersalah yang mulanya terlihat jelas diwajah mereka kini perlahan mulai meluntur, digantikan oleh wajah yang berseri.
"Kalau begitu, istirahatlah. Kalian harus selalu siap menghadapi tugas-tugas yang menyebalkan itu," kataku sambil mengusap kepala Chenle dan pundak Jisung bersamaan.
Bagaikan seorang anak yang mendapat arahan dari ibunya, mereka mengangguk dengan patuh sebelum akhirnya pamit untuk pulang. Dan aku selaku pendampingnya hanya bisa menatap punggung keduanya yang perlahan menjauh dan kemudian menghilang dari balik pintu.
"Sepertinya aku akan sangat jarang bertemu dengan mereka," gumamku pelan.
Aku berbalik hendak masuk ke dalam rumah. Namun tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang melintas dibelakangku. Aku menoleh dan tak menemukan siapapun, aku hanya dapat merasakan angin panas yang mengelilingiku.
Aku mengenakan baju tebal, karena malam ini benar-benar dingin. Namun karena peristiwa tadi, aku merasa kulitku seakan terbakar oleh sesuatu. Dengan panik aku menepuk-nepuk seluruh permukaan kulit tanganku, berharap rasa panas itu dapat menghilang.
Mataku mulai berair ketika sadar jika rasa panas itu tak kunjung mereda. Demi apapun ini benar-benar menyakitkan. Dan entah hanya imajinasi atau memang kenyataan, seseorang berjubah navy yang tadi ada di dalam mimpiku berada tepat disampingku.
Perlahan, makhluk dihadapanku itu mengangkat wajahnya. Jantungku berdegup dengan kencang, bersiap untuk melihat wajah menyeramkan darinya. Namum ternyata makhluk itu menggunakan topeng berwarna putih polos yang hanya berlubang di bagian matanya.
Aku terkejut ketika tangannya tiba-tiba digenggam oleh makhluk itu. Seketika semua rasa panas yang menjalar ditubuhku menghilang seketika, karena tangan itu benar-benar dingin seperti es.
Mataku perlahan menelusup masuk kedalam topeng miliknya. Aku dapat melihat dirinya menatapku dengan pandangan—yang entah mengapa jauh di dalam lubuk hatiku—terasa seperti mencerminkan kerinduan.
"Jangan cemas." Suara itu, aku sangat mengenalinya!
Jubah navy itu mendongak ke atas dan tiba-tiba seberkas sinar putih dari atap rumahku jatuh menimpa tubuhnya. Ia menghilang dan aku kemudian menyadari jika suasana di sekitarku benar-benar mencekam. Dengan buru-buru aku pun memasuki rumah dan segera pergi tidur, sebelum hal-hal aneh kembali menghantuiku.
🍁
×
🍁
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wishing Tree | Markhyuck
FanfictionMark sudah pergi untuk selama-lamanya. Itu adalah kenyataan pahit yang harus ku telan bulat-bulat. Demi menyambung kehidupanku yang sempat terdampak badai, aku memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Hingga akhirnya, "Aku Minhyung." Lelaki berw...