WARN : DEATH SUICIDE !!!
🍁
×
🍁
"Chan?"
Aku mendongak, menatap sosok di depanku tidak percaya. Bola mataku bergerak ke sampingnya, menatap sosok lain yang juga tengah bergeming.
"Ada apa kak?"
Aku memeluk lututku kuat-kuat, mengabaikan pertanyaan Jisung yang terdengar sangat cemas. Tawa mirisku sesekali muncul ketika mengingat betapa bodohnya aku dipermainkan keadaan seperti ini.
Tanpa bisa ku cegah, sepertinya mentalku sudah mulai terguncang hebat.
Perlahan aku bangkit, meninggalkan Minhyung dan Jisung yang masih terdiam di tempatnya dengan ekspresi yang aku sendiri tidak bisa menerjemahkan nya. Aku terlalu lelah.
Setelah sampai di kamar, aku mengunci diri. Sepertinya ini memang pilihan yang terbaik. Aku sudah mempersiapkan semua hal yang akan dibutuhkan oleh Chenle dan Jisung. Mereka tidak akan merasa kekurangan, apalagi Jisung telah berhasil memajukan toko kue milikku. Hidup keduanya pasti akan tercukupi, aku tidak perlu mengkhawatirkannya.
Tunggu, jangan sampai kalian berpikir jika aku akan mengakhiri hidupku sendiri. Aku tidak akan melakukannya, aku hanya akan menghilangkan semua rasa sakit yang aku alami di kehidupan saat ini. Aku akan tetap hidup, tapi tidak di ragaku yang sekarang. Mungkin kita akan bertemu di kehidupan selanjutnya dengan cerita yang baru dan tentunya lebih baik, bukan begitu?
Aku terkekeh entah karena apa. Yang jelas aku harus merayakan hari terakhirku di dunia ini. Dengan nanar, mataku menatap kesegala penjuru ruangan. Menatap pigura demi pigura yang terpajang.
Aku merindukan sosok-sosok disana. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Mereka tidak menyayangiku. Orang tuaku bahkan menganggap ku sebagai bencana. Kalian tau sendiri sahabatku juga bermain dibelakang dengan kekasihku. Tidakkah ini terasa sempurna?
Hidup sebatang kara di negara orang, melakukan segala hal sendiri untuk bertahan hidup. Dalam segi materi mungkin aku tidak pernah merasa kekurangan, tapi kita tidak bisa hidup hanya dengan uang. Ada hal yang tidak bisa kita definisikan dan itu membuat kita tetap semangat untuk hidup.
Aku tidak pernah memimpikan untuk hidup bersama harta yang menggunung. Aku hanya ingin hidup sederhana bersama pasangan hidupku. Aku sama sekali tidak keberatan jika harus makan bibimbap setiap hari asal bersama orang yang aku sayangi dan tentunya menyayangiku.
Tapi terima kasih kepada Tuhan telah memberiku takdir yang bertolak belakang dengan keinginanku. Sekarang saat nya aku mengucapkan rasa terima kasih itu secara langsung kepadanya.
Perlahan akupun bangkit menuju salah satu pigura yang terletak di dekat jendela. Foto yang diambil oleh Mark ketika aku pertama kali mengenakan jas putih kebanggaan ku itu terlihat sangat menyenangkan. Aku terlihat tersenyum ceria, membuat kedua mataku menyipit sempurna.
Tanganku terulur untuk mengambil pigura tersebut. Air mataku berhasil lolos membasahi kaca dari pigura yang saat ini berada di genggamanku. Dengan jari yang bergetar, aku mengusap wajahku sendiri di foto itu. Seolah itu adalah salam perpisahan terakhirku bersama sosok yang terlihat begitu bangga terhadap dirinya sendiri.
Sedetik kemudian aku menghempaskan nya dengan kasar ke permukaan lantai. Suara pecahan terdengar nyaring seiringan dengan teriakkan Minhyung dan Jisung dari luar. Tapi sungguh telingaku tidak bisa menangkap suara apapun di luar sana. Aku hanya fokus pada diriku sendiri.
Aku hanya fokus untuk mengakhiri semuanya.
Tanganku mengambil satu pecahan kaca yang tergeletak, menatapnya sebentar sebelum beralih menatap pergelangan tanganku. Haruskah aku melakukannya disana? Atau di leher? Menurut kalian mana yang lebih baik?
Oh ayolah, aku harus melakukannya dengan cepat!
Jika aku melakukannya di leher, aku pasti akan mati penasaran karena tidak melihat dulu betapa tersiksanya diriku sendiri. Maka kuputuskan untuk melakukannya di pergelangan tangan, tentunya agar aku bisa melihat bagaimana detik-detik menyambut kematianku.
Terdengar gila bukan? Ya aku memang sudah gila. Tolong camkan itu.
Aku melirik ke arah pintu, sesungguhnya aku merasa bersalah karena tidak sempat mengucapkan perpisahan pada lelaki manis yang pasti tengah berkutat dengan tugas-tugas nya. Dan aku juga tidak bisa membantu masalah yang dihadapi Jisung, malah membuatnya semakin kacau. Minhyung... aku minta maaf, sepertinya kau akan direpotkan untuk mengurus kematian ku. Setidaknya bantulah aku sampai tubuhku dimasukkan ke dalam peti. Oh, kau tidak perlu ikut menonton ketika aku dikebumikan karena kau harus memastikan Chenle dan Jisung baik-baik saja.
Lagi-lagi aku terkekeh, menyadari betapa brutalnya ketukan pintu diluar sana. Ayolah, kalian membuatku tidak fokus!
Tanpa memperdulikan nya lagi, aku pun dengan berani menggoreskan pecahan tersebut di pergelangan tanganku yang mulai mengeluarkan darah. Jangan khawatir, pintu itu tidak akan bisa didobrak oleh siapapun kecuali seekor gajah dan gorila tentunya.
Mataku fokus memperhatikan darah yang terus menetes ke lantai. Tapi telingaku mendengar sebuah suara yang sangat keras. Aku merasakan tipuan angin yang cukup kencang di belakangku. Sepertinya pintunya terbuka.
Oh... Apa?! Pintu terbuka?
Baiklah lupakan tentang itu, aku sudah setengah jalan dan percuma jika—
Dalam sekali dorongan, Minhyung membuat tubuhku terhuyung ke tembok. Dan aku merasa sepertinya tulang punggung ku retak lagi karenanya. Jangan lupakan pecahan kaca yang kupegang tadi kini telah melesat entah kemana.
Aku meringis merasakan dua rasa sakit sekaligus. Ini terlalu sempurna untuk kematian seorang manusia terkutuk sepertiku. Tapi tunggu, di tengah kesadaran ku yang mulai menurun aku merasakan tubuhku didekap oleh seseorang. Aku tersenyum ketika mendengar bisikan yang begitu familiar.
"Jangan tinggalkan aku."
🍁
×
🍁
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wishing Tree | Markhyuck
FanfictionMark sudah pergi untuk selama-lamanya. Itu adalah kenyataan pahit yang harus ku telan bulat-bulat. Demi menyambung kehidupanku yang sempat terdampak badai, aku memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Hingga akhirnya, "Aku Minhyung." Lelaki berw...