Mobilku melaju dengan kencangnya ditengah jalanan Seoul yang cukup ramai. Tanganku sibuk membagi kegiatan antara mengendalikan stir mobil dan mengusap air mata yang terus-terusan mengalir dari pelupuk mataku.
Perlahan aku melambatkan mobilku ketika jalanan mulai tersendat. Dapat kulihat ratusan orang mengelilingi area bandara untuk melakukan do'a bersama. Aku menekan klakson mobil kuat-kuat ketika emosiku sudah tidak terbendung lagi.
Dengan tak sabar aku pun menyalip beberapa mobil dan segera turun untuk meminta penjelasan mengenai berita tersebut. Namun langkah ku perlahan melambat ketika Bubu terlihat menghampiriku bersama dengan putra bungsunya yang tidak adalah adik dari Mark.
Mulutku terbuka hendak mengatakan kabar Mark. Namun belum sempat aku melaksanakan niatku, telapak tangannya sudah mendarat mulus di pipi kiriku.
Aku bergeming beberapa detik. Rasa perih dan panas menjalar bagaikan sengatan listrik, melebihi rasa sakit ketika tanganku tak sengaja tersengat kabel microwave. Mungkin karena rasa sakitnya bercampur dengan rasa sakit hatiku atas perbuatan memalukan ini.
Setelah melakukan hal tak masuk akal tersebut, Bubu langsung melewatiku dan memeluk Jaemin yang entah sejak kapan berada 3 meter di belakangku.
Aku tertawa miris pada diriku sendiri sambil menyelipkan rambutku tak percaya. Terdengar Bubu yang memohon keselamatan Mark pada Jaemin sambil terisak. Sepertinya lelaki paruh baya itu sudah mengira jika Jaemin adalah Tuhan nya.
Adik Mark, Jeno, masih berdiri menatapku iba. Tangannya hendak menyentuh bahuku, namun aku tau jika Bubu pasti akan sangat marah. Maka aku buru-buru tersenyum simpul sebelum akhirnya berjalan melewatinya tanpa mengatakan apapun.
"Permisi, apa aku bisa mengetahui perkembangan evakuasi korban pesawat yang jatuh pada dini hari?" tanyaku pada seorang staff yang kebetulan lewat di depanku.
Wanita itu terlihat membaca kertas di genggamannya sebelum akhirnya menatapku. "Saat ini evakuasi korban masih berlangsung. Karena ombak yang cukup besar, kami sedikit kesulitan untuk mengevakuasi mereka," jelasnya.
"Apakah ada penumpang yang selamat?" tanyaku buru-buru.
Staff itu terlihat kebingungan untuk menjawab pertanyaan ku. Hey, aku tidak sedang menanyakan soal ujian masuk universitas!
"Sepertinya tidak, tapi aku harap keluarga atau kerabatmu dapat terselamatkan," katanya menguatkanku.
Aku menghela napasku berat. "Dimana para jasad akan di otopsi?" tanyaku lagi.
"Kemungkinan besar mereka akan di otopsi disini. Anda bisa kembali kesini lusa atau kami akan memberi kabar langsung. Kalau boleh tau anda mencari korban atas nama siapa?" Staff itu terlihat mengambil pulpen dan hendak menulis sesuatu pada kertas yang di genggamnya sedari tadi.
"Tidak," jawabku cepat, "Aku tidak mencari korban, aku mencari kekasihku, Mark Lee!"
Setelah muak dengan semuanya, aku pun bergegas melenggang pergi meninggalkan bandara. Kakiku terus berjalan melewati Jaemin, Bubu, dan Jeno yang terlihat masih menguatkan satu sama lain.
🍁
×
🍁
"Chan," panggil Jaemin dari balik pintu kamar.
Aku sama sekali tidak berniat untuk merespon panggilannya walau sejak tadi siang Jaemin terus-terusan menanyakan keadaanku dari balik pintu kamar yang ku kunci.
"Haechan, keluarlah. Kau belum makan apapun," bujuknya lagi.
Aku menghargai rasa peduli yang Jaemin tunjukkan kepadaku, mengingat kami pernah berada dalam satu kelas yang sama saat SMA. Tapi saat ini aku merasa lebih baik sendiri. Aku tidak ingin bertemu siapapun dan aku tidak ingin mengonsumsi apapun.
"Haechan, jangan menyiksa dirimu seperti ini. Aku tau aku salah, tapi aku tidak bermaksud membuatmu dipermalukan seperti itu ..."
Seandainya aku memiliki tenaga untuk menjelaskan pada Jaemin jika saat ini bukan itu yang menjadi beban pikiranku. Lagipula bukankah aku sudah terbiasa diperlakukan seperti itu oleh Bubu?
"Leave me alone," ujarku berat. "Please."
"Baiklah, aku mengerti. Jika kau membutuhkan sesuatu, panggil saja aku," pesannya sebelum langkah kakinya terdengar menjauh.
Beberapa butiran air mata tiba-tiba mengalir kembali ketika pikiranku melayang pasa sosok Mark. Mataku tanpa sengaja menangkap pigura besar yang kupajang di sudut kamar. Foto ketika aku dan Mark berada di Vienna, tempat dimana lelaki beralis camar itu melamarku.
Tanganku mengepal, memukul kasur dengan cukup keras ketika ternyata aku melupakan waktu pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Tidak. Aku tidak peduli dengan pernikahan itu. Yang aku inginkan saat ini hanyalah Mark kembali bersamaku dengan keadaan selamat.
Tapi apa yang dapat aku lakukan sekarang? Tidak ada. Maka aku hanya menjadi manusia lemah yang berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
🍁
×
🍁
TBC
Vienna ... Tempat paling romantis menurut aku sksksksk
Yg nonton Before Sunrise pasti tau
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wishing Tree | Markhyuck
FanfictionMark sudah pergi untuk selama-lamanya. Itu adalah kenyataan pahit yang harus ku telan bulat-bulat. Demi menyambung kehidupanku yang sempat terdampak badai, aku memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Hingga akhirnya, "Aku Minhyung." Lelaki berw...