10

2K 256 13
                                    

Sesuatu berbunyi nyaring, menyentak kepalaku dengan keras sehingga mataku mendadak terbuka. Sakit kepala yang menyusul setelahnya benar-benar menyebalkan. Argh, aku benci jika bangun dengan kondisi terkejut seperti ini!

Aku meraba ponsel di sampingku yang ternyata bukan sumber bunyi itu. Perlahan aku pun bangkit. Jantungku hampir saja pindah dari posisinya ketika melihat seorang lelaki berambut kapas tengah tertidur di sampingku.

"Jaemin! Bangun!" seruku kesal.

Ia terdengar bergumam sebelum akhirnya membuka matanya. "Morning, Haechanie!" sapanya dengan suara yang parau. Dia menguap sebelum kembali mengatakan sesuatu, "Kau baru bangun?"

Aku merenyit. Memangnya dia tidak bisa melihat tampangku yang masih berbentuk bantal?

"Jarang-jarang," lanjutnya.

Tanganku meraih ponsel Jaemin untuk mematikan alarmnya kasar. "Tentu saja! Ini semua berkat suara ponselmu yang melebihi suara speaker konser. Bahkan kurasa penghuni apartemen lantai 21 pun ikut terbangun karenanya!" sindirku sambil melemparkan ponsel di genggamanku ke arahnya.

Setelah itu aku turun dari kasur dengan membawa ponselku yang sudah kehabisan daya. Entah pukul berapa Mark memutuskan panggilan kami, yang jelas ia benar-benar membuat baterai ponselku tersisa 10%.

Sebelum aku memasangkan charger, terlebih dahulu aku menanyakan kabar Mark karena setelah panggilannya selesai ia tidak mengirimkan pesan apapun padaku. Namun sepertinya ponsel Mark mati, secara pesanku saja tidak terkirim dan ketika aku mencoba untuk melakukan panggilan, ponselnya tidak aktif.

Aku mendesis kesal. Aku benci Mark yang telat memberi kabar. Apakah dia lupa janjinya sebelum berangkat?

"Hey, Lee Haechan! Tinggalkan ponselmu dan cepatlah mandi! Akan jadi suami seperti apa kau nanti?!" omel Jaemin yang baru keluar dari kamar mandi. Lilitan kimono di tubuhnya membuatku yakin jika lelaki itu baru saja mandi.

"Jangan lupa jika kau akan menikahi seorang pengacara yang selalu disiplin dan on time!" sambungnya.

Aku memutar bola mataku malas sambil berjalan menuju kamar mandi. "Bukan on time namanya jika tidak pernah tepat waktu mengabariku!" seruku sebelum menutup pintu kamar mandi dengan kasar.

🍁

×

🍁

Aku tengah mengambil hair dryer di rak ketika tiba-tiba Jaemin keluar dari kamarku dengan mantel hijau tua nya. "Kurasa aku masih memiliki satu kamar kosong, kau bisa menempatinya sesuka hati," kataku datar sambil berjalan menuju sofa.

"Kau mengusirku dari kamarmu?" tanyanya dengan nada yang dramatis.

Aku menoleh. "Anggap saja seperti itu," kataku singkat, kemudian kembali melanjutkan aktivitasku.

"Jangan-jangan...," ujarnya sambil menatapku penuh curiga. Sedangkan aku hanya bisa mengangkat sebelah alisku heran. "... Kau pernah melakukan'nya' dengan Mark dan kau takut jika aku sampai menemukan benda 'itu'?"

Untuk kesekian kalinya aku menghentikan aktivitasku. Mulutku terbuka untuk mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata-kata yang sanggup kuucapkan. Kenapa dia sampai berpikir sejauh itu? Manusia ini tidak sedang mabuk, kan?

"Haish, memang benar. Pantas saja kalian ingin cepat-cepat menikah. Apa kau sudah telat datang bulan?" tanyanya penasaran.

"Hey, Tuan Jaemin! Cepatlah keluar dan cari udara segar agar otakmu bisa berjalan dengan baik!" seruku kesal. Lelaki ini jika dibiarkan tinggal disini lebih lama sepertinya akan berdampak buruk bagi kesehatanku.

Jaemin mengangkat kedua bahunya acuh, kemudian berjalan menuju pintu. Sebelum menutup pintu, kudengar ponselnya berdering dan mau tak mau ia keluar sambil mengangkat teleponnya.

Dan sekarang adalah kemerdekaanku. Karena Jaemin telah pergi, kini aku bisa melanjutkan kembali aktivitas mengeringkan rambut yang sudah tertunda beberapa kali. Namun saat aku hendak menyalakan hair dryer, pintuku tiba-tiba terbuka.

"Mengapa kau belum juga pergi?!" seruku kesal pada Jaemin yang kini tengah menatapku panik.

"Apa Mark sudah sampai?" tanyanya tanpa basa-basi.

Hey, apa maksudnya? Ia kembali hanya untuk menanyakan Mark?!

"Aku tidak tau," jawabku acuh.

"Kau tidak mencoba untuk menghubunginya?!" tanyanya lagi, kali ini ia terlihat sedikit membara.

"Nomornya tidak aktif, aku sudah mencobanya!" teriakku yang juga terpancing karena nada bicaranya. Apa apaan ini? Tidak bisakah ia bertanya secara baik-baik?!

"Pesawat yang dinaiki Mark mengalami kecelakaan pada dini hari."

Waktu seakan berhenti, semua hal disekelilingku terdiam dan membeku. Kini telingaku bahkan bisa mendengar degup jantungku sendiri yang berdetak dengan kencangnya. "A-apa maksudmu?" tanyaku nyaris tanpa suara.

"Bubu baru saja menghubungiku! Pihak penerbangan pun sudah mengklarifikasi kejadian ini!" seru Jaemin.

"Tidak...," ucapku lemah, "Kau keliru, Jaemin! Mark pasti sudah sampai dan dia baik-baik saja. Bahkan kemarin kami masih berbincang," aku mengingatkan sekaligus meyakinkan diri sendiri.

"Segala sesuatu bisa terjadi bahkan dalam hitungan detik, Chan," jelasnya dengan nada yang melunak.

Aku tidak menghiraukan penjelasannya, karena aku masih bergelut dengan pikiranku. Bahkan aku masih terdiam ketika Wendy tiba-tiba memelukku. "Aku harap aku sedang bermimpi," kataku lemah.

"Chan—"

"Jika benar maka ini adalah mimpi terburuk yang pernah aku alami selama hidupku," potong ku.

"Haechan!" Jaemin melepaskan pelukannya. Dia terisak sambil berusaha mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya. Tangannya meraih remote untuk menyalakan televisi. Jemarinya beberapa kali memindahkan saluran hingga tiba-tiba telingaku mendengar televisi menayangkan liputan mengenai tragedi jatuhnya pesawat.

Aku menoleh lemah ke arah televisi. Mataku memburam ketika melihat puing-puing pesawat dan beberapa korban yang mengapung di lautan.

🍁

×

🍁
TBC
Jangan lupa tinggalkan jejak! ^^

The Wishing Tree | MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang